Sabtu, 19 Mei 2012

Lolos UN Belum Tentu Lulus !


Sebagai orang tua dengan anak kelas 6 SD, secara pribadi saya merasa perlu mengalokasikan waktu yang lebih kepada persiapan anak menghadapi UN. Gara-gara memperhatikan dan membantu anak mempersiapkan UN, jadi akhirnya ikut mengamati dan memperhatikan UN. Hajat tahunan pendidikan Nasional ini, konon bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi. Diharapkan dengan tercapainya target nilai lulusan dapat mengantarkan siswa menjadi lulusan yang unggul di masa kini dan masa depan. Tentu kita sepakat, pengukuran terhadap hasil itu sangat dibutuhkan agar proses belajar-mengajar yang telah dilalui dapat diketahui hasilnya. Walaupun ternyata, dalam beberapa kasus tertentu ternyata UN sudah tidak dianggap menentukan. Beberapa sekolah swasta justru sudah menerima murid dan beres administrasi jauh sebelum UN berlangsung. Yang penting lolos standar minimum.

Secara teknis, sebenarnya untuk lulus UN itu tidaklah sesulit yang ditakutkan. Barangkali ini strategi dari guru/sekolah agar anak benar-benar concern. UN yang menjadi (–dijadikan–) momok bagi siswa, sebenarnya tidaklah murni sebagai kepentingan siswa, namun juga kepentingan sekolah untuk mencapai target lulus 100%. Dalam rangka pencapaian target 100% itu, siswa benar-benar dikondisikan dan dibiasakan untuk berlatih mengerjakan soal-soal UN. Pengalaman anak saya, semester 2 ini sudah mengikuti berbagai macam try-out, baik itu dari sekolah, dari kecamatan, dari kabupaten, belum lagi try-out dari lembaga Bimbel yang banyak ditawarkan diluar, maupun kisi-kisi UN dari diknas yang dengan mudah dicari di internet. Jadi, anak itu sebenarnya sudah berlatih, dikondisikan untuk lulus. Tidak ada sekolah yang mau anak didiknya ada yang tidak lulus.

Namun toh kabar-kabar miring tentang UN masih saja beredar. Kisah-kisah penyimpangan klasik UN seperti beredarnya kunci jawaban soal dengan harga jutaan (walaupun belum tentu benar), bahkan pernah ada kasus di tahun 2011, sekolah yang meminta siswa pintar untuk membagikan jawaban kepada siswa lainnya (http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/05/30/129194/Sekolah-Guru-Paksa-Siswa-Contek-Contekan-Tak-Acuhkan-Komnas-Anak). Belum lagi ditemukannya kasus-kasus siswa mencontek dengan berbagai modus operandi, hingga sekolah perlu merasa perlu memasang CCTV di kelas. Pada akhirnya proses belajar mengajar tidak lagi berarti. Yang ada tinggalah mental jalan pintas dengan menghalalkan segala cara, yang penting lulus. Pada akhirnya hasil akhir yang penting, proses tidaklah penting.

Kalau kita mengacu pada UUD 45, disebutkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (Pasal 31 ayat 3 UUD ’45 Amandemen IV). Inti dari output pendidikan itu adalah keimanan, ketakwaan dan akhlak lah yang ditempatkan mendahului kecerdasan. Jadi pendidikan yang menghasilkan nilai tinggi (sebagai tolok ukur kompetensi) tidak dapat disebut berhasil menyelenggarakan pendidikan, kalau unsur keimanan, ketakwaan dan akhlak justru tidak dikedepankan, bahkan dilanggar demi secarik nilai UN. Lebih ironis lagi kalau sampai terjadi sekolah dan guru ikut terlibat menghalalkan segala cara demi mencapai angka nilai dan kelulusan semata. Bukankah ini sama saja dengan mengajarkan praktek KKN sejak dini ? Bukankah ini penyakit akut yang hendak dibasmi dari bumi Indonesia ini ? Lalu apa arti dari “manusia Indonesia seutuhnya” kalau bukan sekedar slogan ?

Lolos UN itu gampang, tapi untuk lulus menjadi siswa yang cerdas pintar sekaligus meningkat keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia, masih menjadi PR kita bersama : Pemerintah, Sekolah dan orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar