Selasa, 25 Desember 2012

Bertumbuh Dalam Rencana-Nya

Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. (Lukas 2:52)

Baru saja kita merayakan Natal, memperingati hadirnya Yesus ke dunia di kandang domba Betlehem. Dalam injil Lukas 2, dicatat bagaimana bayi itu akhirnya bertumbuh besar. Berbicara mengenai pertumbuhan, pada dasarnya mengandung berbagai dimensi, yang satu dengan lainnya tidak terpisahkan. Seperti apa yang dicatat di Lukas 2:52, dilukiskan bagaimana Yesus bertumbuh. Pertumbuhan Yesus tidak sekedar diukur dari berapa usianya sekarang, berapa tinggi dan besar badan-Nya, namun juga bertumbuh dalam hikmat-Nya, besar-Nya, dan dikasihi Allahs serta manusia.

Pertumbuhan atau bertambah besar yang didefinisikan oleh Lukas merupakan kesatuan dari paling tidak empat dimensi. Pertama, jelas sekali disebutkan adanya pertumbuhan fisik, yang dituliskan sebagai bertambah besar. Tubuh manusia dengan gizi yang baik tentu secara alamiah akan bertumbuh besar, dari fisik bayi, kanak-kanak, remaja dan menjadi dewasa. Kedua, Yesus juga bertambah dalam hikmat-Nya, yaitu bertumbuh dalam kecerdasan intelektualitas, sekaligus kearifan dan kebijaksanaan. Ketiga, Yesus bertumbuh semakin dikasihi oleh Allah, menunjukkan adanya pertumbuhan spiritual, bukan sekedar hikmat beragama, namun juga hubungan yang sangat dekat dengan Allah. Keempat, Yesus semakin disukai oleh manusia, dalam arti memiliki pertumbuhan kecerdasan emosional, sehingga memiliki kehidupan sosial yang baik.

Dari gambaran tersebut, baik kita secara pribadi maupun sebagai jemaat perlu merenungkan kembali makna pertumbuhan dalam kekristenan kita. Seringkali dalam gereja kita membanggakan dengan pertambahan jemaat sehingga gereja penuh sesak, gereja yang terus menambah bangunan, dan banyak kegiatan. Namun apakah kita sudah mengimbanginya dengan memikirkan bagaimana pertumbuhan iman setiap jemaat, aktifis dan orang-orang yang melayani dan memiliki kerinduan datang ke gereja ? Saat kita mencoba untuk mempedulikan pertumbuhan iman, apakah kita melihatnya sekedar dalam pengetahuan tentang teologi saja, ataukah kita mengajak jemaat menikmati dan merasakan adanya hubungan yang lebih baik dengan Allah? Kalau kita merasa bahwa sebagai jemaat telah menyembah dan beribadah dengan baik, yang perlu kita lihat, apakah hati kita telah berubah memiliki hati Kristus dan memancarkannya hingga dapat dirasakan oleh orang lain, Ataukah jangan-jangan ukuran iman kita itu sekedar dari perkembangan ritual agamawi, namun kering dalam spiritualitas ?

Biarlah itu semua menjadi pergumulan kita sebagai pribadi maupun sebagai jemaat, sekaligus hamba-Nya. Pertumbuhan itu memiliki banyak dimensi, yang harus bertumbuh bersama-sama. Hendaklah kita merenungkan kembali nasihat Rasul Paulus kepada Jemaat di Kolose ini : Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah. (Kolose 3:15). Ya, hendaklah Kristus menjadi Raja, memerintah dalam hati kita, supaya kita bertumbuh dewasa, sebagaimana gambaran Kristus yang bertumbuh dewasa, yang bertambah hikmat-Nya, besar-Nya, dikasihi Allah dan manusia.

Mari kita renungkan : Siapakah Raja dalam hatiku hari ini ?

Minggu, 23 Desember 2012

NATAL : Tradisi, Komersialisasi, Ritual, Spiritual

Bagi umat Kristiani, merayakan Natal menjadi moment yang di tunggu. Natal bisa juga berarti liburan jelang akhir tahun, waktunya mudik, ke gereja di malam Natal dan disambung dengan makan malam bersama keluarga. Pohon Natal berkelip di sudut rumah, hadiah-hadiah untuk anak-anak yang tersusun rapi, yang konon adalah kado dari Sinterklas untuk anak-anak yang sepanjang tahun berkelakuan manis. Di televisi, film-film yang berhubungan dengan Sinterklas, Elf dan Rudolf maupun film keluarga dengan tema kasih sayang dengan setting salju, pohon terang dan ornamen Natal lainnya mulai ditayangkan.

Tentu sebagai moment yang istimewa, Natal tidak luput dari irisan dengan dunia bisnis. Natal menjadi salah satu waktu di mana ada orang yang merayakannya, dan tentu saja banyak kebutuhan yang harus dipenuhi untuk perayaan itu. Di bulan Desember, mall di sekitar kita mulai berbenah dengan ornamen Natal, memutar lagu Natal dan tidak lupa menawarkan diskon untuk pembelian pakaian baru, ornamen dan pohon Natal, dan ke-kue bernuansa Natal. Belum lagi banyaknya tawaran liburan Natal, parcel Natal, dan artist performance di hotel berbintang. Itu semua adalah sisi gemerlap yang sering kita saksikan disekitar kita.

Natal bukanlah sekedar perayaan dan tradisi. Bukankah Natal itu memiliki makna religius yang sangat mendalam, sebagai peristiwa hadirnya Yesus Kristus ke dunia ini? Oleh karenanya Natal haruslah dihayati dalam suatu ibadah dengan penuh ucapan syukur. Tak heran, ibadah malam Natal, atau ibadah Natal selalu menjadi moment yang sangat religius, di mana orang Kristiani berbondong-bondong ke gereja, dan mengikuti ibadah dengan khidmat, menyimak dan menghayati pesan Natal. Sekalipun ritualnya tidak selalu sama antara gereja yang satu dengan gereja lainnya, ibadah Natal selalu menjadi moment penting bagi  agama Kristiani pada umumnya.

Namun berbicara tentang Natal semestinya jangan sekedar menjadi  ritual agamawi tahunan yang harus di ikuti sebagai umat Kristiani. Natal bukanlah sekedar kemeriahan perayaannya maupun kedalaman penghayatannya, namun juga sebagai ekspresi iman. Natal adalah saat Kristus lahir di dalam hati, bertakhta di situ sebagai Raja dan mengubahnya menjadi baru. Inilah spiritualitas Natal itu : kasih karunia Tuhan yang direspon dengan penyerahan diri kepada Tuhan untuk mau dibentuk dan diperbaharui oleh-Nya. Barangkali inilah arti dari mengasihi Tuhan dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan segenap akal budi, dan supaya kita dapat mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri.

Kepada seluruh sahabat, teman dan saudaraku yang merayakannya  : Selamat menyambut Natal. Semoga Natal tahun ini bukan sekedar ulangan dari tradisi, belanja, dan ritual yang sama dengan tahun sebelumnya, namun semoga Kristus benar-benar lahir di dalam hati kita, dan Dia mengubahnya menjadi baru. Semoga kita memiliki hati yang berbelas kasih seperti Dia telah mengasihi kita, serta yang memiliki sukacita dan damai sejahtera seperti Dia yang membawa damai.

Minggu, 25 November 2012

Pertamina Go International dengan Sponsori AC Milan


Berita menarik datang dari Pertamina, sehubungan dengan rencananya untuk melakukan kerjasama sponsorship dengan klub AC Milan Italia pada kompetisi liga seri A Italia musim mendatang. Dalam pemberitaan di media massa dijelaskan bahwa tujuan dari kejasama ini adalah dalam rangka strategi Pertamina dalam menancapkan merek Pertamina di Eropa. Konon, Pertamina Lubricants merambah pasar Eropa melalui ekspor perdana ke pasar Swiss yang menjadi negara tujuan ekspor ke-23. Adapun salah satu bentuk sponsorshipnya adalah terpampangnya logo Pertamina di layar LED di pinggir lapangan San Siro, yang kalau itu jadi maka logo Pertamina berpeluang disaksikan penggemar AC Milan di seluruh dunia saat laga kandang. Dibandingkan dengan sasarannya untuk merambah pasar Eropa, tentu strategi Pertamina ini sepertinya tepat.

Tentu satu hal yang kemudian berpotensi menjadi polemik di dunia sepakbola Indonesia, khususnya para penggemar timnas dan kompetisi liga nasional kita adalah kok Pertamina jauh-jauh memberikan sponsor ke AC Milan bukannya mendukung timnas Indonesia?

Tentu saja jawabannya sederhana, business is businees. Kalau kembali pada objective Pertamina adalah masuk ke pasar dunia, tentu saja tidak mungkin dapat dicapai dengan sponsorship kepada timnas, yang masih baru bisa berbicara di skala lokal dan regional Asia Tenggara saja. Lain halnya kalau sponsorship ke timnas dikaitkan dengan objective Pertamina untuk kepentingan bisnis di dalam negeri. Tapi tampaknya hal ini tidak perlu dilakukan dalam jangka pendek karena di dalam negeri Pertamina masih mendominasi pasar oli dan BBM bukan?

Kalau kemudian kesulitan pendanaan timnas dikaitkan dengan strategi pertamina ini dengan menyayangkan, mempertanyakan bahkan menuduh Pertamina mengabaikan timnas tampaknya ini kurang pada tempatnya, karena urusan timnas dan kompetisi sepakbola dalam negeri sama sekali bukan tanggung jawab Pertamina, tapi tanggung jawab PSSI dan kementerian pemuda dan olah raga yang menaunginya, apakah memang ada keseriusan untuk membangun sepakbola Indonesia dengan rencana jangka panjang yang matang ? Bukankah untuk membereskan pengorganisasiannya saja masih banyak yang perlu dibenahi ? Hasil apa yang bisa diharapkan? Yang menjadi PR dari PSSI sekarang adalah bagaimana supaya sepakbola Indonesia dapat menjadi kompetisi yang menguntungkan secara bisnis, dan menarik minat sponsor untuk menanamkan modal dengan prinsip saling menguntungkan. Kalau kompetisi dalam negeri dan timnas sudah berjalan dengan baik dan berprestasi internasional, dengan sendirinya sponsor akan berdatangan, bukan hanya dari dalam negeri tapi juga investor asing yang hendak mengembangkan bisnis di Indonesia.

Kembali ke Pertamina, seharusnya kita justru perlu mendukung langkah Pertamina go internasional. Sponsorship Pertamina ke AC Milan tidak berbicara soal sepakbola, tapi urusannya adalah pengembangan bisnis Pertamina dan ujungnya adalah perekonomian Nasional. Peningkatan keuntungan Pertamina dari pelebaran bisnisnya di Eropa pada akhirnya akan menghasilkan devisa bagi negara.

Untuk Pertamina, semoga sukses go Internasional. Barangkali suatu saat kerjasama dengan AC Milan ini dapat berdampak positif bagi persepakbolaan nasional, minimal dengan mendatangkan pelatih dari Italia untuk melatih sekolah sepakbola Pertamina Soccer School dapat menghasilkan pemain nasional yang berkualitas.

Korban Facebook [lagi]


Pagi-pagi (25/11) buka station TV berita TVONE kebetulan sedang menayangkan suatu berita menarik, yang diberi judul  “Korban Facebook [lagi]”.  Dari wawancara dengan si korban, yang berinisial “E” diketahui bahwa E ini adalah salah satu siswi SD di Jombang, yang selama 11 hari menghilang dari rumah bersama temannya yang dikenal dari facebook. Konon E diajak jalan-jalan dari Surabaya sampai Bojonegoro, di mana dia pada akhirnya dia ditemukan. Entah apa yang terjadi selama 11 hari itu. Itulah pengalaman E yang diperoleh setelah 1 bulan bermain Facebook. Berdasarkan pengakuan E, dia mengenal “penculik”nya itu dari SMS-an nyasar dan Facebook.

Judul  “Korban Facebook [lagi]” jadi menarik, karena memang selain kasus E ini bukanlah yang pertama, tapi sudah menjadi korban kesekian kalinya.  Dituliskan sebagai “korban” facebook juga jadi menarik, karena facebook seolah menjadi penyebab, padahal kita tahu facebook sebagai media tetaplah sebagai media, namun kalau ditelusur lebih dalam tentu penyebab utama bukanlah media itu sendiri, namun sekumpulan masalah yang kalau disimpulkan adalah kurangnya perhatian : kurangnya perhatian keluarga kepada anak sehingga lebih memilih curhat dan berkomunikasi dengan gagdetnya ketimbang keluarga, kurangnya perhatian terhadap perlunya pembekalan dan pengetahuan tentang bagaimana bersikap terhadap perkembangan, termasuk kemudahan akses terhadap teknologi yang semakin murah, atau dengan kata lain terjadinya eforia akibat gagap teknologi.

Memang sebagai orang tua kadang susah membendung keinginan anak. Pada saat kita mendisiplinkan anak dengan aturan “memberikan apa yang terbaik bagi mereka sesuai dengan waktunya” mendapat tantangan terbesar justru dari lingkungan anak sendiri, yang celakanya sulit dikontrol sepenuhnya oleh orang tua. Katakanlah misal orang tua menyikapi trend pemakaian BB dengan menjanjikan kepada anak akan membelikan BB pada usia 16 tahun, yaitu waktu mereka sudah dianggap cukup dewasa memakainya. Apa daya anak SD pun sudah banyak yang punya blackberry sekarang. Lalu anak pun akhirnya menuntut sama seperti teman-temannya. Atau kembali ke Facebook, bukankah policy Facebook ada usia minimal untuk  dapat menjadi anggota, tapi apa daya toh disekitar kita anak kelas 3 SD pun sudah memiliki account Facebook, yang bahkan dibuatkan orang tuanya sendiri dengan cara memalsukan tahun kelahiran bukan ?

Menyikapi banyaknya persoalan ini, barangkali perlu perhatian kita terhadap perkembangan teknologi di sekitar anak, supaya mereka dapat menyikapinya dengan benar. Beberapa hal ini semoga bermanfaat :
  • ·    Perlunya kebijaksanaan orang tua dalam memberikan mengarahkan penggunaan internet oleh anak, dengan cara tidak membebaskan pemakaian, namun dengan pendampingan agar mereka tahu bagaimana menggunakan dengan benar. Misalnya mengarahkan penggunaan internet ke situs yang bermanfaat, memasang parental lock software sehingga akses internet terlokalisir dari situs-situs yang tidak semestinya.

  • ·       Bila menggunakan Facebook, arahkan kepada anak untuk hanya menerima (dan mengirim) permintaan pertemanan dengan orang-orang yang di dunia nyata benar-benar dikenal, dan menolak permintaan pertemanan dari accout yang tidak dikenal, karena biar bagaimanapun anak tidak cukup bijak untuk menilai account yang tidak dikenal persis.

  • ·    Jadilah teman anak di rumah maupun di social media, sehingga ada pengawasan tidak langsung terhadap aktivitas yang ada di wall facebook anak.

  • ·       Biasakan berkomunikasi dengan anak secara terbuka sehingga mereka bebas bercurhat kepada orang tua, bukannya curhat di Facebook gara-gara komunikasi di rumah yang tidak lancar.

  • ·         Tekankan kepada anak bahwa penggunaan gadget (HP, BB, tablet PC, atau apapun) bukanlah untuk gaya atau mengikuti trend, sehingga kalaupun anak dibelikan itu bukan karena supaya anak itu trendy, namun karena orang tua ingin berkomunikasi dengan akan setiap waktu. Dengan begitu, anak dipersiapkan dewasa menggunakan gagdet secara fungsional.

  • ·    Pada waktu anak berulang tahun, jangan buru-buru setuju membelikan blackberry permintaannya, barangkali anak bisa dipancing dengan barang lain yang  lebih menarik dengan anggaran yang sama. Katakanlah mau tidak kalau blackberry nya ditukar dengan kamera digital agar anak bisa mengabadikan momen-momen penting bersama keluarga dan teman-teman, atau dibelikan media player kalau anak mulai menggemari musik.


Semakin padatnya jadwal sehari-hari, membuat waktu pengawasan orang tua terhadap anak tampaknya semakin sedikit. Memang kita bisa berharap kepada sekolah untuk  mendidik anak bersikap, namun kembali yang membentuk dan berpengaruh terhadap anak pada akhirnya adalah orang tua sendiri. Kita tidak dapat membendung anak bersentuhan dengan teknologi dan media, tapi kita bisa mengajari mereka untu dewasa menyikapi, mampu membedakan mana yang baik mana yang tidak, dan mampu memilih dengan benar. Pada akhirnya, inti dari semuanya adalah perlunya komunikasi yang baik, keterbukaan dan kedekatan dengan anak supaya mereka juga jujur dan terbuka terhadap orang tua.

Bagaimanapun semua media itu hakikatnya adalah netral, jadi buruk kalau disalahgunakan, jadi berguna kalau dimanfaatkan dengan baik.

Ngobrol di Warung Kopi


Untuk anda yang berusia lebih dari 40 tahun, kemungkinan pernah mendengar potongan lagu ini  : “... ngobrol di warung kopi ... nyentil sana dan sini ... sekedar suara rakyat kecil .. bukannya mau usil ...” Tidak asing bukan?  Kita sering mendengar lagu tersebut dinyanyikan oleh Warkop yang  di era 70-80an sangat terkenal. Nama Dono, Kasino dan Indro yang dikenal sebagai Warkop DKI dikenal oleh semua kalangan pada masa jayanya. Lagu itu menyiratkan sesuatu yang spesial dari warung kopi. Di dalam warung kopi, rupanya bukan sekedar bertemunya antar penggemar kopi  dan penjual kopi, namun secara tidak langsung warung kopi adalah sebuah komunitas, dimana orang berkumpul dan berinteraksi secara intensif diantara mereka. Di situ tiap orang bebas ngobrol apa saja, dari topik ringan seputar kampung, hingga diskusi panas seputar politik dengan ditemani secangkir kopi panas, pisang goreng, beberapa batang rokok dan barangkali makanan berat untuk yang lapar.

Warung kopi bukan sekedar warung namun merupakan media relasi antar manusia. Warung kopi bukanlah sekedar warung, namun telah menjadi komunitas sosial yang mencerminkan nilai kegotogroyongan bangsa Indonesia. Mengapa Indonesia ? Karena walaupun beda cara penyajiannya, namun esensi budaya yang komunal penuh kebersamaan menjadi ciri utamanya. Di beberapa wilayah Sumatra mungkin anda dengar sajian khas kopi dengan roti selai sarikaya, atau sajian menu sarapan. Di situ orang duduk berkelompok dan ngobrol, berdiskusi atau sekedar bermain catur. Mungkin di beberapa kota di Kalimantan di malam hari ditemukan warung-warung kopi yang menyajikan kopi dan sajian khas pisang goreng kipasnya. Pada malam hari warung kopi seperti ini tampak penuh, terlihat dari berderetnya motor yang parkir, dan riuhnya suasana nonton bareng siaran TV dengan layar lebar. Di Jawa pun warung kopi banyak dijumpai, dari kelas warung permanen hingga warung kopi jahe di emperan toko di malam hari. Orang datang ke sana bukan sekedar demi secangkir kopi, namun menikmati suatu kehidupan, interaksi, kebersamaan, persaudaraan dan bahkan mungkin bisnis.

