Minggu, 30 Maret 2014

Aku Hanyalah Caleg Berspanduk


PILEG akan segera digelar tanggal 9 April 2014 nanti. Ditengah hiruk pikuk caleg DPR tingkat Nasional, pertarungan di daerah tidak kalah serunya. Memang dinamika calon tingkat Nasional dan daerah bisa jadi berbeda. Para jurkamnas biasanya mampu berkeliling Indonesia dan membuka lapak panggung kampanye megah berikut dengan perlengkapan orkes dangdut lengkap dan barangkali juga didukung tim kampanye yang solid. Akan tetapi para caleg DPRD tingkat kabupaten, haruslah cermat mengefektifkan pelurunya. Tidak semua caleg di daerah mempunyai amunisi yang cukup untuk membuka lapak kampanye yang mampu menyedot massa yang cukup besar. Karena itu, kreatifitas tinggi pun dibutuhkan agar namanya dapat dikenal dan nanti dicoblos.

Memang masalah permodalan tampaknya perlu menjadi pertimbangan tersendiri. Sebagai contohnya tukang bakso yang nyaleg menurut berita di sini,  tentu modalnya tidaklah cukup untuk mengcover seluruh wilayah kabupaten yang menjadi medan perangnya. Akan tetapi, sebagai penjual bakso, dia cukup kreatif dengan sosialisasi kepada modal dasarnya, yaitu para pelanggan yang datang ke warungnya.

Akan tetapi kalau diamati, semua caleg menggunakan cara yang nyaris mirip, yaitu memasang banner atau spanduk di jalanan. Memang tampak tidak sedap dipandang mata. Karena sebagian besar orang berpikir cara ini efektif, maka semuanya berpikiran sama, sehingga tepi jalan dan panggung spanduk dipenuhi oleh gambar caleg. Ironisnya lagi : khususnya bagi mereka yang hanya mencetak dalam ukuran kecil dan jumlahnya sedikit, menjadi tenggelam ditelan kumpulan banner dan spanduk yang  bertebaran di mana-mana. Jangan-jangan sudah tidak ada orang yang melihat lagi. Bukan apa-apa, karena saking banyaknya !

Karena itu, sebelum menjadi caleg dengan modal minimal, haruslah berpikir bagaimana mengefektifkan modal itu. Inilah beberapa tips bagi caleg dengan modal minimal tapi dapat meraiih suara maksimal :

Pertama, sebelum bicara modal, haruslah punya modal dasar : reputasi baik di mata masyarakat. Kalau anda seorang tokoh yang dikenal baik oleh masyarakat, dengan sendirinya reputasi itu akan mendatangkan dukungan. Kalau anda baru dalam taraf “merasa baik” tapi tidak dikenal, mungkin kebaikan anda belum dirasakan masyarakat. Apalagi kalau anda merasa baik dan sudah terkenal  tapi kok tidak punya pendukung, berarti apa yang anda sebut kebaikan itu bukanlah kebaikan di mata masyarakat. Kenali diri, kenali customer.

Kedua, pemilih hanya mencoblos partai dan tulisan nama, bukan foto anda. Walaupun spanduk memang kelihatan meriah, belum tentu efektif. Spanduk anda tidak akan efektif jika sudah ukurannya kecil, kalah jumlah lagi. Lebih baik kreatif seperti tukang baso tadi, menggarap captive market dengan cara yang sederhana : senyum, aroma baso yang menggoyang lidah plus kartu nama agar diingat.

Ketiga, dikenal konstituen itu penting. Jadi bertemulah dengan mereka. Tidak perlu lebay, karena masyarakat sudah pintar dan tahu bahwa semua caleg itu cari simpati. Daripada berjanji, lebih baik bertanya apa masalah mereka, supaya anda tahu apa yang anda perjuangkan kalau diberi kesempatan duduk menjadi anggota dewan. Berjanji sajalah bahwa anda ingat masalah mereka, dan syukur diberi kesempatan memperjuangkannya.

Keempat, jangan sekali-sekali bermain politik uang, walaupun anda tahu uang anda pasti diterima. Banyak orang yang melakukannya, tapi tidak ada jaminan gara-gara uang itu, anda dipilih. Rakyat sudah pintar untuk mencurigai saat seorang caleg membeli suara dengan uang, suatu saat kalau jadi kemungkinan akan menuntut kembaliannya. Apalagi di jaman di mana korupsi sudah semakin memprihatinkan begini.

Kelima, ora et labora. Jangan lupa berdoa. Jangan berdoa agar Tuhan menjadikan anda seorang anggota dewan, tapi berdoalah meminta kekuatan agar anda tahan uji dan tahan godaan, tetap hidup lurus dan menjaga kepercayaan. Kalaupun Tuhan tidak menjadikan anda seorang anggota dewan, anda masih bisa memperjuangkan nasib orang lemah melalui banyak hal. Hidup ini bisa berharga bagi banyak orang walaupun anda tidak punya jabatan.

Jadi, jadi caleg itu jangan hanya mengandalkan spanduk, karena bukan spanduk yang memilih anda, tapi rakyat.

Menangkan hati rakyat, dan anda akan menang. Selamat menjadi caleg.

Hajatan Pesta Demokrasi


Tanggal 9 April 2014 nanti, hajatan Nasional untuk memilih wakil-wakil partai untuk menduduki kursi dewan akan segera dimulai. Seperti biasa, gegap gempita pesta demokrasi dirasakan bahkan lebih jauh sebelum tanggal 9 April 2014. Memang pesta demokrasi menjadi pusat perhatian tersendiri bagi rakyat banyak, karena biar bagaimanapun nasib rakyat adalah objek yang dikampanyekan untuk meraih suara, sekaligus juga sebagai stakeholder yang harus dipuaskan.

Pemilihan umum juga menjadi moment yang menyenangkan bagi rakyat karena pada saat itulah rakyat benar-benar “dirakyatkan”, karena banyak orang baik yang mendatangi dan berbicara kepada rakyat, menanyakan kabar dan nasibnya. Kalau yang saat ini sudah “duduk”, akan memastikan bahwa apa yang sudah diberikan selama dia duduk sudah memuaskan, sementara yang belum “duduk” akan menanyakan ketidakpuasan apa yang bisa dijadikan materi kampanye dan program perbaikan. Namun intinya, diperhatikan.

Dinamika kampanye tidak melulu bernuansa serius, karena sekalipun materi yang dibicarakan sangat strategis (kepemimpinan Nasional) ternyata bisa juga disampaikan dengan cara yang menyenangkan. Makanya kita tidak heran kalau nuansa kampanye sarat dengan panggung hiburan dan pawai kendaraan di jalanan. Itulah kita, yang memiliki “kearifan” untuk menyampaikan kerumitan masalah bangsa dengan cara-cara yang sederhana dan menghibur.

Yang patut menjadi catatan kita pula, dampak ekonomi dari Pemilu sekalipun tidak dinikmati semua orang, namun dapat menjadi salah satu motor penggerak ekonomi. Jadi kalau anda merasa skeptis dengan Pemilu, bahkan berpikir untuk golput segala, jangan marah, sedih dan kecewa dulu. Kalaupun anda merasa manfaat politiknya tidak signifikan, akan tetapi masih ada dampak positifnya pada sektor ekonomi. Konon, di masa seperti ini, teori trickle down effect baru kelihatan ada benarnya. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, sebagaimana dikutip banyak media  memperkirakan penyelenggaraan pemilu pada 2014 akan berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, yang diperkirakan akan menyumbang pada kenaikan produk domestik bruto (PDB) sekitar 0,2 persen. Kalaupun kita bukan orang yang mengerti ekonomi, dampak positif dari Pemilu dapat kita rasakan dari analisis sederhana di bawah ini.

Bagi industri kreatif, Pemilu memiliki dampak yang paling signifikan, khususnya pada subsektor periklanan dan fashion. Bagi subsektor industri periklanan, ramainya caleg beriklan lewat media massa berdampak sangat positif. Advertising agency, media agency dan PR agency mendapat banyak order untuk kreatif dan strategi pemenangan Pemilu dan pembelian slot iklan. Dengan besarnya uang yang dikucurkan, maka industri ikutannya ikut kebanjiran order, misalnya production house kebanjiran order produksi iklan, sementara media seperti TV, radio, dan surat kabar ikut kebanjiran iklan. Insan periklanan di daerah pun ikut kebanjiran order baik itu pemasangan baliho, banner, spanduk sampai umbul-umbul. Sebagai dampak ikutannya, produsen spanduk, bendera, umbul-umbul dan baliho akan sibuk mencetak pesanan para caleg.

Jasa terkait yang bisa kita masukkan adalah idustri perhotelan dan hiburan. Tingginya mobilitas orang akan meningkatkan okupansi hotel. Di industri hiburan, event organizer, orkes melayu, group band pop dan penyanyi baik kelas nasional hingga kelas kampung tidak akan sepi dari order. Pemilik persewaan panggung, soundsystem, disel dan meja kursi pun jadi tidak luput dari cipratan rezeki Pemilu.

Dari industri fashion, tentu saja yang paling kecipratan rezeki Pemilu adalah para produsen kaos. Bisa dibayangkan kalau 10 partai politik memesan kaos untuk masing-masing 1.000 lembar kaos per kecamatan saja, bisakah kita menghitung berapa potong kaos yang diproduksi di seluruh Indonesia sebagai alat peraga kampanye saja? Bisakah dibayangkan berapa uang yang beredar di produsen kaos, distributor bahan kaos, bahan-bahan sablon dan produsen benang  jika selembar kaos nilainya Rp. 15.000,- saja?

Selain industri kreatif, industri rokok, makanan dan minuman adalah industri yang juga mengalami pertumbuhan. Semakin banyak massa dimobilisasi, maka akan semakin banyak logistik konsumsi yang harus disediakan, baik untuk tim sukses, tim pawai maupun untuk pertemuan-pertemuan dengan konstituen. Semuanya butuh nasi kotak, snack, air mineral, rokok ala kadarnya dan mungkin juga sembako untuk dibagikan. Dengan demikian, pengusaha kartering maupun produsen snack akan panen pesanan.

Berikutnya rezeki juga sampai ke sektor transportasi dan ikutannya yang menjadi penyokong kampanye.  Mobilisasi masa jaman kuno (katakanlah pemilu tahun 1970-an) lebih efisien, karena ada yang bersepeda, jalan kaki atau beberapa puluh orang di atas bak terbuka. Namun hari ini, untuk mengumpulkan massa dibutuhkan sewa bus untuk mengangkut massa (agar lebih manusiawi) dan tim sepeda motor yang meramaikan jalanan. Khusus untuk sepeda motor karena supaya seru harus ada modifikasi knalpot, maka pra maupun pasca Pemilu, bengkel akan mengalami kenaikan kunjungan, sekali untuk modifikasi, sekali lagi untuk service. Sementara itu konsumsi BBM bersubsidi juga ikut naik, karena mobilitas orang yang meningkat (walaupun bersifat lokal). Belum lagi pemanfaatan sarana transportasi untuk mobilitas para jurkam, baik itu menggunakan mobil pribadi, kereta api, pesawat terbang, bahkan helikopter sewaan (apakah anda juga merasakan kalau tiket promo pesawat belakangan ini agak sulit didapat?).

Sektor informal juga dapat ikut mengais rejeki Pemilu. Banyaknya event di lapangan menjadi lahan bagi para pedagang asongan untuk beroperasi. Mengingat event ini hanya sekali saja, biasanya harga barang di asongan pun bisa relatif lebih tinggi dari biasa (harga peak-season). Pedagang asongan di sini bukan saja mereka yang berjualan rokok dan permen, termasuk juga tukang baso, tukang kacang goreng, tukang es krim, dan bakul keliling lainnya.

Last but not least, kalau anda lagi tidak ada kesibukan pun masih punya kesempatan untuk mendapat uang, karena Pemilu menciptakan lapangan kerja baru sebagai peserta kegiatan kampanye terbuka. Siapa tahu anda beruntung bukan sekedar dapat nasi kotak, namun juga pengganti uang bensin sekedarnya. Selain itu, jangan tidur cepat-cepat, atau bangun tidur siang-siang, siapa tahu ada ketukan pintu sebelum matahari 9 April menyingsing.

Halah … sudahlah …  Dibalik dinamika dan serba-serbi Pemilu di atas, doa kita semua yang utama adalah semoga Pemilu 2014 ini berjalan dengan lancar, aman, jujur dan adil. Semoga rakyat  dapat menyambut era kepemimpinan yang baru dengan lebih optimistis.

Panggung Politik ala Panggung “YKS”


Acara YKS di TV sempat menjadi perbincangan yang ramai di banyak media termasuk Kompasiana. Muara dari diskusi yang terjadi adalah banyak yang menyayangkan tayangan YKS yang dianggap tidak mendidik, kurang berkualitas dan tidak pantas ditonton anak-anak, tidak berkonsep, asal nyeplos dan sebagainya. Akan tetapi fakta berbicara lain : YKS tetap menduduki rating acara yang cukup tinggi, yang artinya banyak dipilih penonton ketimbang acara lain di jam yang sama. Tampaknya trend rating acara TV berbanding terbalik dengan “kualitas” acara TV tersebut [kalau memang definisi kualitas adalah acara yang “mencerdaskan” penontonnya]. Semakin “berkualitas” acaranya, semakin kecil ratingnya.

Apakah kita harus prihatin? Bisa iya, bisa juga tidak. Di satu sisi TV seharusnya menjadi “agent of change” dan secara moral ikut memiliki peran membentuk budaya masyakarat. Bukankah apa yang terjadi di masyarakat seringkali terbentuk dari apa yang ditonton di televisi? Akan tetapi di sisi lain kita semua harus sadar bahwa kita semua menonton TV secara gratis, tidak membayar. Dengan demikian, pengelola TV swasta harus memutar otak agar ada pemasukan, yang tentu saja didapat dari pemasang iklan, yang biasanya memilih program dengan rating yang tinggi. Jadi, kadang tampak masuk akal juga kalau TV lebih mengejar konten dengan rating tinggi, agar penghasilan lebih tinggi. Dengan begitu, yang penting penonton suka, rating tinggi, acara jalan terus, iklan banyak. Demikian mekanisme sederhananya.

