Minggu, 30 Maret 2014

Aku Hanyalah Caleg Berspanduk


PILEG akan segera digelar tanggal 9 April 2014 nanti. Ditengah hiruk pikuk caleg DPR tingkat Nasional, pertarungan di daerah tidak kalah serunya. Memang dinamika calon tingkat Nasional dan daerah bisa jadi berbeda. Para jurkamnas biasanya mampu berkeliling Indonesia dan membuka lapak panggung kampanye megah berikut dengan perlengkapan orkes dangdut lengkap dan barangkali juga didukung tim kampanye yang solid. Akan tetapi para caleg DPRD tingkat kabupaten, haruslah cermat mengefektifkan pelurunya. Tidak semua caleg di daerah mempunyai amunisi yang cukup untuk membuka lapak kampanye yang mampu menyedot massa yang cukup besar. Karena itu, kreatifitas tinggi pun dibutuhkan agar namanya dapat dikenal dan nanti dicoblos.

Memang masalah permodalan tampaknya perlu menjadi pertimbangan tersendiri. Sebagai contohnya tukang bakso yang nyaleg menurut berita di sini,  tentu modalnya tidaklah cukup untuk mengcover seluruh wilayah kabupaten yang menjadi medan perangnya. Akan tetapi, sebagai penjual bakso, dia cukup kreatif dengan sosialisasi kepada modal dasarnya, yaitu para pelanggan yang datang ke warungnya.

Akan tetapi kalau diamati, semua caleg menggunakan cara yang nyaris mirip, yaitu memasang banner atau spanduk di jalanan. Memang tampak tidak sedap dipandang mata. Karena sebagian besar orang berpikir cara ini efektif, maka semuanya berpikiran sama, sehingga tepi jalan dan panggung spanduk dipenuhi oleh gambar caleg. Ironisnya lagi : khususnya bagi mereka yang hanya mencetak dalam ukuran kecil dan jumlahnya sedikit, menjadi tenggelam ditelan kumpulan banner dan spanduk yang  bertebaran di mana-mana. Jangan-jangan sudah tidak ada orang yang melihat lagi. Bukan apa-apa, karena saking banyaknya !

Karena itu, sebelum menjadi caleg dengan modal minimal, haruslah berpikir bagaimana mengefektifkan modal itu. Inilah beberapa tips bagi caleg dengan modal minimal tapi dapat meraiih suara maksimal :

Pertama, sebelum bicara modal, haruslah punya modal dasar : reputasi baik di mata masyarakat. Kalau anda seorang tokoh yang dikenal baik oleh masyarakat, dengan sendirinya reputasi itu akan mendatangkan dukungan. Kalau anda baru dalam taraf “merasa baik” tapi tidak dikenal, mungkin kebaikan anda belum dirasakan masyarakat. Apalagi kalau anda merasa baik dan sudah terkenal  tapi kok tidak punya pendukung, berarti apa yang anda sebut kebaikan itu bukanlah kebaikan di mata masyarakat. Kenali diri, kenali customer.

Kedua, pemilih hanya mencoblos partai dan tulisan nama, bukan foto anda. Walaupun spanduk memang kelihatan meriah, belum tentu efektif. Spanduk anda tidak akan efektif jika sudah ukurannya kecil, kalah jumlah lagi. Lebih baik kreatif seperti tukang baso tadi, menggarap captive market dengan cara yang sederhana : senyum, aroma baso yang menggoyang lidah plus kartu nama agar diingat.

Ketiga, dikenal konstituen itu penting. Jadi bertemulah dengan mereka. Tidak perlu lebay, karena masyarakat sudah pintar dan tahu bahwa semua caleg itu cari simpati. Daripada berjanji, lebih baik bertanya apa masalah mereka, supaya anda tahu apa yang anda perjuangkan kalau diberi kesempatan duduk menjadi anggota dewan. Berjanji sajalah bahwa anda ingat masalah mereka, dan syukur diberi kesempatan memperjuangkannya.

Keempat, jangan sekali-sekali bermain politik uang, walaupun anda tahu uang anda pasti diterima. Banyak orang yang melakukannya, tapi tidak ada jaminan gara-gara uang itu, anda dipilih. Rakyat sudah pintar untuk mencurigai saat seorang caleg membeli suara dengan uang, suatu saat kalau jadi kemungkinan akan menuntut kembaliannya. Apalagi di jaman di mana korupsi sudah semakin memprihatinkan begini.

Kelima, ora et labora. Jangan lupa berdoa. Jangan berdoa agar Tuhan menjadikan anda seorang anggota dewan, tapi berdoalah meminta kekuatan agar anda tahan uji dan tahan godaan, tetap hidup lurus dan menjaga kepercayaan. Kalaupun Tuhan tidak menjadikan anda seorang anggota dewan, anda masih bisa memperjuangkan nasib orang lemah melalui banyak hal. Hidup ini bisa berharga bagi banyak orang walaupun anda tidak punya jabatan.

Jadi, jadi caleg itu jangan hanya mengandalkan spanduk, karena bukan spanduk yang memilih anda, tapi rakyat.

Menangkan hati rakyat, dan anda akan menang. Selamat menjadi caleg.

Hajatan Pesta Demokrasi


Tanggal 9 April 2014 nanti, hajatan Nasional untuk memilih wakil-wakil partai untuk menduduki kursi dewan akan segera dimulai. Seperti biasa, gegap gempita pesta demokrasi dirasakan bahkan lebih jauh sebelum tanggal 9 April 2014. Memang pesta demokrasi menjadi pusat perhatian tersendiri bagi rakyat banyak, karena biar bagaimanapun nasib rakyat adalah objek yang dikampanyekan untuk meraih suara, sekaligus juga sebagai stakeholder yang harus dipuaskan.

Pemilihan umum juga menjadi moment yang menyenangkan bagi rakyat karena pada saat itulah rakyat benar-benar “dirakyatkan”, karena banyak orang baik yang mendatangi dan berbicara kepada rakyat, menanyakan kabar dan nasibnya. Kalau yang saat ini sudah “duduk”, akan memastikan bahwa apa yang sudah diberikan selama dia duduk sudah memuaskan, sementara yang belum “duduk” akan menanyakan ketidakpuasan apa yang bisa dijadikan materi kampanye dan program perbaikan. Namun intinya, diperhatikan.

Dinamika kampanye tidak melulu bernuansa serius, karena sekalipun materi yang dibicarakan sangat strategis (kepemimpinan Nasional) ternyata bisa juga disampaikan dengan cara yang menyenangkan. Makanya kita tidak heran kalau nuansa kampanye sarat dengan panggung hiburan dan pawai kendaraan di jalanan. Itulah kita, yang memiliki “kearifan” untuk menyampaikan kerumitan masalah bangsa dengan cara-cara yang sederhana dan menghibur.

Yang patut menjadi catatan kita pula, dampak ekonomi dari Pemilu sekalipun tidak dinikmati semua orang, namun dapat menjadi salah satu motor penggerak ekonomi. Jadi kalau anda merasa skeptis dengan Pemilu, bahkan berpikir untuk golput segala, jangan marah, sedih dan kecewa dulu. Kalaupun anda merasa manfaat politiknya tidak signifikan, akan tetapi masih ada dampak positifnya pada sektor ekonomi. Konon, di masa seperti ini, teori trickle down effect baru kelihatan ada benarnya. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, sebagaimana dikutip banyak media  memperkirakan penyelenggaraan pemilu pada 2014 akan berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, yang diperkirakan akan menyumbang pada kenaikan produk domestik bruto (PDB) sekitar 0,2 persen. Kalaupun kita bukan orang yang mengerti ekonomi, dampak positif dari Pemilu dapat kita rasakan dari analisis sederhana di bawah ini.