Hari ini kita pun menyaksikan munculnya warung kopi modern di mall-mall. Baik itu mulai bermunculannya kopitiam, gerai warung kopi franchise internasional seperti Starbucks, maupun citarasa modern dari Excellso. Atau barangkali kini anda dapat menikmati secangkir Old Town white coffee yang menemani waktu kosong anda menunggu penerbangan yang tak kunjung boarding di bandara Soekarno Hatta. Hadir di mall, atau sentra bisnis, warung kopi modern inipun hidup karena munculnya kebutuhan suatu tempat yang nyaman untuk bertemu, berinteraksi, atau hangout. Bahkan kita melihat tren baru orang bertemu rekanan bisnis, meeting, mendapatkan inspirasi untuk bahan presentasi, atau sekedar melepas penat menunggu kemacetan terurai di warung kopi modern ini.

Yah, itulah kisah warung kopi. Kalau kebutuhan anda hanyalah secangkir kopi, itu masalah mudah. Anda tinggal mengantongi 1 sachet kopi instan dan bermodal mug atau cangkir kosong berburu air panas. Namun kopi bukan sekedar kopi kalau sudah dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebutuhan interaksi sosial. Tak heran, harga secangkir kopi bervariasi dari tiga ribuan hingga harga puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, tetap saja tidak pernah sepi peminat.

Obrolan warung kopi, adalah teman dari mereka yang sekedar nyentil sana dan sini hingga mereka yang mencapai deal bisnis ratusan juta. Rupanya warung kopi pun dapat menjadi saksi wajah ke-Indonesiaan kita dari dulu hingga kini.

Salam dari warung kopi.

Minggu, 11 November 2012

Brand Extension : Baju Kotak Jokowi di Jabar


Berita politik yang cukup menarik kemarin (sabtu 10/11/2012) adalah dimulainya episode baru Pilkada, yaitu Pilkada Jawa Barat. Selain bertaburan artis, satu sisi menariknya adalah upaya branding dari salah satu kandidat, yaitu Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki yang secara mengejutkan muncul dengan seragam kotak-kotak ala Jokowi – Ahok, yang baru saja menjadi Gubernur dan Wagub DKI, sebagaimana diberitakan kompas.com di sini. Karena saya bukan warga Jawa Barat, tulisan ini bukan bermaksud mendukung salah satu calon, namun hanya ingin sedikit berpikir, apakah sukses kotak-kotak di DKI akan disusul oleh sukses kotak-kotak di Jabar ?

Apa yang ada di benak kita saat melihat atau mendengar tentang “baju kotak-kotak” ? Barangkali dalam konteks kita di Indonesia, sebelum hiruk-pikuk Pilkada Jakarta memandang baju kotak-kotak sebagai salah satu mode pakaian saja, atau baju khas koboi bila dikombinasikan dengan celana jeans. Namun Pilkada Jakarta mengubah paradigma baju kotak-kotak menjadi salah satu brand elemen dari Jokowi-Ahok, bahkan kalau kita bertanya pada warga Jakarta pada waktu itu, baju kotak-kotak pasti akan diasosiasikan ke pasangan Jokowi-Ahok. Baju kotak-kotak menjadi simbol dari Jokowi-Ahok, yang dimaknai dengan spirit baru, yaitu : kesiapan menyingsingkan lengan baju, segera bekerja untuk permasalahan DKI yang kompleks dan bermacam-macam. Tema ini menjadi relevan bila dibenturkan dengan formalitas ala Foke yang oleh warga Jakarta dipandang kurang berhasil memajukan Jakarta.

Akankah tuah baju kotak-kotak ini mampu mengatarkan Rieke-Teten untuk melawan baju putih berkacu Dede Yusuf ?

Strategi brand extension ala Jokowi – Rieke ini barangkali menjadi trend yang cukup populer di dunia marketing. Kekuatan Jokowi dengan baju kotak-kotak menggoda tim sukses pasangan Rieke-Teten untuk menggunakan ekuitas Jokowi sebagai kendaraan untuk mendongkrak awareness sekaligus elektabilitas Reike. Strategi ini barangkali cukup cerdas untuk mengemat “biaya iklan” mengingat sudah diciptakan dan dipopulerkan dulu oleh Jokowi di DKI, dan (semoga) pesan semangat perubahan (dan kemenangan) Jokowi di Jakarta yang diusung Rieke ini juga berdampak positif signifikan pada elektabilitas Rieke. Apalagi bila didukung rekam jejak Rieke sebagai politisi Senayan dan Teten Masduki di ICW, sekaligus juga secara cepat menghapus image Rieke yang dulu pernah identik dengan “Oneng Bajuri” menjadi Rieke yang cerdas dan piawai berpolitik.

Namun strategi brand extension bukannya tidak memiliki risiko. Paling tidak ada beberapa hal yang dapat menjadi masalah. Pertama, pada umumnya produk hasil brand extension jarang sekali bisa menyamai (apalagi lebih besar) dari induknya. Biar bagaimanapun kotak-kotak adalah ekuitas Jokowi, bukan Rieke. Sulit sekali membayangkan secara tiba-tiba orang bisa beralih top of mind kotak-kotak secara tiba-tiba dari Jokowi ke Rieke. Dengan demikian, dampak kotak-kotak ke Rieke kemungkinan besar tidak akan sebesar dampaknya ke Jokowi. Kedua, masalah orisinalitas. Biasanya ide yang orisinil dan berdampak besar, belum tentu berhasil bila diulang. Dampaknya pun tidak sebesar pada waktu diluncurkan dan berhasil. Ketiga, aspek kultural, dimana tema kotak-kota yang kena di hati masyarakat DKI yang metropolis dan terbuka serta beraneka ragam, belum tentu berdampak sama di Jawa Barat, khususnya diluar kota-kota besarnya, dimana masyarakatnya lebih homogen. Barangkali pada sisi ini pendekatan kultural Dede Yusuf bisa jadi lebih berhasil. Keempat, membangun koneksi Jokowi – Rieke dengan jembatan baju kotak-kotak  barangkali akan sulit terjadi secara instan, supaya pengaruhnya signifikan, karena tugas beratnya adalah memastikan bahwa semangat, kapabilitas, elektabilitas Jokowi adalah juga milik Rieke. Biar bagaimanapun kotak-kotak adalah sekedar simbol, tapi sesungguhnya roh kotak-kotak itu adalah rekam jejak, integritas dan sukses Jokowi-Ahok.

Namun demikian, tampaknya Pikada Jabar akan berlangsung dengan seru, karena bukan sekedar pertarungan politik, namun popularitas selebriti. Sepertinya berkendaraan baju kotak-kotak saja tidaklah cukup menopang elektabilitas Rieke, justru tantangan sesungguhnya adalah sejauh mana pasangan ini dapat menunjukkan ke khas-an jatidiri, komitmen dan visi terhadap Jawa Barat ke depan. Semoga apapun hasilnya nanti bukan sekedar disokong oleh popularitas semata, namun semangat memajukan Jawa Barat.

Selamat ber Pilkada.

Menanti Pahlawan di Zaman Ini


Peringatan 10 Nopember sebagai hari Pahlawan masih cukup terasa. Paling tidak kami menghadiri upacara bendera, dan mengheningkan cipta selama 1 menit untuk mengenang jasa dan pengorbanan para pahlawan. Itulah pesan moral yang dapat ditangkap. Pahlawan adalah mereka yang telah gugur dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia ini.

Secara formal Negara dapat memberikan gelar “Pahlawan” pada seseorang karena tindakan kepahlawanannya. Dalam konteks negara, maka muncul nama-nama pahlawan, seperti mereka yang kita kenal dalam lembar sejarah Republik Indonesia. Negara memiliki definisi sendiri tentang Pahlawan, paling tidak seperti yang dituliskan di www.kemsos.go.id demikian : Gelar; Penghargaan Negara yang diberikan Presiden kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan Negara.

Pahlawan Nasional; Adalah gelar yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan Negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.         

Tindak Kepahlawanan; Adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.          

Nilai Kepahlawanan; Adalah suatu sikap dan prilaku perjuangan yang mempunyai mutu dan jasa pengabdian serta pengorbanan terhadap bangsa dan negara.

Sungguh pantas pengorbanan dan darmabakti para pahlawan itu diperingati. Namun hal yang lebih penting adalah jangan sampai hari pahlawan itu berhenti pada 1 menit mengheningkan cipta saja, namun justru dalam 1 menit (itu juga kalau sempat?) kita perlu  merenung 2 hal yang relevan bagi kita saat ini : tindak kepahlawanan itu apakah benar-benar dikenang dan diteladani, dan nilai kepahlawanan itu masihkah ada.
 Berbicara mengenai mengenang pada tindak kepahlawanan sebagai suatu perbuatan nyata, telah diperlihatkan oleh para pahlawan nasional. Dari sejarah kita belajar dari para pahlawan yang merebut dan mempertahankan kemerdekaan tentang nilai-nilai pengorbanan, tekad yang kuat, keberanian, dan semangat juang pantang menyerah demi suatu cita-cita. Kerinduan kita adalah sekalipun mereka yang kita sebut sebagai Pahlawan itu telah mati, namun semangat dan nilai kepahlawanannya masih hidup di dalam hati kita. Nilai kepahlawanan hidup sebagai pedoman perilaku berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, yang sayangnya  saat ini meninggalkan tanda tanya, masihkah ada pahlawan disekitar kita ?

Mengacu pada nilai kepahlawanan, seorang pahlawan itu bisa siapa saja. Kita mengenal pahlawan tanpa tanda jasa, yang ditujukan kepada para guru, yang memang “dituntut” pengorbanannya : bertanggung jawab atas masa depan bangsa, karena merekalah yang diberi tugas mendidik generasi muda agar menjadi penerus, dan memang tanpa tanda jasa, karena masih banyak diantara mereka yang belum mendapatkan kompensasi yang sepadan dengan pengorbanan itu. Atau mungkin orang berbicara tentang pahlawan devisa, yaitu mereka yang demi kehidupan lebih baik rela bekerja di negeri orang, karena tidak beruntung di negeri sendiri. Mereka itu tidak lagi menambah angka pengangguran dan kemiskinan di negeri ini, bahkan membawa uang masuk ke dalam negeri. Minimal mereka itu menjadi pahlawan bagi keluarga. Atau mungkin kita sejenak mengingat tentang para pekerja sosial, para pemerhati atau siapapun orangnya yang dengan sengaja mengabdikan hidupnya untuk melayani orang lain. Mereka itu juga pahlawan, yang tertanam dihati orang-orang yang mereka layani.

Namun bukankah kalau kita mau jujur tindak dan nilai kepahlawanan itu seringkali tertimbun ditengah hal-hal  lain  yang lebih menyita perhatian kita. Di televisi orang-orang menyayangkan maraknya korupsi, kekerasan, tawuran, carut marut politik dan merindukan hadirnya pahlawan. Bukan hanya itu, anak-anak kecil pun kehilangan panutan, sehingga di mata mereka pahlawan itu hanyalah sejarah, dan keteladanan itu adalah siapa yang mereka kagumi di layar kaca. Siapa pahlawanmu ? Superman, Batman, Dora Emon, Pahlawan Bertopeng atau bidadari bertongkat di televisi itu ?  Para pahlawan itu sudah ada disekitar kita, dan kita sering tidak menyadarinya, karena untuk mempahlawankan seseorang kita menuntut hal-hal besar. Bahkan kitapun dapat menjadi pahlawan, paling tidak bagi keluarga kita. Berbicara tentang kepahlawanan hari ini adalah bicara tentang keteladanan, kehidupan nyata yang masih mengembangkan kejujuran, kegigihan, kerelaan berkorban, dan kecintaan pada bangsa dan negara ini. Kepahlawanan dapat dimulai dari rumah dengan menjadi teladan yang baik bagi keluarga, teladan yang  baik bagi lingkungan, sesuai lingkaran pengaruh kita. Tentu makin besar pengaruh kita, tersirat tanggung jawab keteladanan yang lebih besar.  
Jadi untuk menjadi pahlawan syaratnyatidak perlu anda harus mati, tapi kerjakanlah segala sesuatu yang baik dan berguna bagi sesama. Kalau untuk itupun anda belum bisa, cukup mulailah dengan mendukung dan tidak mengacaukannya.

Selamat hari pahlawan.

Selasa, 06 November 2012

SEPATU AJAIB PAPA



Ada yang dulu menurutku sangat berkesan dari sepatu kulit Papa. Sepatu itu sebenarnya biasa saja. Sepatu kulit warna hitam, dengan hak keras sekitar 3 cm, sehingga terdengar suaranya yang khas  waktu Papa mengenakannya. Papa sangat menyayangi sepatu itu, sering kulihat dia melapisinya dengan semir hitam pekat, dan dilapnya hingga mengkilap.  Hal yang membuat sepatu itu berkesan adalah, sepatu itu sepertinya adalah satu-satunya sepatu Papa yang aku kenal dari kecil hingga dewasa. Paling tidak umurnya sudah lebih dari 10 tahun. Aku tidak habis pikir bagaimana mungkin sepatu itu begitu awet, tidak rusak termakan usia. Padahal sepatu sekolahku pun ganti setiap 1 – 2 tahun, demikian juga sepatu kerjaku saat ini.

Apa yang ada dibenak Anda membayangkan sepatu Papaku itu ? Barangkali sepatu itu adalah sepatu kulit yang mahal ? Sayang akupun tidak mengingat apa merk-nya, apalagi untuk bertanya berapa harganya. Atau barangkali karena Papa yang merawatnya dengan baik, sehingga menjadi sangat awet ? Relatif juga kan?

Entah mengapa tiba-tiba aku teringat sepatu itu. Paling tidak karena sekali-sekali aku pernah meminjamnya untuk acara khusus seperti waktu acara perpisahan di sekolah SMP, kebetulan kami boleh berpakaian bebas dan bercelana panjang. Tentu tampak lebih gagah dengan sepatu kulit itu dibandingkan dengan sepatu kets yang sehari-hari untuk sekolah. Setelah aku ingat-ingat, ternyata ada satu hal yang membuat segalanya menjadi masuk akal, kenapa sepatu itu begitu awet, hingga berumur lebih dari 10 tahun. Yah tentu saja, karena Papa sangat jarang memakainya. Papaku bukan orang kantoran, dia seorang pedagang yang kerjanya sehari-hari diam di toko melayani pelanggan. Dalam kesehariannya dia lebih suka memakai sandal saja. Sepatu itu selalu tersemir mengkilap dan tersimpan rapi di lemari dan hanya terpakai pada waktu kami harus menghadiri undangan pesta pernikahan. Tentu saja sepatu itu awet, karena dalam setahun pun kita dapat menghitung berapa kali dia dipakai.

Cerita tentang sepatu Papa itu menyadarkanku tentang hal ini :

Bahwa sekalipun kita memiliki informasi namun tidak menggunakannya dengan tepat, dapat mengantarkan kita pada keputusan yang salah. Seringkali orang salah memutuskan bukan karena tidak memiliki informasi, namun karena perspektif yang salah terhadap informasi yang kita miliki. Bukankah demikian ? Aku terlalu mengagumi “sepatu ajaib Papa” karena membandingkaknya dengan sepatu sekolahku atau sepatu kerjaku, dengan melupakan fakta bahwa seharusnya dari dulu aku tahu bedanya : sepatuku dipakai setiap hari, sepatu kulit Papa sangat jarang dipakai. Jadi, keajaiban itu bukanlah benar-benar keajaiban, hanya ajaib dalam persespiku, karena aku tidak menyadari fakta yang seharusnya dari dulu sudah ada di depanku.

Karena berhubungan dengan persepsi, seringkali membuat kita mengabaikan objektif. Persepsi membentuk mindset, yang cenderung melakukan seleksi terhadap informasi, yaitu hanya menggunakan  informasi yang disukai dan mengabaikan informasi yang tidak disukai. Mindset itu secara tak sadar membentuk asumsi-asumsi yang mengeliminasi informasi-informasi yang tersedia. Memang dengan begitu kita mempercepat pengambilan keputusan, namun kadangkala mengurangi objectivitas. Karena terbawa mindset masa kecil bahwa sepatu Papa itu adalah sepatu kulit yang bagus dan awet, tanpa sadar saya menyeleksi informasi tentang habit/kebiasaan  pemakaiannya, padahal justru informasi itulah yang paling dapat menjelaskan fenomena keajaiban sepatu Papa.

Pada akhirnya hidup ini penuh dengan perubahan, dan karenanya kita pun harus berubah. Persoalan selalu muncul (entah disadari atau tidak) saat mindset kita sudah tidak lagi relevan dengan situasi yang dihadapi karena adanya perubahan. Di era yang semakin dinamis seperti sekarang ini, mindset kita pun harus sama dinamisnya mengikuti perubahan, kalau tidak pemikiran kita menjadi out of date.

Rupanya, sepasang sepatu tua pun dapat membuatku banyak belajar hari ini.


Senin, 22 Oktober 2012

KELUARGA YANG BERTUMBUH DALAM TUHAN



Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.(2 Timotius 1:5)

Kita mengenal Timotius dari 2 surat yang dikirimkan Paulus kepadanya. Dari surat2 itu kita tahu Timotius muda, adalah salah satu saudara seiman, murid, kawan sekerja andalan Paulus, sehingga dipercaya  menggembalakan beberapa jemaat. Dari surat Paulus kepada Timotius kita melihat banyak pengajaran, motivasi dan nasihat dan kepada Timotius dalam pelayanannya. Paulus juga menyebut Timotius sebagai anak yang kekasih di dalam Injil, yang menggambarkan kedekatan pribadi antara Paulus dan Timotius
Dalam suratnya di 1 Tim 1:5, Paulus menganggap penting untuk menyebut ibu dan nenek Timotius sbb : Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu. Melalui ayat ini kita melihat, buah pelayanan Timotius, bahkan dibentuk jauh sebelum Timotius belajar pada Paulus. Sungguh indah saat kita melihat, iman yang besar dipelihara dari generasi ke generasi, pertama-tama dari neneknya Lois, ibunya Enike, dan akhirnya membentuk iman Timotius. Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan iman. Keluarga dapat menjadi tempat persemaian benih iman yang baik, menjadi sarana bertumbuh paling efektif dan mendasar. Iman yang disemaikan dalam keluarga akan dipupuk dan bertumbuh subur dalam pertumbuhan rohani pribadi, dan pada akhirnya iman keluarga-keluarga itu menjadi dasar iman gereja.

Tema bertumbuh dalam Tuhan, ingin mengajak kita semua mengingat keluarga sebagai salah satu sarana atau tempat bertumbuhnya iman setiap anggotanya. Iman yang kokoh dalam keluarga akan menjadi dasar pertumbuhan pribadi-pribadi di dalamnya. Pertumbuhan ke arah Kristus dapat dibangun jika sebagai keluarga kita menanamkan disiplin rohani dalam keluarga melalui waktu teduh dalam doa dan perenungan firman Tuhan. Disiplin rohani yang terus menerus akan membentuk iman kepada Kristus dan hidup yang berkarakter Kristus. Sebagai keluarga yang bertumbuh dalam Tuhan, pada akhirnya kita menjadi keluarga yang melayani Tuhan, bersaksi bagi Tuhan, menjadi penatalayan yang baik atas waktu, harta dan kehidupan yang dianugerahkan Tuhan agar melaluinya setiap keluarga dapat memuliakan Tuhan.

Selamat bertumbuh di dalam Tuhan.

".. Anak Bapak Jatuh di Sekolah .." Haaa ??!!!!!!


