Kamis, 30 Agustus 2012

KASIH YANG SEMPURNA



Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 22:37-40)

“Kasih yang sempurna telah kutrima dari-Mu, bukan karna kebaikanku, hanya oleh kasih karunia-Mu kau pulihkan, layakkanku tuk dapat memanggil-Mu Bapa...” Demikianlah sepenggal lirik lagu rohani yang sering kita dengar dan kita nyanyikan. Lagu tersebut membicarakan tentang kasih yang istimewa, yaitu kasih yang sempurna, yang karena kebaikan Allah, telah memberikan kasih karunia yang paling berharga, yaitu keselamatan kita yang ditebus-Nya dengan darah Kristus di atas kayu salib. Mengapa kasih itu disebut sempurna ? Karena tiada kasih yang lebih besar dari kasih yang rela memberikan nyawa bagi mereka yang sebenarnya tidak layak dikasihi. Inilah kasih tak bersyarat, yang dipraktekkan oleh Allah sendiri bagi umat yang dikasihi-Nya.

Kasih Allah yang dikaruniakan kepada kita, menjadikan kita anak-Nya. Pada waktu kita mendapatkan kasih karunia itu, kita menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kasih Allah, karena Dia ada di dalam kita. Kasih Allah bukanlah sekedar apa yang dilakukan oleh Allah, namun kasih adalah hakikat adalah Allah sendiri. Karena itulah, Tuhan Yesus menyatakan bahwa kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama (Mat 22:37-40) adalah rangkuman dari seluruh hukum Taurat dan kisah para nabi. Ketaatan kepada hukum Allah seharusnya didasarkan pada karakter “kasih” yang merupakan cerminan Allah yang tinggal di dalam kita, bukan lagi ketaatan yang didasarkan pada perasaan takut dan keterikatan pada hukum itu sendiri. Allah yang adalah kasih tinggal di dalam kita, dan kita mencermikan keillahian-Nya dengan mengasihi. Kasih yang adalah hakikat Allah seharusnya menjadi karakter kita umat-Nya. Inilah inti dari keserupaan dengan Kristus, di mana Kristus yang harus semakin bertambah mewarnai karakter kita, dan kita yang harus semakin berkurang, yaitu ego kita.

Sebagai umat yang berkarakter Kristus, kita meneladani dan menuju kesempurnaan Kristus. Karena itu, kita memegang hukum kasih sebagai dasar pertumbuhan karakter kita. Melalui kasih kepada Allah dengan segenap hati, pikiran dan akal budi, kita menempatkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan kita, dan dengan mengasihi sesama, tentu dengan sendirinya tidak akan melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Saat kita hidup didalam terang kasih yang sempurna itu, hidup dan karakter kita pun boleh semakin disempurnakan.

Berbicara tentang “Kekristenan” artinya kita sedang berbicara tentang kasih, karena menjadi Kristen bukanlah tentang beragama, namun hidup berkarakter Kristus, yaitu KASIH.

Sabtu, 25 Agustus 2012

“Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia ... “

“Cintailah ploduk-ploduk Indonesia ... “ barangkali klaim iklan tersebut cukup populer di telinga kita. Tidak ada kesengajaan ataupun kesalahan ucap, tapi memang demikian style bintang iklan, sekaligus pemilik dari PT Maspion, Bapak Alim Markus, yang walaupun sudah sepuh, namun tampak sangat energik. Mengapa saya tiba-tiba menuliskan ini ? Karena buat saya iklan produk Uchida dari Maspion ini termasuk fenomenal, mungkin diluar pakem brand building ala advertising agency.

Iklan produk Uchida yang sering muncul di televisi didesign dengan storyboard sederhana. Iklan hanya menampilkan jenis produk yang diiklankan, menjelaskan fungsinya, dengan endorser penyanyi dan pencipta lagu Titiek Puspa didampingi Alim Markus sendiri, ditutup dengan tagline yang menurut saya sangat menohok, “Cintailah ploduk-ploduk Indonesia ... “ bukan karena kalimatnya, tapi karena cara mengucapkannya, sehingga kalau anda googling “cintailah ploduk” maka akan muncul tak kurang dari 10.200 hasil pencarian. Yang menarik lagi, belakangan muncul versi baru, di mana Alim Markus tidak berdampingan dengan Titiek Puspa, namun dengan ketua DPR Marzuki Alie, yang membuka iklan dengan himbauan untuk mencintai produk Indonesia, disambung dengan produk-produk Uchida, dan tentu ditutup dengan Alim Markus dengan tagline nya : “Cintailah ploduk-ploduk Indonesia”