Mengapa ratingnya tinggi? Sebenarnya tidak sulit dimengerti. Memang ada sekelompok “elit” atau orang-orang yang kritis dan prihatin dengan maraknya acara yang demikian. Tapi apa daya, sebagian besar orang suka dengan acara itu. Barangkali, hidup sehari-hari masyarakat sudah lelah dengan berbagai persoalan, sehingga saat menyalakan TV tidak lagi mau dijejali dengan acara yang menambah beban pikiran. Masyarakat lebih butuh hiburan, yang ringan, mengundang tawa dan bahkan larut dalam goyang Cesar ala YKS. Jadi, pilihan mudahnya bagi para pengelola TV adalah mengikuti saja apa yang sedang trend sampai masyarakat bosan (rating turun) lalu membuat trend baru agar rating naik kembali. Seperti YKS yang tiba-tiba menggeser minat orang pada Sinetron, suatu saat nanti YKS pun akan tergeser pula dengan tayangan kreatif lainnya.

Lalu sebagai penonton yang bijak harus bagaimana? Kalau anda suka nontonlah, kalau tidak, ganti saja masih banyak channel lainnya. Kalau anak anda ikutan nonton, tinggal anda masih mau asyik bergoyang, atau ganti dengan channel film kartun, atau matikan saja TV anda dan ajaklah anak anda bermain. Bagi kita selalu ada pilihan, dan setiap pilihan tentu demi kebaikan kita sendiri. Demikianlah singkat cerita tentang TV dan YKS. Apa hubungannya dengan Partai?

Sebulan lagi Pileg dimulai, dan dilanjutkan dengan Pilpres. Seperti biasa, PEMILU selalu dimulai dengan kampanye. Sedari dulu, angan-angan banyak pengamat adalah membudayanya kampanye santun yang sarat pendidikan politik serta bernas dengan pemaparan visi dan misi partai oleh para caleg. Namun apa daya, pengerahan massa di jalanan serta panggung hiburan tampaknya masih menjadi andalan kampanye, sehingga barangkali artis-artis kita siap-siap kebanjiran order Parpol untuk menghibur masyarakat sebelum mendengar pidato politik. Semoga ada yang berubah di 2014 ini.

Barangkali fenomena semacam YKS masih dipercaya ampuh untuk mengumpulkan massa, dan menarik minat masyarakat untuk memeriahkan kampanye parpol. Masyarakat tidak didatangkan untuk dididik, tapi diiming-imingi hiburan dan ujung-ujungnya di kasih pidato dan diminta nyoblos pada hari pemilihan. Tapi, mana yang lebih nyantol, goyang penyanyi atau pidato si caleg, tidak ada yang tahu.

Bisa anda bayangkan pengumpulan massa yang hanya mendengar pidato politik saja saat ini? Tampaknya para caleg masih belum PD kalau tidak didampingi penyanyi dangdut. Hehe, takut bubar sebelum acara selesai. Situasi demikian seringkali membuat kita semua merasa kampanye politik tak lebih sekedar panggung hiburan, bukan media pendidikan politik yang mendorong kita semua semakin maju dalam berdemokrasi dan berpolitik. Jangan-jangan ketakutan parpol adalah kejadiannya akan sama juga dengan YKS: rating panggung kampanye politik berbanding terbalik dengan kualitas kampanye itu sendiri. Semakin berkualitas pendidikan politiknya, semakin sepi peminatnya.

Kalau situasinya ternyata nanti masih demikian, lha pendidikan politik itu tugas siapa? Barangkali para elit pengamat, kompasianer kolom politik, media dan mahasiswa sebagai pilar-pilar demokrasi tidak jemu-jemu untuk melakukannya, walaupun mungkin jauh di bawah sana suara anda terdengar sayup ditengah hingar bingar knalpot motor dan soundsystem musik. Atau barangkali (semoga) para caleg pun punya kesadaran bukan hanya soal terpilih atau tidak terpilih, namun mau berbicara dari hati ke hati dengan rakyat, mengerti persoalan mereka dan mencoba mengulurkan tangan dengan berkarya, bukan sekedar janji-janji panggung yang segera terlupakan saat munculnya goyangan si artis. Model kampanye Jokowi di pilkada Jakarta barangkali bisa dijadikan trend baru, langsung blusukan mendatangi masyarakat dan menggali persoalan mereka, bukannya mendatangkan masyarakat untuk mendengar janji-janji baru. Sudah terlalu banyak janji terlontar, sudah terlalu banyak janji terlupakan.

Lalu sebagai rakyat harus bagaimana? Kalau anda kritis dan peduli, barangkali anda mau berpartisipasi melakukan sesuatu sebagai upaya pendidikan politik bagi orang di dalam lingkaran pengaruh anda, dengan demikian anda secara sukarela ikut menjadi “agent of change” bagi pertumbuhan demokrasi di negeri ini. Kalaupun anda hanya suka goyang, ya sudah nikmati saja. Masalah milih, itu masalah hati nurani di bilik suara nanti. Barangkali anda termasuk orang yang sudah lelah dengan janji-janji, jadi paling tidak bisa joged ketimbang tidak dapat apa-apa.

Pokok-e Joget ! Pokok-e Joget !