Bagi industri kreatif, Pemilu memiliki dampak yang paling signifikan, khususnya pada subsektor periklanan dan fashion. Bagi subsektor industri periklanan, ramainya caleg beriklan lewat media massa berdampak sangat positif. Advertising agency, media agency dan PR agency mendapat banyak order untuk kreatif dan strategi pemenangan Pemilu dan pembelian slot iklan. Dengan besarnya uang yang dikucurkan, maka industri ikutannya ikut kebanjiran order, misalnya production house kebanjiran order produksi iklan, sementara media seperti TV, radio, dan surat kabar ikut kebanjiran iklan. Insan periklanan di daerah pun ikut kebanjiran order baik itu pemasangan baliho, banner, spanduk sampai umbul-umbul. Sebagai dampak ikutannya, produsen spanduk, bendera, umbul-umbul dan baliho akan sibuk mencetak pesanan para caleg.

Jasa terkait yang bisa kita masukkan adalah idustri perhotelan dan hiburan. Tingginya mobilitas orang akan meningkatkan okupansi hotel. Di industri hiburan, event organizer, orkes melayu, group band pop dan penyanyi baik kelas nasional hingga kelas kampung tidak akan sepi dari order. Pemilik persewaan panggung, soundsystem, disel dan meja kursi pun jadi tidak luput dari cipratan rezeki Pemilu.

Dari industri fashion, tentu saja yang paling kecipratan rezeki Pemilu adalah para produsen kaos. Bisa dibayangkan kalau 10 partai politik memesan kaos untuk masing-masing 1.000 lembar kaos per kecamatan saja, bisakah kita menghitung berapa potong kaos yang diproduksi di seluruh Indonesia sebagai alat peraga kampanye saja? Bisakah dibayangkan berapa uang yang beredar di produsen kaos, distributor bahan kaos, bahan-bahan sablon dan produsen benang  jika selembar kaos nilainya Rp. 15.000,- saja?

Selain industri kreatif, industri rokok, makanan dan minuman adalah industri yang juga mengalami pertumbuhan. Semakin banyak massa dimobilisasi, maka akan semakin banyak logistik konsumsi yang harus disediakan, baik untuk tim sukses, tim pawai maupun untuk pertemuan-pertemuan dengan konstituen. Semuanya butuh nasi kotak, snack, air mineral, rokok ala kadarnya dan mungkin juga sembako untuk dibagikan. Dengan demikian, pengusaha kartering maupun produsen snack akan panen pesanan.

Berikutnya rezeki juga sampai ke sektor transportasi dan ikutannya yang menjadi penyokong kampanye.  Mobilisasi masa jaman kuno (katakanlah pemilu tahun 1970-an) lebih efisien, karena ada yang bersepeda, jalan kaki atau beberapa puluh orang di atas bak terbuka. Namun hari ini, untuk mengumpulkan massa dibutuhkan sewa bus untuk mengangkut massa (agar lebih manusiawi) dan tim sepeda motor yang meramaikan jalanan. Khusus untuk sepeda motor karena supaya seru harus ada modifikasi knalpot, maka pra maupun pasca Pemilu, bengkel akan mengalami kenaikan kunjungan, sekali untuk modifikasi, sekali lagi untuk service. Sementara itu konsumsi BBM bersubsidi juga ikut naik, karena mobilitas orang yang meningkat (walaupun bersifat lokal). Belum lagi pemanfaatan sarana transportasi untuk mobilitas para jurkam, baik itu menggunakan mobil pribadi, kereta api, pesawat terbang, bahkan helikopter sewaan (apakah anda juga merasakan kalau tiket promo pesawat belakangan ini agak sulit didapat?).

Sektor informal juga dapat ikut mengais rejeki Pemilu. Banyaknya event di lapangan menjadi lahan bagi para pedagang asongan untuk beroperasi. Mengingat event ini hanya sekali saja, biasanya harga barang di asongan pun bisa relatif lebih tinggi dari biasa (harga peak-season). Pedagang asongan di sini bukan saja mereka yang berjualan rokok dan permen, termasuk juga tukang baso, tukang kacang goreng, tukang es krim, dan bakul keliling lainnya.

Last but not least, kalau anda lagi tidak ada kesibukan pun masih punya kesempatan untuk mendapat uang, karena Pemilu menciptakan lapangan kerja baru sebagai peserta kegiatan kampanye terbuka. Siapa tahu anda beruntung bukan sekedar dapat nasi kotak, namun juga pengganti uang bensin sekedarnya. Selain itu, jangan tidur cepat-cepat, atau bangun tidur siang-siang, siapa tahu ada ketukan pintu sebelum matahari 9 April menyingsing.

Halah … sudahlah …  Dibalik dinamika dan serba-serbi Pemilu di atas, doa kita semua yang utama adalah semoga Pemilu 2014 ini berjalan dengan lancar, aman, jujur dan adil. Semoga rakyat  dapat menyambut era kepemimpinan yang baru dengan lebih optimistis.

Panggung Politik ala Panggung “YKS”


Acara YKS di TV sempat menjadi perbincangan yang ramai di banyak media termasuk Kompasiana. Muara dari diskusi yang terjadi adalah banyak yang menyayangkan tayangan YKS yang dianggap tidak mendidik, kurang berkualitas dan tidak pantas ditonton anak-anak, tidak berkonsep, asal nyeplos dan sebagainya. Akan tetapi fakta berbicara lain : YKS tetap menduduki rating acara yang cukup tinggi, yang artinya banyak dipilih penonton ketimbang acara lain di jam yang sama. Tampaknya trend rating acara TV berbanding terbalik dengan “kualitas” acara TV tersebut [kalau memang definisi kualitas adalah acara yang “mencerdaskan” penontonnya]. Semakin “berkualitas” acaranya, semakin kecil ratingnya.

Apakah kita harus prihatin? Bisa iya, bisa juga tidak. Di satu sisi TV seharusnya menjadi “agent of change” dan secara moral ikut memiliki peran membentuk budaya masyakarat. Bukankah apa yang terjadi di masyarakat seringkali terbentuk dari apa yang ditonton di televisi? Akan tetapi di sisi lain kita semua harus sadar bahwa kita semua menonton TV secara gratis, tidak membayar. Dengan demikian, pengelola TV swasta harus memutar otak agar ada pemasukan, yang tentu saja didapat dari pemasang iklan, yang biasanya memilih program dengan rating yang tinggi. Jadi, kadang tampak masuk akal juga kalau TV lebih mengejar konten dengan rating tinggi, agar penghasilan lebih tinggi. Dengan begitu, yang penting penonton suka, rating tinggi, acara jalan terus, iklan banyak. Demikian mekanisme sederhananya.

Mengapa ratingnya tinggi? Sebenarnya tidak sulit dimengerti. Memang ada sekelompok “elit” atau orang-orang yang kritis dan prihatin dengan maraknya acara yang demikian. Tapi apa daya, sebagian besar orang suka dengan acara itu. Barangkali, hidup sehari-hari masyarakat sudah lelah dengan berbagai persoalan, sehingga saat menyalakan TV tidak lagi mau dijejali dengan acara yang menambah beban pikiran. Masyarakat lebih butuh hiburan, yang ringan, mengundang tawa dan bahkan larut dalam goyang Cesar ala YKS. Jadi, pilihan mudahnya bagi para pengelola TV adalah mengikuti saja apa yang sedang trend sampai masyarakat bosan (rating turun) lalu membuat trend baru agar rating naik kembali. Seperti YKS yang tiba-tiba menggeser minat orang pada Sinetron, suatu saat nanti YKS pun akan tergeser pula dengan tayangan kreatif lainnya.

Lalu sebagai penonton yang bijak harus bagaimana? Kalau anda suka nontonlah, kalau tidak, ganti saja masih banyak channel lainnya. Kalau anak anda ikutan nonton, tinggal anda masih mau asyik bergoyang, atau ganti dengan channel film kartun, atau matikan saja TV anda dan ajaklah anak anda bermain. Bagi kita selalu ada pilihan, dan setiap pilihan tentu demi kebaikan kita sendiri. Demikianlah singkat cerita tentang TV dan YKS. Apa hubungannya dengan Partai?

Sebulan lagi Pileg dimulai, dan dilanjutkan dengan Pilpres. Seperti biasa, PEMILU selalu dimulai dengan kampanye. Sedari dulu, angan-angan banyak pengamat adalah membudayanya kampanye santun yang sarat pendidikan politik serta bernas dengan pemaparan visi dan misi partai oleh para caleg. Namun apa daya, pengerahan massa di jalanan serta panggung hiburan tampaknya masih menjadi andalan kampanye, sehingga barangkali artis-artis kita siap-siap kebanjiran order Parpol untuk menghibur masyarakat sebelum mendengar pidato politik. Semoga ada yang berubah di 2014 ini.

Barangkali fenomena semacam YKS masih dipercaya ampuh untuk mengumpulkan massa, dan menarik minat masyarakat untuk memeriahkan kampanye parpol. Masyarakat tidak didatangkan untuk dididik, tapi diiming-imingi hiburan dan ujung-ujungnya di kasih pidato dan diminta nyoblos pada hari pemilihan. Tapi, mana yang lebih nyantol, goyang penyanyi atau pidato si caleg, tidak ada yang tahu.

Bisa anda bayangkan pengumpulan massa yang hanya mendengar pidato politik saja saat ini? Tampaknya para caleg masih belum PD kalau tidak didampingi penyanyi dangdut. Hehe, takut bubar sebelum acara selesai. Situasi demikian seringkali membuat kita semua merasa kampanye politik tak lebih sekedar panggung hiburan, bukan media pendidikan politik yang mendorong kita semua semakin maju dalam berdemokrasi dan berpolitik. Jangan-jangan ketakutan parpol adalah kejadiannya akan sama juga dengan YKS: rating panggung kampanye politik berbanding terbalik dengan kualitas kampanye itu sendiri. Semakin berkualitas pendidikan politiknya, semakin sepi peminatnya.

Kalau situasinya ternyata nanti masih demikian, lha pendidikan politik itu tugas siapa? Barangkali para elit pengamat, kompasianer kolom politik, media dan mahasiswa sebagai pilar-pilar demokrasi tidak jemu-jemu untuk melakukannya, walaupun mungkin jauh di bawah sana suara anda terdengar sayup ditengah hingar bingar knalpot motor dan soundsystem musik. Atau barangkali (semoga) para caleg pun punya kesadaran bukan hanya soal terpilih atau tidak terpilih, namun mau berbicara dari hati ke hati dengan rakyat, mengerti persoalan mereka dan mencoba mengulurkan tangan dengan berkarya, bukan sekedar janji-janji panggung yang segera terlupakan saat munculnya goyangan si artis. Model kampanye Jokowi di pilkada Jakarta barangkali bisa dijadikan trend baru, langsung blusukan mendatangi masyarakat dan menggali persoalan mereka, bukannya mendatangkan masyarakat untuk mendengar janji-janji baru. Sudah terlalu banyak janji terlontar, sudah terlalu banyak janji terlupakan.

Lalu sebagai rakyat harus bagaimana? Kalau anda kritis dan peduli, barangkali anda mau berpartisipasi melakukan sesuatu sebagai upaya pendidikan politik bagi orang di dalam lingkaran pengaruh anda, dengan demikian anda secara sukarela ikut menjadi “agent of change” bagi pertumbuhan demokrasi di negeri ini. Kalaupun anda hanya suka goyang, ya sudah nikmati saja. Masalah milih, itu masalah hati nurani di bilik suara nanti. Barangkali anda termasuk orang yang sudah lelah dengan janji-janji, jadi paling tidak bisa joged ketimbang tidak dapat apa-apa.

Pokok-e Joget ! Pokok-e Joget !