Kurang lebih seminggu yang lalu, jam menunjukkan pukul 11:15 siang HP saya berdering. Kebetulan saat itu baru saja saya menyelesaikan meeting dan bersiap untuk keluar ruangan. Terlihat nomer HP 0821944xxxxx, tapi tidak terdaftar dalam phonebook saya. Akhirnya saya angkat telp dari Mr. X tersebut, dan terjadilah dialog demikian :

Saya : Halo
Mr. X : Halo. Apa betul ini Bapak Edhi ?
Saya : Saya sendiri
Mr. X : Bapak Edhi ?
Saya : Iya. Dari mana ya Pak ?
Mr. X : Maaf, ini dari saya penjaga sekolah
Saya : Ya, ada apa?
Mr X : Ini mau memberi tahu, anak Bapak jatuh di sekolah
Saya : Lho jatuh kenapa ?
Mr X : Jatuh dari tangga, didorong temannya.
Saya : Lho sekarang kondisinya  bagaimana ? Nama Bapak siapa ?
Mr. X : Saya penjaga sekolah. Ini Bapak diminta segera datang ke sekolah ..
Saya : Saya mesti ke sekolah mana ?
Mr X :  (langsung menutup telepon).

Dapatkah Anda mengenali kejanggalan dari percakapan di atas ?
Terus terang ditengah percakapan itu, hati saya bergolak, apa yang terjadi dengan anak saya. Namun untung saja, saya terima telepon sedang dalam kondisi yang relax, selesai meeting, tidak sedang berada di tengah suasana yang serius, dan kebetulan hati lagi senang. Dalam situasi demikian, sambil didalam hati bertanya-tanya, saya masih menyisakan akal sehat untuk curiga dan merespon pendek-pendek saja percakapan tersebut. Saya samasekali tidak menyebut nama anak, ataupun lokasi sekolah anak, sehingga di pertanyaan saya terakhir, “saya mesti ke sekolah mana?” Mr. X langsung menutup telepon, tidak melanjutkan percakapan.

Setelah percakapan itu berakhir, saya jadi yakin bahwa telepon tersebut pastilah telepon  iseng atau orang dengan motivasi lain semacam upaya penipuan yang gagal. Tapi namanya juga orang tua, tetap saja ada kekuatiran, sehingga saya kontak istri, menceritakan telp yang baru saja saya terima, dan ternyata benar, setelah istri kontak ke sekolah, dua anak saya masing-masing masih belajar dengan kondisi sehat.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, saya renungkan kembali, ternyata memang percakapan itu mengandung banyak kejanggalan, misalnya :
·         Apakah benar penjaga sekolah yang bertanggung jawab menghubungi orang tua murid ? Mengapa bukan bagian tata usaha sekolah atau wali kelasnya ? Dari sini saja sudah mencurigakan.

·       Sedari awal Mr. X tidak menyebutkan siapa nama dirinya, dari sekolah mana, siapa nama anak yang jatuh untuk dikonfirmasi ke orang tuanya. Bagaimana saya bisa tahu ? Masih untung anak saya 2 orang dan belajar di sekolah yang berbeda, sehingga saya bisa menanyakan “Saya mesti ke  sekolah mana?”

Tentu saja telepon dari Mr. X tersebut juga menyisakan beberapa tanda tanya, semisal bagaimana dia bisa tahu nama saya. Analisis sederhananya barangkali Mr. X baru saja dapat rejeki nomplok menemukan HP di jalan, dengan phonebook yang penuh nama, sehingga muncul ide untuk menghubungi kontak tersebut satu-demi satu. Atau pertanyaan lain, bagaimana Mr. X yakin saya punya anak ? Barangkali kalau urusan ini sifatnya trial n error saja. Kalau meleset ya sudah.

Terlepas dari persoalan di atas, pengalaman ini mendorong saya untuk mengajak kita semua tetap berhati-hati dan waspada saat menerima telepon dari orang tidak dikenal, dan mengaku-ngaku membawa informasi penting. Belum tentu informasi itu benar, bisa saja orang iseng, atau orang jahat yang bermaksud menipu. Tentu saat saya mendapat kabar anak saya jatuh, sebagai orang tua langsung panik. Untunglah Tuhan masih menyayangi saya dengan memberikan akal sehat untuk tidak larut dalam emosi, dan langsung menelusuri informasi itu dengan jernih.

Demikian sedikit sharing pengalaman, semoga bermanfaat

Jumat, 28 September 2012

KEMURAHAN DAN KEBAIKAN HATI



Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. (Kolose 3:12)

Kemurahan dan kebaikan, adalah dua kata yang muncul dalam 9 buah Roh. Dengan demikian, salah satu dasar dari kemurahan hati manusia, dan setiap kebaikan manusia harus kita sadari berasal dari karya Roh Kudus di dalam hati kita. Sebagai manusia berdosa, kita telah mengalami kemurahan hati Tuhan, yang mengembalikan harkat manusia sebagai ciptaan yang sungguh amat baik, berkenan di hadapan Allah, melalui kasih karunia keselamatan kita. Disebut kasih karunia karena kita menerima apa yang seharusnya bukan menjadi bagian kita, apa yang seharusnya tidak layak kita terima, apa yang tak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan manusia. Dengan begitu karena kemurahan Allah kita dimampukan untuk dapat menjadi murah hati karena karya Roh Kudus. Karena kebaikan Allah yang kita alami, melalui karya Roh Kudus pula kita dimampukan untuk mampu mendatangkan kebaikan bagi sesama.

Kemurahan pada umumnya diartikan sebagai tindakan yang penuh kasih. Hati yang digerakkan oleh belas kasihan untuk dapat memberi dan berbagi pada sesama. Karena kemurahan semata-mata didasari oleh kasih, kemurahan tidak menuntut balasan. Belas kasih tanpa pamrih, itulah yang diajarkan oleh Allah kepada kita, melalui kasih karunia-Nya yang besar bagi kita. Kebaikan berbicara tentang budi pekerti yang baik, namun tidak hanya hal yang baik dirasakan oleh orang lain namun mengandung unsur kasih, ketulusan dan kebenaran. Dengan demikian, Allah yang baik karena Dia sempurna, melalui perbuatan dan karya-Nya adalah juga demi mendatangkan kebaikan bagi dunia.

Dengan demikian, kemurahan dan kebaikan hati, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Kasih Allah dan karya Roh Kudus memampukan kita berbuah kemurahan hati  sama seperti Allah yang telah bermurah hati kepada kita. Kemurahan Allah mendorong kita untuk memiliki kemurahan hati yang penuh belas kasih pada sesama. Kemurahan itu akan dapat dirasakan melalui segala perbuatan baik yang kita lakukan. Tentu saja, setiap kebaikan yang kita lakukan adalah bukan sekedar segala hal yang baik di mata manusia, namun juga dilandasi oleh kasih kepada sesama, ketaatan pada ketetapan dan hukum Allah, kehendak dan perkenan Allah, sehingga pada akhirnya setiap perbuatan kita mencerminkan kebaikan Allah, dan melaluinya Allah sumber segala kebaikan dapat dimuliakan tinggi. 

Marilah kita mau menyatakan karya Roh Kudus dengan hidup berbuah kemurahan dan kebaikan agar kemurahan dan kebaikan Allah dirasakan oleh sesama kita dan dengan demikian Allah semakin dipermuliakan.

Kamis, 20 September 2012

DAMAI SEJAHTERA


Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Filipi 4:7)

Hidup dalam damai sejahtera adalah dambaan setiap orang. Damai sejahtera atau shalom, seringkali dilukiskan sebagai situasi yang penuh dengan damai, tidak ada persoalan, keselarasan, dan kemapanan. Namun menjadi pertanyaan kita, kapan dan di manakah damai sejahtera dapat muncul dan kita rasakan di tengah dunia yang berdosa dan penuh ketidakadilan?

Sejak semula dunia dengan segala isinya termasuk manusia diciptakan dalam damai sejahtera, untuk mengalami damai sejahtera di taman Eden. Allah melihat semua ciptaan-Nya itu sungguh amat baik, dalam suatu harmoni di mana manusia dipercaya sebagai pengelolanya. Namun  damai sejahtera itu menjadi rusak, saat manusia terpisah dari Allah karena kejatuhannnya ke dalam dosa. Adam dan Hawa menjadi kehilangan damai sejahtera dan saling menuding. Manusia kehilangan damai sejahtera karena menjadi takut atas kesalahannya, dan akhirnya terpisah dari Allah. Keselarasan manusia dengan alam pun menjadi rusak, sehingga manusia harus berpeluh untuk mendapatkan makanannya.

Karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka tidak ada lagi damai sejahtera. Namun Allah yang penuh kasih, mengutus sang Raja Damai, yaitu Yesus Kristus Tuhan kita. Karena anugerah keselamatan dari sang Raja Damai, manusia dapat memperoleh kembali damai sejahteranya, yaitu saat dapat kembali dipersatukan dengan Allah. Dengan demikian, damai sejahtera yang sejati diperoleh bukan sekedar mengenal Kristus sang Raja Damai, namun lebih jauh lagi damai sejahtera itu menjadi nyata dalam kehidupan saat kita menyatu dengan Kristus.

Agar dapat bersatu dengan Kristus, kita perlu merespon anugrah keselamatan yang Allah telah berikan oleh Allah karena iman kita, yaitu damai sejahtera surgawi, yang bersumber dari Allah sendiri. Selanjutnya kita berpindah dari hidup yang gelap karena dosa, menuju hidup dalam damai sejahtera Allah yang memperoleh bimbingan dari Roh Kudus. Dengan menerima dan merespon damai sejahtera surgawi itulah hidup kita diharapkan semakin sempurna menuju keserupaan dengan Kristus, dan mampu menghadirkan damai sejahtera bagi dunia yang gelap ini. Dengan demikian, janganlah takut hidup di dunia ini, namun hiduplah menghadirkan damai sejahtera, karena damai sejahtera-Nya memelihara kita. Ingatlah pesan rasul Paulus ini : Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Filipi 4:7)

Shalom !

KESABARAN DALAM SEGALA HAL



"Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan,
dan bertekunlah dalam doa!"  (Roma 12:12)

Dalam hidup sehari-hari, kita sering mengucapkan atau mendengar kata “sabar”. Kesabaran, seringkali dikonotasikan dengan beberapa keadaan. Sabar bisa berarti menjaga emosi, tidak mudah marah, tidak terburu nafsu dalam menghadapi segala situasi. Sabar juga dapat berarti kehidupan yang tabah menghadapi segala macam persoalan yang menimpa. Sekalipun berat, namun tetap kuat menjalaninya. Kesabaran menuntut seseorang untuk tangguh menghadapi tantangan dan persoalan yang sebenarnya tidak diinginkan terjadi.