Selasa, 25 Februari 2014

Hoax di Sekitar Letusan Gunung Kelud

Malam 13 Februari 2014, dari Solo sayup-sayup terdengar suara gemuruh dari timur, yang sempat menggetarkan kaca jendela. Mulanya agak ragu mengkaitkan dengan berita di TV apa betul gemuruh letusan gunung Kelud sejauh itu terdengar? Suara gemuruh masih terdengar hingga pukul 00.30.
Berangkat tidur dengan tanda tanya, pagi-pagi bangun dikejutkan oleh hujan abu yang ternyata menyelimuti Solo Raya, hingga Klaten dan Jogjakarta. Dampak letusan Gunung Kelud rupanya dirasakan sampai ke Jawa Tengah, bahkan sebagian Jawa Barat. Informasi kawan di Blitar dan Kediri bahkan di sana terjadi hujan kerikil bercampur pasir. Situasi demikian menggambarkan dahsyatnya bencana alam gunung Kelud kali ini.

Di tengah situasi bencana ini, ternyata masih ada saja orang-orang yang tidak berperasaan dan tidak bertanggung jawab dengan membuat berita bohon (hoax), yang pada akhirnya cepat menyebar melalui orang-orang yang mungkin berniat baik memberi informasi, namun tidak melakukan cek dan re cek informasi yang disebarnya. Ini salah satu contoh hoax yang beredar pagi ini :

Info dari BMKG : “ 2 jam lagi akan ada letusan susulan, status AWAS II, diperkirakan letusan sejauh 20Km dari pusat magma dan diperkirakan terjadi gempa 6-8 skalalighter. Dan setelah ini listrik dipadamkan total untuk wilayah kediri. Lahar dinginmengalir sampai kademangan Blitar, hati2 untuk wilayah aliran lahar, hujan abu dan suara gelegar sampai kota Solo dan Klaten, sedangkan daerah kota Pare Kediri ke utara diselimuti bau belerang yang sangat menyengat. Tolong sebarkan info ini. Info : http//www.BMKG.com
Bila pesan berantai di atas di cermati, tampak sekali bahwa ini adalah hoax. Salah satu yang paling kentara adalah situs http//www.BMKG.com itu tidak ada. Anda tidak akan tersambung ke mana-mana dengan klik link tersebut, dan memang website BMKG bukan yang ini. Lagipula belum pernah ada gempa diukur dalam skalalighter. (cape deh)

Fenomena berita bohong selalu terjadi dalam setiap peristiwa bencana entah itu banjir, erupsi gunung berapi, gempa dan lainnya. Sungguh memprihatinkan saat orang bingung tertimpa bencana dan membutuhkan informasi justru mendapatkan pesan yang tidak jelas seperti ini, yang pada akhirnya hanya menambah kepanikan saja.

Oleh karena itu agar tidak tersesat, kita jangan mudah percaya bila menerima pesan BBM seperti di atas. Biasakan untuk melakukan cek ke berita lainnya di situs berita terpercaya semacam kompas.com atau detik.com, atau cek berita dan running text di TV. Saat kita benar-benar yakin akan kebenaran berita yang kita terima, barulah dengan bertanggung jawab menginformasikan kepada kawan dan kerabat.

Borobudur : Keajaiban Dunia di Tengah Pasar

Liburan akhir tahun 2013 lalu, kami sekeluarga sedang dalam perjalanan dari Magelang ke arah Jogjakarta, tentu kurang afdol kalau tidak menyempatkan diri singgah ke Candi Borobudur, yang terletak di Kabupaten Magelang ini. Apalagi cuaca tampak sangat cerah, matahari bersinar terik. Candi Borobudur sangat kita banggakan karena masuk dalam salah satu dari 7 keajaiban dunia. Sekedar mengingat sejarah, Candi Borobudur diperkirakan dibangun pada tahun 800-an Masehi pada masa kejayaan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah. Candi Borobudur merupakan monumen, tempat yang suci bagi pemeluk agama Budha yang memiliki makna spiritual yang sangat tinggi.

Siang itu tanggal 26 Desember 2013 kira-kira pukul 12.30 kami sudah masuk wilayah Mungkid dekat Magelang meluncur ke arah Borobudur. Jalan beraspal halus dan lebar, tampak terawat. Namun mendekati wilayah Borobudur jalan menyempit. dan kami sempat mencari-cari arah karena tidak melihat (mungkin juga terlewat) petunjuk arah ke sana. Pada akhirnya setelah bertanya kiri-kanan, kami memperoleh petunjuk arah ke Borobudur. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saya melihat papan kecil berwarna biru dengan petunjuk ke arah Candi Borobudur. Spontan saya membelokkan stir ke kanan namun kemudian terheran … kenapa ke candi Borobudur masuk ke kampung begini? Ternyata, kami masuk ke suatu kampung yang di rumah-rumah penduduk yang berhalaman cukup luas diobyekkan menjadi lahan pakrir, dan tampaknya dikelola bersama. Terbukti adanya karcis masuk sebesar Rp10.000,- per mobil, yang kemudian dicarikan parkir di halaman rumah yang kosong. Dari situ kami disarankan berjalan kaki ke Candi Borobudur, karena konon di lokasi sangat macet dan padat. Inilah kesan pertama yang sangat “menggoda”.