Dari sisi branding, barangkali pendekatan yang dilakukan Uchida ini tampak kuno, tapi sesungguhnya sangat “out of the box”. Justru salah satu kekuatan iklan ini bukanlah pada produk, namun personal branding Alim Markus sendiri, selaku pemilik group Maspion. Barangkali analoginya seperti di pasar tradisional yang masih mengutamakan unsur kepercayaan, personal guarantee dari penjual yang sekaligus pemilik toko sangat dipertimbangkan oleh pembeli. Dalam konteks tersebut, menurut hemat saya hadirnya Titiek Puspa yang mungkin dalam skenarionya akan dijadikan figur yang kuat untuk menjadi brand ambassador Uchida, dalam eksekusinya tampak bukan menjadi endorser utama, kalah dengan awareness terhadap profil Alim Markus sendiri. Strategi komunikasi Uchida ini sungguh jauh berbeda dari pesaing-pesaingnya seperti Panasonic dan Sharp untuk produk-produk households, yang mungkin lebih menerapkan kaidah-kaidah branding, namun justru menjadi generik : membangun kekuatan brand dengan menjual inovasi teknologi sebagai yang unik, terdepan, tercanggih. Strategi Uchida cukup jitu dalam posisisnya sebagai produk me-too yang lebih fungsional sekaligus juga ekonomis.

Satu lagi terobosan Uchida adalah pesan moral dari iklannya yang tegas mengusung tema untuk selalu mencintai dan menggunakan produk-produk Indonesia. Tentu mengedepankan kecintaan pada produk Indonesia bagi kelompok masyarakat tertentu bukannya tanpa resiko. Kalau berbicara produk-produk yang bersentuhan dengan teknologi, banyak orang yang mempersepsikan Indonesia bukanlah pelopor teknologi atau inovator. Akibatnya mereka lebih Jepang, Korea, Amerika atau Eropa minded, padahal kita tahu bahwa anak bangsa ini bahkan sudah bisa membangun pesawat terbang. Mengusung tema mencintai produk Indonesia oleh Uchida, lebih mengedepankan empati keindonesiaan kita, mengusik rasa nasionalisme kita bahwa bangsa kita sudah mampu memproduksi produk-produk yang tidak kalah dengan produk luar negeri.

Kampanye untuk mencintai dan menggunakan produk-produk Indonesia menjadi sangat relevan bagi kita. Bukan hanya dalam konteks iklan produk Uchida saja, tapi dalam berbagai bidang industri yang sedang berkembang di Indonesia. Memang belum semua produk bisa dibuat di Indonesia, namun kita perlu fair dan obyektif bahwa sekarang ini banyak produk Indonesia yang berkualitas tinggi, tidak kalah dengan produk asing. Oleh karena itu, ikut mendorong kampanye mencintai produk Indonesia dan memilih menggunakan produk Indonesia, sejatinya kita ikut mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Memang strategi mengedepankan “made in Indonesia” sering kali masih belum digunakan sebagai key message oleh para pebisnis kita, sehingga kita sendiri tidak selalu dapat mengenali produk asli Indonesia. Ambil contoh : J-Co donuts, yang barangkali tidak semua orang tahu bahwa waralaba tersebut asli Indonesia, milik Johnny Andrean. Atau Polytron yang sekilas seperti produk Jepang, ternyata diproduksi di Kudus, bagian dari group Djarum.

Kembali ke Uchida. Pada tanggal 18 Agustus kemarin muncul berita, Alim Markus menerima Satyalencana Pembangunan melalui keputusan Presiden no 59/TK/2012, karena dianggap berjasa membangun perekonomian nasional melalui produk berkualitas terbaik yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, juga berhasil menggerakkan masyarakat untuk menggunakan produk Nasional dengan slogan “Cintailah Produk Indonesia”. Silahkan cek beritanya di sini

Selamat untuk Pak Alim Markus, semoga tetap semangat mengkampanyekan “cinta produk Indonesia”. 

Kamis, 23 Agustus 2012

Pilkada Jakarta : Barometer Kedewasaan Berpolitik Kita !


Pagi tadi (23/8) beredar via blackberry messenger pesan berbunyi demikian :
—————-
COBA ANALISA DATA INI:
Apakah ada hubungan antara perolehan suara Foke dan Jokowi di masing2 wilayah tempat terjadinya kebakaran? Kenapa di tempat suara Jokowi unggul mutlak selalu terjadi KEBAKARAN?  Apakah ada hubungannya dengan pernyataan emosional Foke pada korban kebakaran di salah satu wilayah Jakarta  ”kalo lo pilih Jokowi, pindah saja ke Solo”
1. Cideng (Terbakar 22/8/)     Jml suara Foke: 26,07%   Jml suara Jokowi: 55,26 %
2. Kapuk Muara (terbakar 22/8)   suara Foke: 25,02%. suara Jokowi: 62,49%.
3. Karet Tengsin (terbakar 16/8)  suara Foke: 36,01%  suara Jokowi: 39,36%
4. Pdk Bambu (terbakar 15/8)  suara Foke: 35,66%  suara Jokowi: 39,14%.
5. Glodok (terbakar 12/8) suara Foke: 16,63% suara Jokowi: 77,30%.
6. Pekojan (terbakar 8/8) suara Foke: 26,73% suara Jokowi: 61,35%.
7. Pinangsia (terbakar 12/08)  suara Foke: 33,02% suara Jokowi: 56,45%
Ayo analisa dengan cerdas dan berbasis data!! Jika terjadi 7 kali berturut-turut apakah itu suatu KEBETULAN atau KESENGAJAAN?———————————–
Apa analisis anda terhadap data di atas ?

Ada 2 variable : pertama, kampung di mana Jokowi menang. Kedua, kampung itu terbakar. Persoalannya bagaimana menghubungan, atau menghubungpaksakan dua variabel yang jelas tidak berhubungan ini ? Kalau bicara menang kalah dihubungkan dengan basis pendukung partai  atau kebakaran dihubungkan arus pendek listrik, mungkin masih terhubung. Tapi menghubungkan 2 variabel di atas, tampaknya harus memiliki variabel atau asumsi tambahan, yaitu bahwa faktor politik bisa menyebabkan kebakaran, sehingga menggiring kita yang membaca untuk berkesimpulan ada kemungkinan kesengajaan. Kalau sengaja, siapa pelakunya ? Tentu saja bukan Jokowi, karena secara hitungan politik bukankah dia yang dirugikan. Foke kah pelakunya ? Tampaknya itu yang lalu menjadi kesimpulan banyak orang, walaupun belum tentu demikian.

Saya hanya berharap, BBM tersebut bukan berasal dari tim sukses Jokowi, karena menunjukkan permainan politik kekanak-kanakan. Ini bukan type Jokowi yang tidak banyak bicara tapi suka bekerja. Kalau ini dilakukan oleh orang yang mencoba membantu Jokowi, ingatlah bukannya membantu, tapi menjerumuskan, sama menjerumuskannya dengan pelempar isyu SARA yang dituding keluar dari kubu Foke.

Beberapa waktu yang lalu, kita sudah dikejutkan dengan lemparan topik SARA yang dihubungkan dengan calon pemimpin Jakarta. Sempat menjadi polemik di berbagai media massa, termasuk di Kompasiana karena selain hangat isyunya, hangat juga orang yang melemparkannya : selebriti kita bang Haji Rhoma Irama. Belum lagi ada yang menghubungkan calon pemimpin dengan daerah asal dan kesukuannya. Kalaulah kemudian masalah kebakaran di Jakarta ini lalu diangkat juga sebagai salah satu senjata untuk menyerang salah satu calon, lengkaplah sudah kehancuran demokrasi negeri ini.

Menyikapi masalah kebakaran di Jakarta walaupun tampak sekali banyak kebetulan, baiknya para politisi, tim sukses, maupun pendukung harus mulai bijaksana melempar statement. Media pun seharusnya juga bijak merilis berita, walaupun diakhiri dengan tanda tanya (?), seperti di TV One sore ini (23/8) yang mempertanyakan : kebakaran atau dibakar ? Akhirnya ramailah orang berspekulasi. Coba kalau kemudian tidak terbukti bahwa kebakaran itu disengaja, siapa yang malu ? Sikap yang benar untuk menyikapi masalah ini ya tentu saja lapor ke Polisi untuk melakukan investigasi, mencari kemungkinan kesengajaan. Atau kalau perlu sekalian lapor Pak Dahlan Ikhsan untuk meminta PLN melakukan pengecekan terhadap kelayakan instalasi listrik, terutama di area padat penduduk di Jakarta, bukannya melempar spekulasi ke masyarakat. Semoga benar adanya, pernyataan tim sukses Jokowi yang mengatakan tidak akan membawa-bawa peristiwa kebakaran di Jakarta ke ranah politik dengan mengkaitkannya dengan faktor kemenangan Jokowi di daerah yang terbakar.

Dalam berdemokrasi yang sehat, seharusnya kedua kubu calon Gubernur lebih banyak mengangkat persoalan-persoalan Jakarta dan menawarkan penyelesaiannya.  Biarlah rakyat yang menilai program siapa yang lebih dapat membawa Jakarta menjadi lebih baik. Hal inilah yang menjadi tantangan tim sukses maupun pendukung masing-masing calon untuk lebih dewasa berdemokrasi. Saya bermimpi, Jokowi - Foke dapat bersama dalam 1 panggung, membicarakan bagaimana menjadikan Jakarta lebih baik. Dan pada akhirnya nanti siapapun yang menang memimpin Jakarta akan mendapat dukungan penuh dari yang kalah. Itulah esensi dari berdemokrasi yaitu penghormatan kepada suara rakyat, menempatkan pemimpin sebagai hamba rakyat.

Kalau model demokrasi yang berbasis isyu yang tidak substansial seperti ini dianggap sebagai barometer 2014, tampaknya calon pemenang pemilu adalah partai Golput.

Senin, 20 Agustus 2012

BAHASA INDONESIA MAU KITA BAWA KE MANA ?