Dalam iman kita, kesabaran adalah salah satu dari buah Roh, mencerminkan salah satu buah kehidupan yang seturut dengan kehendak Bapa. Tentu ini bukan berarti karena kehidupan kita telah terlepas dari segala macam persoalan, tapi justru dengan hidup bersandar kepada Tuhan, kita dapat memandang persoalan hidup ini dengan cara yang berbeda. Itulah cara Tuhan membentuk kita, Dia mengerti persoalan hidup kita, dan memampukan kita untuk mengadapinya.

Dalam surat Roma 12:12, Rasul Paulus memberikan nasihat mengenai kesabaran. Yang menarik adalah, kesabaran itu selalu terkait dengan pengharapan dan doa. Dengan demikian, pada waktu Rasul Paulus meminta jemaat untuk selalu bersabar dalam kesesakan, itu bukan berarti menahan penderitaan semata, namun kita bersabar karena sabar itu berdampingan dengan doa, di mana kita dapat membawa segala persoalan kita dalam penyerahan diri kepada Tuhan, dan Dia yang akan memberikan kekuatan. Kita bersabar dalam menghadapi segala persoalan hidup di dunia ini, juga karena sebagai orang percaya kita memiliki pengharapan, yaitu akan tiba waktunya Kristus datang kembali ke dunia ini dan membawa umat yang berkenan dihadapan-Nya masuk ke dalam Kerajaan Surga yang mulia. Untuk sebuah pengharapan yang demikian mulia, apalah arti persoalan hidup kita di dunia ini ?

Karena itu, marilah kita hidup dalam kesabaran, karena Tuhan selalu memberi kekuatan dan menopang saat kita jatuh, untuk menjalani dinamika hidup selama penantian akan pengharapan kita untuk masuk dalam kehidupan kekal.

Jumat, 07 September 2012

SUKACITA DALAM SEGALA HAL


SUKACITA DALAM SEGALA HAL

Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! (Filipi 4:4)

Bagaimana pada umumnya orang menggambarkan tentang sukacita ? Kebanyakan akan menghubungkan sukacita dengan perasaan senang, karena apa yang sedang dialami membawa dampak yang  positif. Barangkali sukacita karena mendapatkan hadiah, sukacita karena lulus ujian, sukacita dalam suatu keberhasilan, atau sukacita karena merasa dicintai. Tentu tidak salah, karena sukacita, senang, bahagia, memiliki kedekatan makna. Namun bagaimana kalau kemudian sukacita itu dihubungkan dengan hal-hal  seperti penjara, kekurangan, kehilangan, atau bahkan dalam situasi-situasi yang menurut banyak orang adalah penderitaan dan kerasnya hidup? Mungkinkah?

Sukacita dalam gambaran di atas, adalah sukacita yang bersandar pada perasaan kita yang merespon peristiwa yang terjadi pada kita, terjadi di sekitar kita dan berdampak pada kita. Namun bila sukacita itu berhenti sampai di situ saja, maka sukacita itu akan sangat mudah berubah menjadi dukacita, karena perasaan kita tertuju pada diri dan apa yang ada disekitar kita. Sukacita yang demikian, bukanlah sukacita yang sejati. Surat Filipi, di mana kalimat “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”  ditulis,  dalam pandangan manusiawi kita barangkali akan tampak sangat ironis. Judul-judul perikopnya berbicara tentang sukacita dan ucapan syukur, namun sejatinya ditulis dari dalam penjara. Tentu kita jadi bertanya-tanya, sukacita semacam apakah yang dialami Paulus, dan oleh pengalaman itu Paulus dapat menguatkan jemaat Filipi ?

Sukacita yang sejati, bukanlah sekedar kesenangan, atau sekedar perasaan positif kita terhadap sesuatu. Sukacita sejati memiliki dimensi rohani, yaitu mindset yang dinaungi oleh iman dan pengharapan akan Kristus. Sukacita yang sejati tidak tergantung pada situasi apa yang kita hadapi, namun berorientasi surgawi, yaitu sukacita yang tertuju kepada Kristus, mengucap syukur karena Kristus, hidup bagi Kristus, dan melakukan apa yang Kristus kehendaki untuk kita kerjakan. Di bagian lain Paulus menegaskannya demikian : Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. (Filipi 3:7-8a)

 Hidup yang bersukacita adalah hidup bagi kemuliaan Kristus, dan memancarkan kemuliaan-Nya. Saat hidup kita tertuju pada Kristus dan Dia tinggal di dalam kita, maka sukacita yang meluap dari dalam diri kita bukan lagi bersandar pada apa yang fana, namun pada kekekalan. Kita sudah mendapatkan sukacita karena iman kepada Kristus yang akan membawa kita pada hidup kekal, jadi sukacita apa lagi yang dapat melebihinya ?

Karena itu, bersukacitalah senantiasa dalam segala hal !

Kamis, 30 Agustus 2012

KASIH YANG SEMPURNA



Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 22:37-40)

“Kasih yang sempurna telah kutrima dari-Mu, bukan karna kebaikanku, hanya oleh kasih karunia-Mu kau pulihkan, layakkanku tuk dapat memanggil-Mu Bapa...” Demikianlah sepenggal lirik lagu rohani yang sering kita dengar dan kita nyanyikan. Lagu tersebut membicarakan tentang kasih yang istimewa, yaitu kasih yang sempurna, yang karena kebaikan Allah, telah memberikan kasih karunia yang paling berharga, yaitu keselamatan kita yang ditebus-Nya dengan darah Kristus di atas kayu salib. Mengapa kasih itu disebut sempurna ? Karena tiada kasih yang lebih besar dari kasih yang rela memberikan nyawa bagi mereka yang sebenarnya tidak layak dikasihi. Inilah kasih tak bersyarat, yang dipraktekkan oleh Allah sendiri bagi umat yang dikasihi-Nya.

Kasih Allah yang dikaruniakan kepada kita, menjadikan kita anak-Nya. Pada waktu kita mendapatkan kasih karunia itu, kita menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kasih Allah, karena Dia ada di dalam kita. Kasih Allah bukanlah sekedar apa yang dilakukan oleh Allah, namun kasih adalah hakikat adalah Allah sendiri. Karena itulah, Tuhan Yesus menyatakan bahwa kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama (Mat 22:37-40) adalah rangkuman dari seluruh hukum Taurat dan kisah para nabi. Ketaatan kepada hukum Allah seharusnya didasarkan pada karakter “kasih” yang merupakan cerminan Allah yang tinggal di dalam kita, bukan lagi ketaatan yang didasarkan pada perasaan takut dan keterikatan pada hukum itu sendiri. Allah yang adalah kasih tinggal di dalam kita, dan kita mencermikan keillahian-Nya dengan mengasihi. Kasih yang adalah hakikat Allah seharusnya menjadi karakter kita umat-Nya. Inilah inti dari keserupaan dengan Kristus, di mana Kristus yang harus semakin bertambah mewarnai karakter kita, dan kita yang harus semakin berkurang, yaitu ego kita.

Sebagai umat yang berkarakter Kristus, kita meneladani dan menuju kesempurnaan Kristus. Karena itu, kita memegang hukum kasih sebagai dasar pertumbuhan karakter kita. Melalui kasih kepada Allah dengan segenap hati, pikiran dan akal budi, kita menempatkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan kita, dan dengan mengasihi sesama, tentu dengan sendirinya tidak akan melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Saat kita hidup didalam terang kasih yang sempurna itu, hidup dan karakter kita pun boleh semakin disempurnakan.

Berbicara tentang “Kekristenan” artinya kita sedang berbicara tentang kasih, karena menjadi Kristen bukanlah tentang beragama, namun hidup berkarakter Kristus, yaitu KASIH.

Sabtu, 25 Agustus 2012

“Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia ... “

“Cintailah ploduk-ploduk Indonesia ... “ barangkali klaim iklan tersebut cukup populer di telinga kita. Tidak ada kesengajaan ataupun kesalahan ucap, tapi memang demikian style bintang iklan, sekaligus pemilik dari PT Maspion, Bapak Alim Markus, yang walaupun sudah sepuh, namun tampak sangat energik. Mengapa saya tiba-tiba menuliskan ini ? Karena buat saya iklan produk Uchida dari Maspion ini termasuk fenomenal, mungkin diluar pakem brand building ala advertising agency.

Iklan produk Uchida yang sering muncul di televisi didesign dengan storyboard sederhana. Iklan hanya menampilkan jenis produk yang diiklankan, menjelaskan fungsinya, dengan endorser penyanyi dan pencipta lagu Titiek Puspa didampingi Alim Markus sendiri, ditutup dengan tagline yang menurut saya sangat menohok, “Cintailah ploduk-ploduk Indonesia ... “ bukan karena kalimatnya, tapi karena cara mengucapkannya, sehingga kalau anda googling “cintailah ploduk” maka akan muncul tak kurang dari 10.200 hasil pencarian. Yang menarik lagi, belakangan muncul versi baru, di mana Alim Markus tidak berdampingan dengan Titiek Puspa, namun dengan ketua DPR Marzuki Alie, yang membuka iklan dengan himbauan untuk mencintai produk Indonesia, disambung dengan produk-produk Uchida, dan tentu ditutup dengan Alim Markus dengan tagline nya : “Cintailah ploduk-ploduk Indonesia”

Dari sisi branding, barangkali pendekatan yang dilakukan Uchida ini tampak kuno, tapi sesungguhnya sangat “out of the box”. Justru salah satu kekuatan iklan ini bukanlah pada produk, namun personal branding Alim Markus sendiri, selaku pemilik group Maspion. Barangkali analoginya seperti di pasar tradisional yang masih mengutamakan unsur kepercayaan, personal guarantee dari penjual yang sekaligus pemilik toko sangat dipertimbangkan oleh pembeli. Dalam konteks tersebut, menurut hemat saya hadirnya Titiek Puspa yang mungkin dalam skenarionya akan dijadikan figur yang kuat untuk menjadi brand ambassador Uchida, dalam eksekusinya tampak bukan menjadi endorser utama, kalah dengan awareness terhadap profil Alim Markus sendiri. Strategi komunikasi Uchida ini sungguh jauh berbeda dari pesaing-pesaingnya seperti Panasonic dan Sharp untuk produk-produk households, yang mungkin lebih menerapkan kaidah-kaidah branding, namun justru menjadi generik : membangun kekuatan brand dengan menjual inovasi teknologi sebagai yang unik, terdepan, tercanggih. Strategi Uchida cukup jitu dalam posisisnya sebagai produk me-too yang lebih fungsional sekaligus juga ekonomis.

Satu lagi terobosan Uchida adalah pesan moral dari iklannya yang tegas mengusung tema untuk selalu mencintai dan menggunakan produk-produk Indonesia. Tentu mengedepankan kecintaan pada produk Indonesia bagi kelompok masyarakat tertentu bukannya tanpa resiko. Kalau berbicara produk-produk yang bersentuhan dengan teknologi, banyak orang yang mempersepsikan Indonesia bukanlah pelopor teknologi atau inovator. Akibatnya mereka lebih Jepang, Korea, Amerika atau Eropa minded, padahal kita tahu bahwa anak bangsa ini bahkan sudah bisa membangun pesawat terbang. Mengusung tema mencintai produk Indonesia oleh Uchida, lebih mengedepankan empati keindonesiaan kita, mengusik rasa nasionalisme kita bahwa bangsa kita sudah mampu memproduksi produk-produk yang tidak kalah dengan produk luar negeri.

Kampanye untuk mencintai dan menggunakan produk-produk Indonesia menjadi sangat relevan bagi kita. Bukan hanya dalam konteks iklan produk Uchida saja, tapi dalam berbagai bidang industri yang sedang berkembang di Indonesia. Memang belum semua produk bisa dibuat di Indonesia, namun kita perlu fair dan obyektif bahwa sekarang ini banyak produk Indonesia yang berkualitas tinggi, tidak kalah dengan produk asing. Oleh karena itu, ikut mendorong kampanye mencintai produk Indonesia dan memilih menggunakan produk Indonesia, sejatinya kita ikut mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Memang strategi mengedepankan “made in Indonesia” sering kali masih belum digunakan sebagai key message oleh para pebisnis kita, sehingga kita sendiri tidak selalu dapat mengenali produk asli Indonesia. Ambil contoh : J-Co donuts, yang barangkali tidak semua orang tahu bahwa waralaba tersebut asli Indonesia, milik Johnny Andrean. Atau Polytron yang sekilas seperti produk Jepang, ternyata diproduksi di Kudus, bagian dari group Djarum.

Kembali ke Uchida. Pada tanggal 18 Agustus kemarin muncul berita, Alim Markus menerima Satyalencana Pembangunan melalui keputusan Presiden no 59/TK/2012, karena dianggap berjasa membangun perekonomian nasional melalui produk berkualitas terbaik yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, juga berhasil menggerakkan masyarakat untuk menggunakan produk Nasional dengan slogan “Cintailah Produk Indonesia”. Silahkan cek beritanya di sini

Selamat untuk Pak Alim Markus, semoga tetap semangat mengkampanyekan “cinta produk Indonesia”. 

Kamis, 23 Agustus 2012

Pilkada Jakarta : Barometer Kedewasaan Berpolitik Kita !


Pagi tadi (23/8) beredar via blackberry messenger pesan berbunyi demikian :
—————-
COBA ANALISA DATA INI:
Apakah ada hubungan antara perolehan suara Foke dan Jokowi di masing2 wilayah tempat terjadinya kebakaran? Kenapa di tempat suara Jokowi unggul mutlak selalu terjadi KEBAKARAN?  Apakah ada hubungannya dengan pernyataan emosional Foke pada korban kebakaran di salah satu wilayah Jakarta  ”kalo lo pilih Jokowi, pindah saja ke Solo”
1. Cideng (Terbakar 22/8/)     Jml suara Foke: 26,07%   Jml suara Jokowi: 55,26 %
2. Kapuk Muara (terbakar 22/8)   suara Foke: 25,02%. suara Jokowi: 62,49%.
3. Karet Tengsin (terbakar 16/8)  suara Foke: 36,01%  suara Jokowi: 39,36%
4. Pdk Bambu (terbakar 15/8)  suara Foke: 35,66%  suara Jokowi: 39,14%.
5. Glodok (terbakar 12/8) suara Foke: 16,63% suara Jokowi: 77,30%.
6. Pekojan (terbakar 8/8) suara Foke: 26,73% suara Jokowi: 61,35%.
7. Pinangsia (terbakar 12/08)  suara Foke: 33,02% suara Jokowi: 56,45%
Ayo analisa dengan cerdas dan berbasis data!! Jika terjadi 7 kali berturut-turut apakah itu suatu KEBETULAN atau KESENGAJAAN?———————————–
Apa analisis anda terhadap data di atas ?

Ada 2 variable : pertama, kampung di mana Jokowi menang. Kedua, kampung itu terbakar. Persoalannya bagaimana menghubungan, atau menghubungpaksakan dua variabel yang jelas tidak berhubungan ini ? Kalau bicara menang kalah dihubungkan dengan basis pendukung partai  atau kebakaran dihubungkan arus pendek listrik, mungkin masih terhubung. Tapi menghubungkan 2 variabel di atas, tampaknya harus memiliki variabel atau asumsi tambahan, yaitu bahwa faktor politik bisa menyebabkan kebakaran, sehingga menggiring kita yang membaca untuk berkesimpulan ada kemungkinan kesengajaan. Kalau sengaja, siapa pelakunya ? Tentu saja bukan Jokowi, karena secara hitungan politik bukankah dia yang dirugikan. Foke kah pelakunya ? Tampaknya itu yang lalu menjadi kesimpulan banyak orang, walaupun belum tentu demikian.

Saya hanya berharap, BBM tersebut bukan berasal dari tim sukses Jokowi, karena menunjukkan permainan politik kekanak-kanakan. Ini bukan type Jokowi yang tidak banyak bicara tapi suka bekerja. Kalau ini dilakukan oleh orang yang mencoba membantu Jokowi, ingatlah bukannya membantu, tapi menjerumuskan, sama menjerumuskannya dengan pelempar isyu SARA yang dituding keluar dari kubu Foke.

Beberapa waktu yang lalu, kita sudah dikejutkan dengan lemparan topik SARA yang dihubungkan dengan calon pemimpin Jakarta. Sempat menjadi polemik di berbagai media massa, termasuk di Kompasiana karena selain hangat isyunya, hangat juga orang yang melemparkannya : selebriti kita bang Haji Rhoma Irama. Belum lagi ada yang menghubungkan calon pemimpin dengan daerah asal dan kesukuannya. Kalaulah kemudian masalah kebakaran di Jakarta ini lalu diangkat juga sebagai salah satu senjata untuk menyerang salah satu calon, lengkaplah sudah kehancuran demokrasi negeri ini.

Menyikapi masalah kebakaran di Jakarta walaupun tampak sekali banyak kebetulan, baiknya para politisi, tim sukses, maupun pendukung harus mulai bijaksana melempar statement. Media pun seharusnya juga bijak merilis berita, walaupun diakhiri dengan tanda tanya (?), seperti di TV One sore ini (23/8) yang mempertanyakan : kebakaran atau dibakar ? Akhirnya ramailah orang berspekulasi. Coba kalau kemudian tidak terbukti bahwa kebakaran itu disengaja, siapa yang malu ? Sikap yang benar untuk menyikapi masalah ini ya tentu saja lapor ke Polisi untuk melakukan investigasi, mencari kemungkinan kesengajaan. Atau kalau perlu sekalian lapor Pak Dahlan Ikhsan untuk meminta PLN melakukan pengecekan terhadap kelayakan instalasi listrik, terutama di area padat penduduk di Jakarta, bukannya melempar spekulasi ke masyarakat. Semoga benar adanya, pernyataan tim sukses Jokowi yang mengatakan tidak akan membawa-bawa peristiwa kebakaran di Jakarta ke ranah politik dengan mengkaitkannya dengan faktor kemenangan Jokowi di daerah yang terbakar.

Dalam berdemokrasi yang sehat, seharusnya kedua kubu calon Gubernur lebih banyak mengangkat persoalan-persoalan Jakarta dan menawarkan penyelesaiannya.  Biarlah rakyat yang menilai program siapa yang lebih dapat membawa Jakarta menjadi lebih baik. Hal inilah yang menjadi tantangan tim sukses maupun pendukung masing-masing calon untuk lebih dewasa berdemokrasi. Saya bermimpi, Jokowi - Foke dapat bersama dalam 1 panggung, membicarakan bagaimana menjadikan Jakarta lebih baik. Dan pada akhirnya nanti siapapun yang menang memimpin Jakarta akan mendapat dukungan penuh dari yang kalah. Itulah esensi dari berdemokrasi yaitu penghormatan kepada suara rakyat, menempatkan pemimpin sebagai hamba rakyat.

Kalau model demokrasi yang berbasis isyu yang tidak substansial seperti ini dianggap sebagai barometer 2014, tampaknya calon pemenang pemilu adalah partai Golput.

Senin, 20 Agustus 2012

BAHASA INDONESIA MAU KITA BAWA KE MANA ?


Butir ke-3 dari Sumpah Pemuda 18 Oktober 1928 berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Secara politik, Kongres Pemuda II yang kemudian ditutup dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda itu merupakan salah satu titik waktu munculnya kesadaran perlunya unsur pemersatu bangsa. Secara politik, kesadaran berbangsa masih bersifat lokal, sebagai cerminan Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan bahasa, serta tersebar dalam wilayah yang luas dan terpisah-pisah dalam ribuan pulau. Namun munculnya kesadaran perlunya persatuan kebangsaan dan tanah air Indonesia, menjadikan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu dan telah dituturkan secara terbatas terutama di kalangan ningrat dan bahasa administratif pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki peran yang penting sebagai bahasa pemersatu. Oleh karena itu, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ditegaskan dalam UUD bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara.

Ada satu ungkapan yang mengatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Hari ini bahasa Inggris diterima luas sebagai bahasa internasional konon karena sejarah kolonialismenya di masa lalum, menjadikan bahasa Inggris memiliki jumlah penuturnya yang luas, disamping kosa katanya yang lengkap sehingga memenuhi syarat menjadi bahasa internasional di masa kini. Hal yang sama terjadi pula dengan bahasa Perancis, walaupun penggunanya terbatas di Perancis dan bekas koloninya saja. Bahasa Jerman dan Jepang sebagai negara kuat dipelajari di banyak negara, karena kedua negara itu dianggap penting. Seiring dengan meningkatknya kekuatan ekonomi Cina, di banyak negara orang-orang mulai berminat mempelajari bahasa Mandarin dengan alasan ekspansi bisnis, bukannya memaksa orang Cina berbicara bahasa Inggris. Ini menunjukkan bahwa Cina pun mulai diperhitungkan.

Lalu bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia memaknai bahasa Indonesia saat ini ?

Berbicara tentang bahasa Indonesia tidak terlepas dari posisi strategis negara Indonesia di mata dunia. Jembatan emas untuk mempelajari Indonesia adalah dengan mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak hanya dipelajari oleh tetangga ASEAN kita, namun juga di Australia, Belanda, Kanada, dan bahkan di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia dianggap cukup penting, paling tidak secara ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang termasuk 5 besar di dunia, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diatas 5% per tahun adalah wilayah yang sangat menggiurkan sebagai tujuan investasi. Sebagai negara terbesar dari segi jumlah penduduk dan luas wilayah di ASEAN, seharusnya secara politik Indonesia sangat diperhitungkan di tingkat ASEAN. Tidak heran, Indonesia cukup berambisi untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN.

Adanya potensi menjadikan bahasa Indonesia sebagai menjadi bahasa internasional ini nampaknya justru belum terlihat dukungannya di dalam negeri sendiri. Paling tidak beberapa indikator dapat kita lihat di sekitar kita sebagai berikut :

Pertama, kampanye berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya semakin lama semakin menghilang. Pengajaran bahasa Indonesia kepada masyarakat luas tampaknya tidak lagi menjadi perhatian kita bersama. Jaman dulu siapa yang tidak mengenal nama Jus Badudu yang setiap minggu mengasuh acara bahasa Indonesia di televisi ? Hari ini televisi kita melalui para pembawa acara maupun sinetron-sinetron mengajarkan bahasa alay dan bahasa “lu-gue” sebagai bahasa yang baik dan benar. Penyiar radio di daerah pun ikut-ikutan ber-“lu-gue” walaupun dengan logat Jawa yang kental. Belum lagi fenomena menarik yang saya lihat dari nilai UN anak SD (paling tidak di sekolah anak saya) menunjukkan dari 3 mata pelajaran yang diujikan, pelajaran Bahasa Indonesia bukan menempati rata-rata nilai tertinggi. Jadi ?

Kedua, kurang terlihatnya daya dukung untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia dengan terus melakukan penyempurnaan dan penambahan kosakata baru. Sebaliknya justru dari para pejabat sampai pebisnis semakin banyak memasukkan kosa kata bahasa Inggris dalam bertutur bahasa Indonesia. Apakah memang bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata untuk menggantikan kata-kata yang mulai umum dituturkan dalam berbahasa Indonesia seperti kata which is, clear, yes, no, dan lainnya ? Bukankah kita sering mendengarnya ? Apakah bahasa Indonesia mutakhir itu sama dengan bahasa Indonesia gado-gado? Jangan-jangan ini mencerminkan kerendahan diri sebagai manusia Indonesia, bermental “inlander” seperti jaman penjajahan Belanda, yang merendahkan ke-Indonesiaan dan meninggikan bahasa asing ?  

Ketiga, dunia pendidikan kita yang mencoba maju selangkah dengan model RSBI yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas-kelas sekolah SMP maupun SMU patut dicermati bersama. Tentu saja penting menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dan keilmuan internasional, namun bila tidak diikuti dengan pembelajaran bahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka kita hanya akan menghasilkan generasi yang meninggalkan bahasa Indonesia. Bukankah hari ini generasi itu sudah mulai terbentuk? Berapa banyak dari kita yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi mulai berbahasa Inggris dengan anak yang bersekolah di sekolah internasional hingga anak-anak itu menjadi gagap berbahasa Indonesia ?

Saya pun masih kurang percaya diri menulis artikel ini, semoga cukup memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu sebaiknya saya sudahi di sini, dengan ucapan selamat ber bulan bahasa Indonesia, marilah kita berusaha untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. 

MERDEKA ITU MEMERDEKAKAN



... bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan satu jembatan emas ...  di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita ... (Ir. Soekarno)

Memang perayaan HUT kemerdekaan RI telah lewat, namun perenungan HUT Kemerdekaan itu masih menyisakan suatu tanda tanya, terutama pada waktu kemudian banyak juga orang menggugat “apakah betul kita ini sudah merdeka ?” Tentu sekali-sekali pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk mempertanyakan legitimasi dari proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Konteks mempertanyaan “apakah kita sudah menjadi bangsa merdeka” itu lebih memperhatikan -- atau tepatnya memprihatinkan --- kondisi kita sebagai bangsa hari ini yang walaupun telah 67 tahun merdeka, walaupun pertumbuhan ekonomi tanpaknya baik-baik saja, namun masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, seperti misalnya kita belum merdeka karena secara ekonomi masih banyak rakyat kita belum dapat merdeka dari belenggu kemiskinan, atau barangkali kita memprihatinkan secara politik walaupun kita telah mempraktekkan demokrasi, toh masih terbelenggu kepentingan sempit dari kelompok (yang direpresentasikan oleh partai), sehingga belum banyak orang yang dengan tulus mengurus negara ini. Atau mungkin kita prihatin, dari zaman orde lama, orde baru hingga orde reformasi ini, kita tidak juga lepas dari belenggu korupsi.

Namun itulah kenyataan yang terjadi. Pidato di hari lahirnya Pancasila oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 menegaskan bahwa political independence (dari penjajahan Jepang) adalah satu jembatan emas, menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kemerdekaan tidak bisa menunggu segala sesuatunya siap, tapi dalam kemerdekaan itu kita mau memerdekakan rakyat Indonesia. Semangat seperti inilah yang barangkali perlu menjadi semangat kita bersama hari ini, untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Soekarno – Hatta dan para pendiri republik ini adalah peletak dasar kemandirian politik, menegakkan kepala bangsa Indonesia setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Namun kemerdekaan itu bukankah bukan tujuan akhir ? Kemerdekaan itu adalah pekerjaan besar untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari kondisi terjajah menjadi merdeka yang sebernarnya, yaitu cita-cita yang diletakkan di seberang jembatan emas, sebagaimana tertulis di keseluruhan Pembukaan UUD ’45.

Merdeka yang sebenarnya adalah saat kemerdekaan itu bisa memerdekakan, bisa membawa bangsa ini menuju cita-cita kemakmuran. Masih banyak belenggu-belenggu yang harus dipatahkan, dan itu bukan untuk dibicarakan, diperdebatkan namun dikerjakan. Karena itu, menilai kemerdekaan itu seharusnya berangkat dari diri kita sendiri, apakah saya sudah merdeka dan apakah kemerdekaan saya dapat memerdekakan orang lain. Kita membutuhkan banyak pelopor di berbagai bidang untuk membawa Indonesia meraih cita-citanya. Merdeka itu haruslah memerdekakan. Kalau hati kita merdeka namun kita maknai sebagai kenikmatan diri saja, maka sesungguhnya kita pun belum merdeka. Karena merdeka itu adalah jembatan emas, merdeka itu sarana, bukan tujuan.

Kita patut bersedih, saat melihat Indonesia yang telah demikian maju, semakin banyak orang pintar, semakin banyak orang berkesadaran politik, semakin banyak orang yang ber hati merdeka, bukan lagi berjiwa inlander, namun tidak menggunakan kemerdekaannya itu untuk memerdekakan orang lain. Alih-alih bekerja sama membangun bangsa, yang terjadi justru saling mencari kesalahan, dan berebut kekuasaan. Bukankah kata pendahulu kita, negara ini dibangun atas dasar akar budaya “gotong royong” ? Tapi yang terjadi kegotongroyongan itu kini digantikan oleh kepentingan sempit kelompok dalam bungkus demokrasi yang semakin hari kian liberal saja.

Kemerdekaan yang memerdekakan itu haruslah dikibarkan laksana sang saka merah putih di angkasa. Mengapa kita mengibarkan bendera merah putih? Karena membangun bangsa ini harus didasarkan oleh merahnya keberanian dan putihnya kesucian secara bersama-sama. Siapa yang hanya menaikkan bendera merah saja akan menjadi orang yang tangguh, kuat namun keblinger kekuasaan dan mementingkan diri sendiri. Tapi orang yang hanya mengibarkan bendera putih saja, barangkali tinggal “mandeg padito”, hanya sanggup prihatin tanpa keberanian mempelopori perubahan, terpinggir tanpa daya di tengah arus kekuatan-kekuatan yang ada.

Sekali lagi, kita memang telah merdeka. Jembatan emas telah dibangun, menantikan para ksatria yang mau bersama-sama membawa bangsa ini menuju masyarakat adil dan makmur di seberang sana. Kita tidak perlu menunggu siapa “satria piningit” itu, barangkali kita ini satu diantaranya. Jadi ingat kutipan pidato John F Kennedy iniask not what your country can do for you - ask what you can do for your country.”