Karena malas berjalan, dan merasa kurang nyaman parkir berdesakan di gang-gang sempit, kami memutuskan keluar dan mencari lokasi parkir yang benar. Ternyata memang tak jauh dari lokasi tersebut kami temukan jalan masuk ke Candi Borobudur yang benar. Sesampai di lokasi, benar saja tampak lahan parkir yang penuh karena memang musim liburan. Cukup membayar Rp5.000 kami masuk lokasi, dan setelah berjuang dalam kesabaran, toh dapat parkir juga.

Kesan kedua, adalah cukup bingung juga mencari di mana ini candinya? Yang tampak di depan mata adalah deretan mobil parkir. Setelah lihat sana-sini, ketemulah satu papan petunjuk “entrace/pintu masuk” yang tertutup deretan warung makan dan kios-kios. Rasanya aneh juga memasuki salah satu keajaiban dunia melawati “pasar” begini. Rupanya setelah lapangan parkir masuk melewati deretan kios-kios berdinding papan, barulah kami masuk ke area yang lebih “tertata”, yaitu deretan kios-kios souvenir yang lebih bagus, dan tampak antrian orang di pintu masuk.

Setelah membeli tiket dan masuk ke dalam, barulah kami melihat kawasan Candi Borobudur yang memang lebih asri, tertata dengan baik. Taman yang hijau yang terawat, jalan setapak yang nyaman dan masuklah kami ke kawasan Candi. Di dalam selain mengunjungi Candi Borobudur, terdapat juga arena mengendarai gajah untuk anak, naik kereta semacam “sepur kelinci” yang dapat membawa kita berkeliling kompleks candi, serta tempat untuk nonton audio visual sejarah Candi Borobudur. Dari jalan setapak mulai tampak di kejauhan keagungan Candi Borobudur. Namun untuk mendapatkan view yang lebih luas, disarankan Anda berfoto di lokasi lapangan berumput di area sebelah kiri jalan setapak.

Anda dapat juga naik ke candi Borobudur, dengan terlebih dulu melewati pos, di mana dapat menggunakan sarung batik, sebagai bentuk penghormatan kita pada peninggalan bersejarah dan berbudaya tinggi ini. Dengan mengantri satu demi satu, kita dapat menyaksikan dari dekat relief candi, dengan memutar hingga sampai ke puncak. Dari relief itu, kita seolah memasuki perjalanan ziarah kehidupan, dalam perspektif agama Budha.

Dalam cuaca yang terik di siang hari, rasanya akan sangat panas di kepala. Karena itu, sebaiknya Anda siap membawa payung untuk dapat ke atas, atau kalau mau berbelanja topi yang banyak dijajakan oleh pengasong topi maupun di toko-toko souvenir dengan harga Rp20 - 40 ribu (nego) tergantung modelnya.

Setelah selesai, kita keluar dari kompleks Candi dan di pintu keluar kita mendapati kios-kios souvenir yang cukup banyak. Di situ kita dapat membeli oleh-oleh untuk keluarga dan kerabat di rumah yang bertemakan candi Borobudur. Mencapai lapangan parkir, cukup banyak orang yang mengatur lalu lintas parkir, yang cukup membantu kami untuk mencari jalan keluar dari lapangan parkir, dengan imbalan “seiklhasnya”.

Mencermati pengalaman perjalanan ini, sungguh sayang tidak optimalnya pengelolaan membuat keagungan Candi Borobudur jadi terganggu dengan munculnya beberapa “moment of truth” yang kurang pas di hati. Alangkah baiknya, kawasan ini lebih tertata dan terkelola secara lebih terkoordinasi dengan pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat sekitar yang menggantungkan rezeki dari wisatawan. Dibutuhkan manajemen yang lebih baik agar semua kepentingan terakomodasi tanpa mengurangi kenyamanan wisatawan. Jangan sampai pengunjung merasa tidak nyaman dan kemudian menjadi sulit merekomendasikan untuk berkunjung ke Borobudur kepada teman-teman yang lain.

Selasa, 31 Desember 2013

Tahun Baru = Kalender Baru Saja ?

Tahun baru 2014 baru saja kita masuki.

Pertama saya ucapkan selamat tahun baru bagi teman2 yang merayakannya.

Malam ini kebetulan kota Solo cerah, sehingga tidak ada salahnya melihat-lihat suasana, apalagi mall baru dekat rumah akan menyelenggarakan pesta kembang api. Tentu tidak ada ruginya menyaksikan hiburan gratis setahun sekali ini. Pukul 10 malam, suasana dalam mall sudah sepi kecuali area city walk yang sedang ada event musik. Kemeriahan suasana berpindah ke luar mall, dari area parkir sampai jalan raya di depan sana. Tampaknya orang sudah tidak sabar lagi menyaksikan pesta kembang api. Suasana lain yang mulai terasa adalah orang-orang mulai tumpah ruah ke jalanan. Ada yang bermobil, bersepeda motor dengan bunyi knalpot yang memekakkan telinga, dan tentu saja pasukan berjalan kaki yang berduyun-duyun menyerbu keramaian. Kemacetan mulai terjadi.Kebetulan cukup banyak event di kota Solo dan sekitar. Selain pesta kembang api, ada pula event car free night dan sekaten. Segala kemeriahan  itu menjelaskan 1 hal : semua orang sedang bersukaria merayakan berakhirnya tahun 2013 dan menyambut 2014.

Satu pertanyaan usil yang sempat saya lontarkan  : mengapa sih ganti kalender saja harus dirayakan, bukannya nanti tanggal 1 Januari 14 akan sama saja dengan 31 Desember 13? Sontak respon muncul :  bukannya pergantian tahun harus kita syukuri? (lha memangnya kalau ganti hari tidak perlu disyukuri?) Tapi ya sudahlah, bukan bermaksud merusak suasana hati teman yang merayakan. kadang muncul pertanyaan dalam hati : mengapa kita harus merayakan tahun baru? Bukannya setiap hari selalu ada hari baru, akumulasi 7 hari jadi minggu baru, akumulasi 30 hari jadi bulan baru, akumulasi 12 bulan jadi tahun baru? Bukankah setiap detik yang akan kita lalui  menjadi sesuatu yang baru buat kita ! Tahun baru dimulai tiap 1 Januari dipikir-pikir jadi tidak ada istimewanya bukan? Wajar kalau setiap bangun di pagi hari, kita menyambut hari baru, tantangan baru, masalah baru sekaligus peluang baru. Dari bangun tidur hingga tidur lagi kita bergelut dengan semuanya itu. Alangkah leganya saat kita menutup hari dengan suasana hati yang nyaman karena telah mengerjakan segala sesuatu yang harus dikerjakan. Indahlah hari yang seperti itu.

Karena itu, merayakan tahun baru semoga bukan sekedar karena sudah menjadi tradisi yang  disepakati secara internasional. Berbicara tahun baru bahkan kita tidak boleh lupa bahwa masih ada tahun baru yang lain, paling tidak kita mengenal di Indonesia masih ada tahun baru dalam penanggalan Hijriyah, penanggalan Jawa dan penanggalan Cina (tahun baru Imlek). Di balik semua peringatan itu, pastilah ada makna dan pesan yang ingin disampaikan oleh para penggagasnya. Paling tidak, setiap orang dalam hidupnya membutuhkan suatu moment yang membuat dirinya dibangkitkan kembali, disentakkan kembali akan suatu tujuan besar dalam hidup, yang seringkali terpendam di saat rutinitas hidup mulai membelenggu. Karena itu, tahun baru adalah momentum untuk berhenti, dan melakukan 2 hal : merenungkan apa yang sudah kita lalui dan memperbarui komitmen untuk masa depan.

Jadi, kalau waktu setahun sekali itu kita tidak merasa perlu mereview hidup kita, apalagi memikirkan masa yang akan datang, sejatinya tahun baru itu ya sekedar undangan pesta perhelatan internasional saja. Ketika matahari 1 Januari meninggi, anda bangun tidur, tidak ada yang baru selain kalender baru. Hidup hari ini berjalan sepasti hidup yang kemarin, mengalir ke depan mengikuti air mengalir. Selamat Tahun Baru bagi yang merayakannya, semoga  bukan sekedar mengalir bersama pesta, namun mengalami pencerahan hidup. Semoga nanti 31 Desember 2014 kita  bisa tersenyum melihat diri kita yang sudah jauh bertumbuh lebih baik dari diri kita hari ini, dan kehadiran kita bermakna bagi orang lain.

Senin, 30 September 2013

Serunya Punya Golongan Darah Langka


Pertama kali menjadi kenal aktivitas menjadi pendonor darah dari kegiatan donor darah yang diselenggarakan secara rutin di kantor. Tadinya ikut-ikutan saja, dan mencoba untuk rutin 2 – 3 kali setahun. Mengapa akhirnya jadi rutin? Karena menjadi pendonor darah selain bermanfaat bagi orang yang sedang membutuhkan, rupanya bermanfaat bagi pendonor sendiri. Beberapa manfaat menjadi pendonor antara lain : dengan mendonorkan darah, kita dapat “memperbarui” darah yang ada di dalam tubuh kita. Selain itu untuk setiap darah yang di donorkan, selalu dilakukan pemeriksaan apakah darah kita terinfeksi virus seperti hepatitis dan HIV atau tidak, berapa tekanan darah kita, apakah kadar HB kita normal atau tidak, dan lainnya. Dengan demikian, saat darah kita lolos, berarti juga kita sehat. Adanya pemeriksaan dan nanti ditambah lagi dengan cara penyimpanannya membuat penerima donor harus membayar sejumlah uang. Itu bukan untuk membeli darah, namun untuk mengganti biaya pemeriksaan dan penyimpanannya.

Setelah beberapa lama menjadi donor, suatu ketika ada orang tua seorang rekan yang membutuhkan darah. Karena golongan darah saya sama-sama AB, dan kebetulan bukan golongan darah “favorit” yang banyak ditemukan, berangkatlah saya ke PMI dengan 2 orang teman lainnya. Sesampainya di PMI, seperti biasa diambil sampel darah, lalu kami menunggu kurang lebih 2 jam untuk menunggu hasil pemeriksaan.

Setelah hasil pemeriksaan selesai, dan kami mengantri untuk diambil darah, seorang petugas PMI menghubungi saya dan mengatakan bahwa darah saya tidak jadi di ambil. Tentu informasi ini sangat mengejutkan, dan sudah terbayang apakah ada masalah dengan saya? Ternyata bukan itu persoalannya. Menurut petugas PMI tersebut, darah saya tidak diambil karena dalam pemeriksaan diketemukan ternyata golongan darah AB saya itu tidak biasa di Indonesia, karena ber-rhesus negatif. Konon untuk orang Indonesia, tidak lebih dari 1% orang golongan darahnya dengan rhesus negatif. Akhirnya petugas PMI tersebut merekam data-data pribadi saya, dan memasukkan saya di kelompok “donor darah langka”. Mengapa tidak diperbolehkan menjadi donor sukarela? Karena kelangkaannya, saya hanya boleh diambil bila ada kebutuhan darah yang sama persis, AB Negatif. Akhirnya sampai saat ini, saya bukan lagi pendonor aktif, namun menjadi donor bila hanya ada permintaan.

Memiliki golongan darah langka, membuat saya berpikir, akan menjadi kondisi yang berat buat saya bila suatu saat membutuhkan darah. Namun hal ini dapat teratasi, karena PMI telah memiliki data saya, sehingga dapat menemukan orang dengan golongan darah yang sejenis. Di sisi lain saya bersyukur dan menganggap ini sebagai anugerah, karena entah kapan dan di mana saat ada orang yang berkebutuhan khusus, mungkin saya cocok untuk menjawab kebutuhan itu. Saya hanya berharap, Tuhan tetap menganugerahkan kesehatan kepada saya, dan melaluinya saya dapat membantu meringankan penderitaan orang lain.

Belakangan saya makin bersyukur, ternyata selain rekaman data di PMI, saya menemukan sebuah situs http://www.rhesusnegatif.com/ yang merupakan komunitas orang-orang dengan golongan darah ber rhesus negatif. Di situ ada banyak pengetahuan, informasi dan jalinan komunikasi di antara sesama pemilik golongan darah langka. Jadi, kalau ada diantara kompasioner yang sama-sama memiliki golongan darah langka, barangkali dapat masuk dan bergabung di sini.

Sekedar untuk pengetahuan kita, dari artikel yang saya baca di sini diperoleh informasi sbb :

rhesus darah adalah protein (antigen) yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Mereka yang mempunyai faktor protein ini disebut rhesus positif. Sedangkan yang tidak memiliki faktor protein ini disebut rhesus negatif.

Mengenali rhesus khususnya rhesus negatif menjadi begitu penting karena di dunia ini hanya sedikit orang yang memiliki rhesus negatif. Persentase jumlah pemilik rhesus negatif berbeda-beda antar kelompok ras. Pada ras bule (seperti warga Eropa, Amerika, dan Australia), jumlah pemilik rhesus negatif sekitar 15 – 18%. Sedangkan pada ras Asia, persentase pemilik rhesus negatif jauh lebih kecil. Menurut data Biro Pusat Statistik 2010, hanya kurang dari satu persen penduduk Indonesia, atau sekitar 1,2 juta orang yang memiliki rhesus negatif. Karena persentasenya sangat kecil, jumlah pendonor pun amat langka, sehingga bila memerlukan donor darah agak sulit.

Di dalam sistem rhesus terdapat aturan khusus dalam urusan sumbang-terima darah. Pemilik rhesus negatif tidak boleh ditranfusi dengan darah rhesus positif. Ini dikarenakan sistem pertahanan tubuh si reseptor (penerima donor) akan menganggap darah (rhesus positif) dari donor itu sebagai “benda asing” yang perlu dilawan seperti virus atau bakteri. Sebagai bentuk perlawanan, tubuh reseptor akan memproduksi antirhesus. Saat transfusi pertama, kadar antirhesus masih belum cukup tinggi sehingga relatif tak menimbulkan masalah serius. Tapi pada tranfusi kedua, akibatnya bisa fatal karena antirhesus mencapai kadar yang cukup tinggi. Antirhesus ini akan menyerang dan memecah sel-sel darah merah dari donor, sehingga ginjal harus bekerja keras mengeluarkan sisa pemecahan sel-sel darah merah itu. Kondisi ini bukan hanya menyebabkan tujuan tranfusi darah tak tercapai, tapi malah memperparah kondisi si reseptor sendiri.

Menarik bukan?