Butir ke-3 dari Sumpah Pemuda 18 Oktober 1928 berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Secara politik, Kongres Pemuda II yang kemudian ditutup dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda itu merupakan salah satu titik waktu munculnya kesadaran perlunya unsur pemersatu bangsa. Secara politik, kesadaran berbangsa masih bersifat lokal, sebagai cerminan Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan bahasa, serta tersebar dalam wilayah yang luas dan terpisah-pisah dalam ribuan pulau. Namun munculnya kesadaran perlunya persatuan kebangsaan dan tanah air Indonesia, menjadikan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu dan telah dituturkan secara terbatas terutama di kalangan ningrat dan bahasa administratif pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki peran yang penting sebagai bahasa pemersatu. Oleh karena itu, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ditegaskan dalam UUD bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara.

Ada satu ungkapan yang mengatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Hari ini bahasa Inggris diterima luas sebagai bahasa internasional konon karena sejarah kolonialismenya di masa lalum, menjadikan bahasa Inggris memiliki jumlah penuturnya yang luas, disamping kosa katanya yang lengkap sehingga memenuhi syarat menjadi bahasa internasional di masa kini. Hal yang sama terjadi pula dengan bahasa Perancis, walaupun penggunanya terbatas di Perancis dan bekas koloninya saja. Bahasa Jerman dan Jepang sebagai negara kuat dipelajari di banyak negara, karena kedua negara itu dianggap penting. Seiring dengan meningkatknya kekuatan ekonomi Cina, di banyak negara orang-orang mulai berminat mempelajari bahasa Mandarin dengan alasan ekspansi bisnis, bukannya memaksa orang Cina berbicara bahasa Inggris. Ini menunjukkan bahwa Cina pun mulai diperhitungkan.

Lalu bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia memaknai bahasa Indonesia saat ini ?

Berbicara tentang bahasa Indonesia tidak terlepas dari posisi strategis negara Indonesia di mata dunia. Jembatan emas untuk mempelajari Indonesia adalah dengan mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak hanya dipelajari oleh tetangga ASEAN kita, namun juga di Australia, Belanda, Kanada, dan bahkan di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia dianggap cukup penting, paling tidak secara ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang termasuk 5 besar di dunia, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diatas 5% per tahun adalah wilayah yang sangat menggiurkan sebagai tujuan investasi. Sebagai negara terbesar dari segi jumlah penduduk dan luas wilayah di ASEAN, seharusnya secara politik Indonesia sangat diperhitungkan di tingkat ASEAN. Tidak heran, Indonesia cukup berambisi untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN.

Adanya potensi menjadikan bahasa Indonesia sebagai menjadi bahasa internasional ini nampaknya justru belum terlihat dukungannya di dalam negeri sendiri. Paling tidak beberapa indikator dapat kita lihat di sekitar kita sebagai berikut :

Pertama, kampanye berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya semakin lama semakin menghilang. Pengajaran bahasa Indonesia kepada masyarakat luas tampaknya tidak lagi menjadi perhatian kita bersama. Jaman dulu siapa yang tidak mengenal nama Jus Badudu yang setiap minggu mengasuh acara bahasa Indonesia di televisi ? Hari ini televisi kita melalui para pembawa acara maupun sinetron-sinetron mengajarkan bahasa alay dan bahasa “lu-gue” sebagai bahasa yang baik dan benar. Penyiar radio di daerah pun ikut-ikutan ber-“lu-gue” walaupun dengan logat Jawa yang kental. Belum lagi fenomena menarik yang saya lihat dari nilai UN anak SD (paling tidak di sekolah anak saya) menunjukkan dari 3 mata pelajaran yang diujikan, pelajaran Bahasa Indonesia bukan menempati rata-rata nilai tertinggi. Jadi ?

Kedua, kurang terlihatnya daya dukung untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia dengan terus melakukan penyempurnaan dan penambahan kosakata baru. Sebaliknya justru dari para pejabat sampai pebisnis semakin banyak memasukkan kosa kata bahasa Inggris dalam bertutur bahasa Indonesia. Apakah memang bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata untuk menggantikan kata-kata yang mulai umum dituturkan dalam berbahasa Indonesia seperti kata which is, clear, yes, no, dan lainnya ? Bukankah kita sering mendengarnya ? Apakah bahasa Indonesia mutakhir itu sama dengan bahasa Indonesia gado-gado? Jangan-jangan ini mencerminkan kerendahan diri sebagai manusia Indonesia, bermental “inlander” seperti jaman penjajahan Belanda, yang merendahkan ke-Indonesiaan dan meninggikan bahasa asing ?  

Ketiga, dunia pendidikan kita yang mencoba maju selangkah dengan model RSBI yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas-kelas sekolah SMP maupun SMU patut dicermati bersama. Tentu saja penting menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dan keilmuan internasional, namun bila tidak diikuti dengan pembelajaran bahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka kita hanya akan menghasilkan generasi yang meninggalkan bahasa Indonesia. Bukankah hari ini generasi itu sudah mulai terbentuk? Berapa banyak dari kita yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi mulai berbahasa Inggris dengan anak yang bersekolah di sekolah internasional hingga anak-anak itu menjadi gagap berbahasa Indonesia ?

Saya pun masih kurang percaya diri menulis artikel ini, semoga cukup memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu sebaiknya saya sudahi di sini, dengan ucapan selamat ber bulan bahasa Indonesia, marilah kita berusaha untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. 

MERDEKA ITU MEMERDEKAKAN



... bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan satu jembatan emas ...  di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita ... (Ir. Soekarno)

Memang perayaan HUT kemerdekaan RI telah lewat, namun perenungan HUT Kemerdekaan itu masih menyisakan suatu tanda tanya, terutama pada waktu kemudian banyak juga orang menggugat “apakah betul kita ini sudah merdeka ?” Tentu sekali-sekali pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk mempertanyakan legitimasi dari proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Konteks mempertanyaan “apakah kita sudah menjadi bangsa merdeka” itu lebih memperhatikan -- atau tepatnya memprihatinkan --- kondisi kita sebagai bangsa hari ini yang walaupun telah 67 tahun merdeka, walaupun pertumbuhan ekonomi tanpaknya baik-baik saja, namun masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, seperti misalnya kita belum merdeka karena secara ekonomi masih banyak rakyat kita belum dapat merdeka dari belenggu kemiskinan, atau barangkali kita memprihatinkan secara politik walaupun kita telah mempraktekkan demokrasi, toh masih terbelenggu kepentingan sempit dari kelompok (yang direpresentasikan oleh partai), sehingga belum banyak orang yang dengan tulus mengurus negara ini. Atau mungkin kita prihatin, dari zaman orde lama, orde baru hingga orde reformasi ini, kita tidak juga lepas dari belenggu korupsi.

Namun itulah kenyataan yang terjadi. Pidato di hari lahirnya Pancasila oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 menegaskan bahwa political independence (dari penjajahan Jepang) adalah satu jembatan emas, menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kemerdekaan tidak bisa menunggu segala sesuatunya siap, tapi dalam kemerdekaan itu kita mau memerdekakan rakyat Indonesia. Semangat seperti inilah yang barangkali perlu menjadi semangat kita bersama hari ini, untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Soekarno – Hatta dan para pendiri republik ini adalah peletak dasar kemandirian politik, menegakkan kepala bangsa Indonesia setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Namun kemerdekaan itu bukankah bukan tujuan akhir ? Kemerdekaan itu adalah pekerjaan besar untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari kondisi terjajah menjadi merdeka yang sebernarnya, yaitu cita-cita yang diletakkan di seberang jembatan emas, sebagaimana tertulis di keseluruhan Pembukaan UUD ’45.

Merdeka yang sebenarnya adalah saat kemerdekaan itu bisa memerdekakan, bisa membawa bangsa ini menuju cita-cita kemakmuran. Masih banyak belenggu-belenggu yang harus dipatahkan, dan itu bukan untuk dibicarakan, diperdebatkan namun dikerjakan. Karena itu, menilai kemerdekaan itu seharusnya berangkat dari diri kita sendiri, apakah saya sudah merdeka dan apakah kemerdekaan saya dapat memerdekakan orang lain. Kita membutuhkan banyak pelopor di berbagai bidang untuk membawa Indonesia meraih cita-citanya. Merdeka itu haruslah memerdekakan. Kalau hati kita merdeka namun kita maknai sebagai kenikmatan diri saja, maka sesungguhnya kita pun belum merdeka. Karena merdeka itu adalah jembatan emas, merdeka itu sarana, bukan tujuan.

Kita patut bersedih, saat melihat Indonesia yang telah demikian maju, semakin banyak orang pintar, semakin banyak orang berkesadaran politik, semakin banyak orang yang ber hati merdeka, bukan lagi berjiwa inlander, namun tidak menggunakan kemerdekaannya itu untuk memerdekakan orang lain. Alih-alih bekerja sama membangun bangsa, yang terjadi justru saling mencari kesalahan, dan berebut kekuasaan. Bukankah kata pendahulu kita, negara ini dibangun atas dasar akar budaya “gotong royong” ? Tapi yang terjadi kegotongroyongan itu kini digantikan oleh kepentingan sempit kelompok dalam bungkus demokrasi yang semakin hari kian liberal saja.

Kemerdekaan yang memerdekakan itu haruslah dikibarkan laksana sang saka merah putih di angkasa. Mengapa kita mengibarkan bendera merah putih? Karena membangun bangsa ini harus didasarkan oleh merahnya keberanian dan putihnya kesucian secara bersama-sama. Siapa yang hanya menaikkan bendera merah saja akan menjadi orang yang tangguh, kuat namun keblinger kekuasaan dan mementingkan diri sendiri. Tapi orang yang hanya mengibarkan bendera putih saja, barangkali tinggal “mandeg padito”, hanya sanggup prihatin tanpa keberanian mempelopori perubahan, terpinggir tanpa daya di tengah arus kekuatan-kekuatan yang ada.

Sekali lagi, kita memang telah merdeka. Jembatan emas telah dibangun, menantikan para ksatria yang mau bersama-sama membawa bangsa ini menuju masyarakat adil dan makmur di seberang sana. Kita tidak perlu menunggu siapa “satria piningit” itu, barangkali kita ini satu diantaranya. Jadi ingat kutipan pidato John F Kennedy iniask not what your country can do for you - ask what you can do for your country.” 

Kamis, 16 Agustus 2012

Welcome Mudikers

Mudik = kembali ke udik. Mudik atau pulang ke kampung halaman secara Nasional terjadi setiap tahun di hari menjelang Perayaan Idul Fitri, seperti yang sedang kita lihat minggu ini. Berita TV bahkan setiap hari mempersiapkan segmen khusus reportasi mudik, karena memang inilah “hajatan nasional” yang luar biasa besarnya. Mudik di hari raya Idul Fitri memiliki arti yang khusus di hati para perantau. Kembali ke kampung halaman adalah saat yang indah untuk bersama-sama merayakan hari raya Idul Fitri, mempererat tali silaturahmi dengan seluruh anggota keluarga, kawan dan tetangga di kampung.
Berbicara tentang mudik di hari-hari ini, sudah mulai terpajang status di wall FB warga Jakarta, yang merasakan betapa lengangnya Jakarta ditinggal oleh para pemudik. Hal ini menunjukkan besarnya jumlah pemudik dari Jakarta saja. Karenanya, walaupun negeri ini sudah berpengalaman puluhan tahun menjalankan manajemen mudik, tetap saja kuwalahan mengatasi kemacetan di jalan, bejubelnya penumpang kendaraan umum, baik itu di jalur darat, laut maupun udara.
Bagi kami yang dari sononya sudah tinggal di udik (=tujuan mudik), fenomena sebaliknya lah yang terjadi. Minggu ini sudah mulai terasa peningkatan jumlah kendaraan di jalan-jalan kota Solo. Mall menjadi lebih ramai dari biasanya, wisata kuliner malam hari yang semakin hidup, dan tidak hanya didominasi warga setempat, tapi juga kendaraan dengan plat nomor luar kota.
Mudik adalah adalah fenomena multidimensional yang menarik untuk diperhatikan
Dimensi ekonomi dari mudik, adalah potret dari Jakarta, kota besar lain di Indonesia sebagai pusat konsentrasi kegiatan perekonomian, sehingga menyedot orang-orang di daerah untuk mengadu nasib, mengais rejeki di kota-kota besar. Di satu sisi terlihat positif bahwa area perkotaan yang bertumpu pada sektor industri, perdagangan dan jasa masih mampu menyerap tenaga kerja. Namun ada sisi lain, di negara yang bercorak agraris seperti Indonesia, belum diikuti pertumbuhan dan kemajuan yang tinggi di sektor pertanian, yang terindikasi masih banyaknya orang yang lebih memilih mengadu nasib di kota besar daripada mengolah tanah pertanian di desa. Pada hari-hari mudik seperti inilah, fenomena redistribusi pendapatan melonjak tinggi. Uang dari Jakarta dan kota besar tiba-tiba mengalir deras ke daerah. Para pemudik pulang dengan membawa hasil jerih payahnya di kota dan dibelanjakan di daerah asal. Selain keluarga, uang kota besar itu akan menjadi rejeki masyarakat setempat.
Dimensi sosial dari mudik, menyangkut masih tingginya ikatan tali silaturahmi yang kental, dari masyarakat Indonesia dengan daerah asal. Hal ini menunjukkan masih tingginya nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan baik dalam lingkup keluarga inti, keluarga besar maupun sebagai masyarakat. Apalagi kemajuan teknologi dan munculnya banyak social media yang membuat ikatan kekeluargaan dapat berlangsung walaupun saling berjauhan, memunculkan fenomena baru yaitu maraknya kegiatan reuni, entah itu reuni SD, SMP, SMA, atau kelompok-kelompok sosial lainnya.
Dimensi budaya dari mudik, telah menyatukan dimensi religius Idul Fitri dengan fenomena mudik itu sendiri. Perayaan Idul Fitri menjadi identik dengan mudik walaupun sesungguhnya hakekat mudik itu bisa kapan saja. Moment menyucikan hati kembali ke fitrah, mengingatkan orang untuk  mengingat dan kembali menyatu dengan asal-usulnya.
Selamat datang kembali ke rumah, para pemudik. Selamat Idul Fitri bagi para sahabat yang merayakan

Rabu, 15 Agustus 2012

Tirakatan 17-an


Maka dari pada itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realita, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nasionalitas yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan,  ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna, - janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan (Ir. Soekarno – Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945)
———–
Salah satu tradisi seputar peringatan hari kemerdekaan RI, adalah diselenggarakannya “Malam Tirakatan”. Setidaknya kita dapat menjumpainya di beberapa area seputar Jateng – DIY. Sesuai dengan namanya, “tirakat” akan berlangsung dengan khidmat, disertai doa dan perenungan arti dari pengorbanan para pahlawan dan makna dari kemerdekaan Indonesia. Acara tirakatan pada umumnya diselenggarakan tidak hanya dalam lingkup kantor birokrasi saja, namun juga di kampung-kampung, hingga di level RT/RW. Di sinilah kita dapat melihat realitas masyarakat, sejauh mana arti dan semangat kemerdekaan itu di hati rakyat.
Menyambut ulang tahun kemerdekaan RI –walaupun dengan label tirakat–, kita melihat suasana yang tidak melulu soal merenung, namun juga semarak. Ada 2 sisi bagai sekeping mata uang dari seremoni memaknai ulang tahun kemerdekaan, yaitu doa dan perenungan di satu sisi, dan semarak pesta sebagai ucapan syukur di sisi yang lain. Semuanya itu terselenggara secara otomatis, tanpa tanpa harus dihimbau dan dikoordinasi oleh Pemerintah. Semuanya berjalan dengan sendirinya, dengan biaya dan tenaga sendiri tanpa pakasaan. Bukankah ini dapat menjadi sisi positif kita sebagai bangsa, yang masih dapat merefleksikan arti nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa merdeka ?

Suasana malam tirakatan biasanya tidak berhenti pada hari itu, namun sudah dipersiapkan jauh hari. Menyambut kemerdekaan, identik dengan kerja bakti membersihkan lingkungan, mengecat ulang gapura, dan pagar, serta memasang bendera. Suasana lain diseputar peringatan hari kemerdekaan  adalah hadirnya acara bazaar  17-an, yang paling afdol ditutup pada tanggal 16 Agustus malam, yang bersamaan dengan malam tirakatan. Ada sebuah panggung di tengah acara bazaar, yang menjadi pusat acara. Di situ akan dilantunkan lagu Indonesia Raya dengan khidmat, panjatan doa syukur sebagai bangsa merdeka, perenungan terhadap jasa para pahlawan bangsa dan semangat lagu-lagu perjuangan, barangkali itulah menu utamanya. Namun, kita dapat juga menyaksikan acara lainnya, seperti penampilan tari-tarian, puisi perjuangan, festival band atau barangkali drama perjuangan, dan pengumuman serta penyerahan hadiah lomba-lomba yang sudah diselenggarakan sebelumnya. Itulah ketulusan pemaknaan dari kemerdekaan ala masyarakat, yang menyisakan kebanggan kita sebagai bangsa di tengah berita-berita miris di sekitar kita, seperti korupsi dan suap menyuap, kekerasan, ketahanan pangan yang rapuh, kemiskinan dan lain sebagainya.

Walaupun terkesan sekedar seremoni, namun semarak dan khidmatnya peringatan hari kemerdekaan di kampung-kampung ini membuat saya dapat belajar beberapa hal :

Pertama, Nasionalisme kita belum mati. Kita masih punya kebanggaan sebagai bangsa, masih memiliki penghargaan terhadap para pahlawan bangsa, walaupun itu di tengah situasi berbangsa yang penuh keprihatinan, dengan semakin langkanya sosok pahlawan yang tulus dan pengorbanan tanpa pamrih di negeri ini. Bukankah yang rela berkorban itu justru rakyat, yang bersedia  menyumbangkan tenaga dan dana untuk sebuah pemaknaan kemerdekaan ?

Kedua, kita patut bersyukur dalam situasi apapun masyarakat kita masih memiliki kesadaran untuk berbangga sebagai bangsa yang merdeka, yaitu bangsa yang memiliki harga diri yang setara dengan berbagai bangsa di dunia. Makna besar inilah yang membuat hari kemerdekaan senantiasa dengan rela diperingati, disyukuri dan doakan. Bukankah sudah banyak dari kita yang lupa untuk mensyukuri kemerdekaan dengan tidak dapat menjaga martabat bangsa di mata dunia ? Kita patut bersedih dengan label negara korup, negara gagal dan label negatif lainnya.

Ketiga, malam tirakatan setidaknya membuat kita berhenti sejenak untuk mengingat para pendiri bangsa ini, bahkan lebih jauh lagi para pahlawan yang berjuang dari abad ke abad. Mereka itu adalah sosok-sosok yang berkorban jiwa dan raga, sosok yang berjasa tanpa pamrih dan benar-benar memikirkan Indonesia merdeka demi berdirinya negara Indonesia. Sungguh patut kita renungkan nilai hidup yang demikian di tengah semakin banyaknya orang yang berjuang demi kekuasaan dan kepentingan kelompoknya sendiri.

Keempat, sekalipun sederhana, setiap kemeriahan bazaar, persiapan panggung gembira, lomba-lomba yang penuh canda tawa, mengingatkan kita akan nilai kegotongroyongan, yang disebut-sebut sebagai nilai luhur bangsa yang sudah menjadi budaya nenek moyang kita.  Semoga semangat gotong royong ini masih ada.

Menjelang peringatan ke-67 hari Kemerdekaan Indonesia ini, kita tidak sekedar berpesta, bersyukur kepada Tuhan untuk kemerdekaan Indonesia. Kita juga perlu bertirakat dengan merenungkan kembali betapa susah payahnya negara ini berdiri, betapa banyaknya pengorbanan yang telah direlakan demi kemerdekaan. Patut pula kita berdoa memohon kepada Tuhan, supaya Indonesia dapat menatap masa depan yan g lebih baik, kembali pada cita-cita membangun jembatan emas menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Satu kata untuk mencapainya : perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan !

Selamat ulang tahun Indonesia.

Senin, 06 Agustus 2012

Cogito Ergo Sum


Cogito Ergo Sum = I Think, Therfore I Am (Descartes)

Tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu, kalau kepada anak TK atau SD kelas satudi minta menggambar “pemandangan”, maka kita cukup percaya diri terhadap tingginya probabilitas muncul gambar sawah, dua gunung  dengan matahari terbit di tengahnya, dan tidak lupa awan biru dengan coretan beberapa ekor burung.  Siapa yang menyuruh untuk menggambar demikian ? Barangkali tidak ada. Namun itulah contoh umum yang ada di papan tulis sekolah, yang lalu menjadi mindset bersama bahwa itulah yang disebut “pemandangan.”  Tahu, tapi tidak paham.

Sekolah di masa lalu, menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, karena keterbatasan buku dan sumber lainnya. Kalau kita dapat menyerapnya –dengan indikator nilai ulangan dan ujian – kita dianggap telah lulus, berpengetahuan. Dalam konteks pendidikan dasar, semestinya ini cukup relevan, namun persoalannya pola yang sama berlanjut hingga level sekolah menengah, bahkan pendidikan tinggi. Dosen pun mengeluh, karena banyak mahasiswa yang memilih menelan saja apa kata dosen. Yang terjadi adalah proses mengajar tanpa belajar. Mindset belajar adalah mencari nilai dan gelar. Proses belajar bukan dimaknai sebagai indahnya pergaulan dengan ilmu pengetahuan, namun penderitaan dan kerja keras untuk mencari nilai.

Terjadinya dialog ilmu pengetahuan di dalam proses belajar tetaplah menjadi mimpi bila belajar itu dianggap hanya menerima pengetahuan di kelas. Ada perubahan paradigma belajar yang harus terjadi. Pertama, pemahaman arti belajar secara lebih luas dengan melepas guru/dosen sebagai satu-satunya sumber, dengan berdisiplin menggali berbagai sumber (buku, googling, diskusi, media, dan sebagainya). Kedua, perlunya membangun budaya akademik yang mendorong terjadinya dialog (bukan monolog), penghargaan terhadap perbedaan pendapat (dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan), menempatkan pengajar sebagai mentor dan fasilitator (bukan sebagai sumber yang tidak dapat diganggu gugat) dan memberi ruang pada kreatifitas (bukan keseragaman pendapat).
Menciptakan budaya belajar yang demokratis, tidak dapat tercipta dalam semalam. Ini menjadi tugas penanaman pola pikir keilmuan secara kreatif sejak usia dini. Anak yang terbiasa diajak untuk membicarakan (bukan diberi tahu), berpendapat, dan dihargai pendapatnya akan membiasakan diri untuk  bukan sekedar menelan pengetahuan, namun juga mengkritisi dan pada akhirnya mencapai pemahaman. Dengan demikian, pendidikan itu bukan sekedar melakukan transfer knowledge, namun interaksi dengan ilmu pengetahuan.

Perubahan paradigma belajar, bagi mereka yang sampai hari ini masih percaya bahwa satu-satunya gambar pemandangan adalah dua gunung dengan matahari terbit ditengahnya, tampaknya bisa jadi suatu hal yang nyaris mustahil. Karena itu, baiklah kita sadar untuk membiasakan proses belajar yang demikian pada anak-anak kita. Hari ini tak sedikit orang tua yang mengeluhkan TK yang mencoba kreatif dengan pola bermain, sosialisasi dan bersikap untuk membentuk karakter karena dianggap tidak produktif. Di sisi lain banyak yang senang dengan TK yang mengisi anak-anak dengan ketrampilan hitung, baca dan tulis, karena itulah tolok ukur “pintar”. Hasil belajar di sekolah –bahkan ilmu non-eksakta —  masih diukur melalui soal dengan jawaban multiple choice, artinya tidak sependapat dengan pembuat soal dapat berkonsekuensi mendapat nilai jelek. Sejauh mana dialog dengan ilmu pengetahuan itu telah difasilitasi dengan baik?

Guru yang baik adalah mereka yang mau mengajak muridnya berpetualang di dunia keilmuannya hingga bersama-sama menemukan pemahaman, karena itu, marilah kita belajar dulu untuk merubah paradigma tentang belajar sebelum benar-benar belajar.
Bagaimana belajar menurut anda ?



(*) Ditulis sebagai komentar terhadap artikel “Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi : Dari Penguliahan Ke Pembelajaran” oleh Bp. Suwardjono