Sabtu, 19 Mei 2012

Dibutuhkan Orang Kaya Untuk Menjadi Pemimpin


Jaman dahulu kala, tersebutlah seorang Raja yang bijaksana. Sang Raja adalah orang yang murah hati dan bijaksana, sehingga sangat dicintai oleh rakyatnya. Melalui kepemimpinan beliau,  negeri itu menjadi makmur, rakyat berkecukupan sandang pangan dan mereka selalu hidup dalam sukacita. Demikianlah sepenggal cerita sebelum tidur yang biasa dikisahkan nenek kita, yang bersumber dari buku-buku karangan HC Andersen. Di sisi yang lain, sering pula digambarkan adanya seorang Raja negeri yang lain, dengan sifat yang bertolak belakang. Raja ini gemar sekali berfoya-foya, menumpuk harta kekayaan dengan menarik pajak yang tinggi dari rakyatnya, kejam dan otoriter. Akhirnya negeri ini benar-benar menjadi kerajaan yang mencekam, rakyat hidup dalam ketakutan dan kemiskinan. Pernah dengan dongeng seperti ini ? Dongeng, seringkali menggambarkan realitas kehidupan pada masa kisah-kisah ini dituliskan. Dongeng-dongeng tersebut sepakat bahwa karakter seorang Raja (pemimpin), yang akan menentukan nasib negeri dan tentu saja rakyatnya.

Itu tadi kalau kita bicara soal negeri dongeng. Bagaimana dengan realitas politik yang ada ? Seiring dengan berjalannya waktu, sistem pemerintahan dengan kekuasaan terpusat pada satu atau beberapa orang, seperti monarki (Kerajaan), aristokrasi  sudah bukan lagi populer, digantikan oleh sistem yang lebih terbuka, yaitu demokrasi. Konon, trend untuk berdemokrasi didasarkan pada ketakutan bahwa kekuasaaan yang terpusat selalu ditakutkan berbuntut pada  kondisi tirani kekuasaan. Di negara-negara Eropa, peran Raja dan Ratu dalam pemerintahan banyak digantikan oleh Perdana Menteri yang bertanggung jawab pada parlemen. Demokrasi sendiri sebenarnya bukan barang baru. Konon, istilah demokrasi sudah dikenal sejak jaman Aristoteles di Yunani, yang ide dasarnya adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Ini berlawanan dengan sistem monarki yang menempatkan Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, atau teokrasi yang menempatkan pemuka agama yang dianggap  wakil Tuhan sebagai pemimpin tertinggi.
Kasus di Indonesia, tidaklah terlepas dari gelombang besar ini. Era reformasi menumbangkan orde baru dengan menawarkan demokrasi. Era reformasi ingin menempatkan rakyat benar-benar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, melalui lembaga perwakilannya MPR dan DPR. Namun sekalipun era reformasi dianggap berjasa membangun pilar demokrasi politik Indonesia, bukan berarti outputnya jadi sama dengan negara demokrasi yang lain. Kita telah semakin terbuka dalam berdemokrasi toh tidak menjamin terhapusnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dari awal didengung-dengungkan akan diberantas di era reformasi. Sistem multipartai yang diharapkan dapat menyerap aspirasi rakyat sebanyak mungkin, ujung-ujungnya menjadi ajang penyatuan kepentingan. Sistem pemilihan langsung yang diharapkan dapat menjamin hak pilih rakyat justru ada yang memanfaatkannya untuk jual beli suara melalui politik uang. Demokrasi yang diharapkan menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, pada akhirnya sekedar menyajikan pesta demokrasi 5 tahun sekali, dengan prosesi  5 detik penggunaan hak politik rakyat di dalam bilik suara, setelah itu hirup pikuk di parlemen hanyalah atas nama rakyat demi kepentingan partai (semoga pendapat ini keliru).

Seringkali kita meributkan sistem, mendiskusikan bangunan rumah namun tidak membicarakan orang-orangnya. Rumah yang indah tidak selalu berisi rumah tangga yang harmonis. Pada akhirnya yang paling penting adalah orang-orang yang dapat menjadikan rumah itu sebagai tempat yang nyaman untuk ditinggali. Untuk itulah, kalau kita sudah sepakat untuk berdemokrasi, marilah kita dengan dewasa berdemokrasi, dengan memanfaatkan kebebasan namun bertanggung jawab, menerima limpahan hak politik rakyat sebagai amanah yang harus ditanggung, untuk dikerjakan dengan baik sesuai prinsip demokrasi yang mudahnya adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Untuk itulah rasanya kita membutuhkan orang-orang  yang benar-benar kaya untuk dapat menjadi pemimpin yang baik. Seorang yang kaya adalah orang yang sudah tidak lagi punya keinginan untuk dirinya, sehingga dia bisa mengabikan diri untuk keinginan orang banyak. Seorang kaya adalah orang yang memposisikan diri untuk memberi dan bukan meminta. Seorang kaya adalah orang yang sudah tidak lagi memprioritaskan pikiran untuk dirinya, sehingga sepenuhnya dapat memikirkan orang lain. Pada akhirnya, ukuran kekayaan itu bukan tergantung seberapa banyak yang bisa dimiliki, namun seberapa besar yang dapat diberikan. Ukuran kekayaan bukanlah dari harta benda, namun adalah kebesaran hati untuk memberi yang terbaik. Ukuran kekayaan bukan pada gemerlap penampilan namun ketulusan hati untuk memegang tanggung jawab sebagai pemimpin menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan hati yang sedemikan kaya, seorang Raja akan menjadi bijaksana dan bukan tirani dalam sistem monarki. Dengan kekayaan hati yang demikian, seorang pemuka agama  benar-benar menjalankan fungsi wakil Tuhan dalam sistem teokrasi. Dengan kekayaan hati,  wakil-wakil rakyat dan pemerintahnya dapat berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung jawab demi kemajuan bangsanya.

Dalam kondisi carut marut perpolitikan negeri ini yang diterpa berbagai macam skandal, semoga dapat  membuka mata hati kita bahwa masalah kita sekarang bukanlah apa yang salah dengan sistem yang sedang kita jalankan, namun seberapa besar orang-orang yang ditanamkan dalam sistem itu memiliki ketulusan dan kekayaan hati. Semoga dalam perjalanan yang semakin berat, para pemimpin kita dengan berbagai latar belakang dan pengalamannya, benar-benar mau meletakkan segala macam kepentingan partai, menerima perbedaan sebagai bagian kekayaan hati untuk disatukan demi keutuhan dan masa depan bangsa.

Harapan basi ? Semoga enggak lah !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar