Sabtu, 19 Mei 2012

Tumbuh Itu Bukan Tambah Gede Doang


Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat diskusi singkat dengan seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Biasanya keluhan utama dalam pembuatan skripsi adalah tidak punya ide sama sekali. Karena tidak punya ide, akhirnya skripsi tidak jalan, tentu saja karena tidak tahu harus menulis apa. Tapi ternyata juga, skripsi bisa tidak selesai karena kebanyakan ide. Dari waktu ke waktu, ide terus berkembang, sehingga apa yang barusan ditulis, setelah dibaca lagi kok kurang begini ya.. kok kurang begitu ya… Ternyata tidak punya ide dan kebanyakan ide sama susahnya..

Skripsi memang selalu menegangkan. Memang sih, banyak juga yang sekedar copy-paste ide dan kemudian diterapkan di kasus yang berbeda. Kalo yang ini sih 2 bulan pasti kelar. Namun, bagi kebanyakan mahasiswa, skripsi adalah  “the best of me”.  Namun, 5 atau 10 tahun kemudian setelah dibaca-baca lagi kadang kita bisa ketawa sendiri, kok bisa-bisanya bikin skripsi seperti ini, rasanya amburadul banget. Mahasiswa teman saya tadi juga mengaku, karyanya yang beberapa waktu sebelumnya dapat nilai A dan menurut dia luar biasa bagusnya dipikir-pikir lagi jadi bingung bagusnya di mana.

Ada banyak hal yang menurut kita hebat, beberapa waktu kemudian sudah tidak hebat lagi. Kesimpulan dari diskusi itu, adalah karena kita semua mengalami pertumbuhan. Memang minimal kita bertumbuh besar (fisik) dan umur semakin tua. Tapi yang kita mau tentu bukan sekedar “growing old”, tapi juga “growing up.” Seperti contoh skripsi di atas, saat kita melihat kembali skripsi itu sekian tahun kemudian dan tampak semakin amburadul, bukan berarti skripsi itu tidak bagus lagi, tapi masalahnya kitanya yang bertumbuh. Ada banyak wawasan, pengetahuan dan pengalaman baru yang membentuk kita menjadi semakin baik setiap hari. Seperti saat saya masih anak SD yang takut naik kelas III, hanya karena di kelas III mulai diajarkan perkalian dan pembagian. Hiii…. Pasti sulit sekali.. Tapi kan setelah kelas V ngomongnya sudah lain… ah kalo cuman tambah kurang kali bagi sih gampang.. geometri tuh yang sulit… demikian waktu terus berlalu dan perubahan selalu terjadi. Sama seperti kita saat ini… yang tidak mengerti mengapa sesuatu yang sangat mudah kok waktu kuliah memusingkan dan penuh perjuangan untuk sekedar dapat nilai C.
Permasalahannya memang mau sejauh mana kita bertumbuh. Rasanya ini jadi pilihan hidup, karena sebenarnya tanpa disadari pertumbuhan itu terjadi. Tapi saat kita menyadari potensi kita bertumbuh dan mau mendorongnya sampai batas maksimum, itulah yang membedakan seberapa kita mampu memaksimalkan pertumbuhan kita dibandingkan dengan orang lain. Saat kita melihat karya kita sekian tahun lalu dan kita masih melihatnya sempurna.. waspadalah, mungkin kita sudah berhenti bertumbuh. That is not growing up, it just growing old..

Pertumbuhan kita  itu sebenarnya tanpa batas, namun seringkali kemapanan kita sendirilah yang membatasinya. Yang menarik, hambatan bertumbuh dalam kemapan itu, seringkali datangnya dari dalam diri sendiri, maupun orang-orang terdekat yang mencintai kita. Ada orang yang sejak kecil dikondisikan untuk menjadi “medioker “ bukan menjadi yang terbaik. Sebagai contoh, ada banyak orang tua yang lebih nyaman mengatakan anaknya ”bodoh atau biasa saja” ketimbang mengakui bahwa “anak saya memang pintar.” Jaman dulu, kalo orang tua ketemu orang lain yang memuji “eh si Anu anak ibu pintar sekali ya, kemarin ulangan Matematika nilainya tertinggi di kelas”.  Apa jawab si ibu ? Biasanya (demi sopan santun) “ …ah anak saya biasa aja kok, kebetulan nilainya bagus” atau malah ada yang kebangetan (saking sopannya kali) “ … ah yang benar, wong anak saya itu bandel nggak pernah mau belajar lho.. apa iya bisa nilainya paling bagus..” (walaupun dalam hatinya bangga setengah mati). Saya kira anak yang sering mendengar “kalimat bijak” di atas telah dibentuk sedari kecil bahwa dirinya tidak akan bisa menjadi yang terbaik.. karena orang tuanya saja bilang begitu. Maka jadilah seturut ucapan itu.. menjadikan orang cepat puas.. punya sedikit kemapanan saja sudah merasa cukup.. mau kerja keras kalau terpaksa, karena tidak pernah merasa dirinya istimewa.. Sekedar jadi orang yang biasa saja, sudah cukuplah memperoleh yang biasa saja..

Pertumbuhan datangnya dari kerja keras, dan tentu saja tidak nyaman. Inilah yang membuat lebih banyak orang lebih memilih untuk tinggal di dalam kemapanan ketimbang menempuh jalan repot untuk dapat mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi lagi. Ada banyak peristiwa pahit yang mungkin kita alami; namun yang penting bukanlah seberapa pahit dan susahnya yang harus kita ukur dan ingat, namun di dalam kepahitan itu, seberapa banyak kita dapat belajar dan bertumbuh.

Pertanyaannya memang ada apa dengan kerja keras ?

Pertama, barangkali kerja keras itu bukan menjadi habit  kita. Kerja keras munculnya saat terpaksa saja, walaupun dari situ kita memperoleh banyak hal. Ada banyak orang setelah mencapai sedikit kemapanan berhenti bekerja keras. Mungkin sudah capek repot, mungkin juga karena yang kedua ini, secara kultur merasa (ada juga ini… ) bahwa memiliki ambisi untuk menjadi terbaik itu sesuatu yang “tabu”. Banyak orang merasa nyaman dalam kelompok yang sama-sama tanggung, daripada lari sendiri menjadi yang terdepan. Aneh juga ya… tapi nyata lho. Cirinya, yang penting temannya banyak, kan kalo sudah banyak yang sama ya sudah memang beginilah kami ini. Ngapain harus repot mengejar yang lebih lagi dari yang ini, toh sudah mencapai yang orang pada umumnya bisa capai ? Sudahlah, pokoke ora ngisin-isini lak uwis.. he..he… begitu kira2.

Pertumbuhan kita, hanyalah kita sendiri yang dapat mengukurnya. Seberapa yang dapat kita inginkan, itulah tolok ukur maksimal kita. Jadi, kalau visinya cukup puas menjadi kucing, jangan harap bisa mengaum seperti singa.

Namun ada sisi lain dari pertumbuhan kita. Semangat bertumbuh yang tinggi, belum tentu juga menghasilkan pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan, kadang adalah sebuah proses yang harus dengan sabar diikuti, agar hasilnya benar-benar sempurna. Namun, banyak orang tidak sabar. Banyak orang menginginkan hasil instant. Benarkah pertumbuhan yang berlangsung secara instant dapat menghasilkan buah yang baik ? Manakah mangga yang lebih manis, mangga yang manis di pohon atau mangga karbitan ? Atau manakah yang lebih nikmat, durian yang jatuh dengan sendirinya, atau durian yang diunduh kemudian diperam ?
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak anak-anak yang kini kehilangan keceriaan masa kanak-kanaknya karena waktunya habis untuk belajar. Memang sekarang ini dilematis. Di satu sisi, sangat manusiawi bila orang tua menginginkan anaknya dapat nilai bagus di sekolah, sekaligus mampu mengembangkan bakatnya di bidang lain. Namun, tidak semua anak mampu menikmati padatnya jam sekolah, masih ditambah les pelajaran, kursus bahasa dan music, serta mungkin latihan olah raga. Keceriaan masa kanak-kanak tergantikan oleh program yang harus diikuti menit ke menit, semata agar mampu bersaing dan bahkan menjadi super kid. Mengapa ya, mereka yang seharusnya bertumbuh melewati masa kanak-kanak yang ceria, kini harus lebih dini mulai menanggung beban persaingan, memikirkan susahnya hidup, serumit beban hidup orang tuanya ?

Pertumbuhan memang harus dikejar setinggi mungkin, namun lebih bijaksana bila terjadi secara alamiah. Suatu perjalanan panjang, mungkin melelahkan.. namun biarlah asyiknya berproses dapat dinikmati langkah demi langkah, bukan semata yang penting hasil akhirnya. Kadangkala kita perlu bersabar, namun itu demi hasil akhir yang lebih sempurna… So, enjoy aja !

Sebuah nasihat yang sangat bijak : “Live as if you were to die tomorrow, learn as if you were to live forever.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar