Kamis, 24 Mei 2012

Sudah Tradisi ....

Salah satu kisah kebijaksanaan Anthony de Mello yang menjadi favorit saya adalah yang ini : 

Setiap kali guru siap untuk melakukan ibadah malam, kucing asrama mengeong-ngeong sehingga mengganggu orang yang sedang berdoa. Maka guru menyuruh supaya kucing itu di ikat selama ibadah malam berlangsung. Lama sesudah guru meninggal, kucing itu masih tetap diikat selama ibadah malam. Dan setelah kucing itu mati, dibawalah kucing baru ke asrama, untuk dapat diikat sebagaimana biasa terjadi selama ibadah malam. Berabad-abad kemudian, kitab-kitab tafsir penuh dengan tulisan ilmiah murid-murid sang guru, mengenai peranan penting seekor kucing dalam ibadah yang di atur sebagaimana mestinya (Anthony de Mello SJ ; Burung Berkicau). 

Ada banyak tradisi di sekitar kita, entah itu yang berlaku umum, maupun tradisi khas kita sendiri. Yang menarik adalah banyak dari kita yang melestarikan suatu tradisi sekedar demi masa lalu, tanpa pernah memahami mengapa kita melakukannya. “Ya dari dulu sudah begitu…” Tak heran, kadang pada saat tertentu kita-kita yang telah menjadi orang tua, seringkali merasa kagok untuk menjawab pertanyaan anak-anak kita, “why we have to do this all the time ?” dan kita sendiri bertanya.. “Iya-ya, kenapa ?” Jaman sudah berubah. Saat kita kanak-kanak mungkin cukup puas dengan jawaban, “sudahlah anak kecil nggak usah banyak tanya, yang penting dijalani saja, nanti kamu akan tahu kalo ini baik.” Jaman sekarang tampaknya sudah lain. Waktu kita muda, kita telah berkenalan dengan demokrasi, dan buahnya anak-anak kita pun menjadi anak yang kritis. Pertanyaan yang harus dijawab bukan sekedar WHAT tapi juga WHY. Kembali pada persoalan tradisi, yang menjadi pertanyaan saya, mengapa ya, kita bisa melakukan sesuatu dengan alasan karena “biasanya juga begitu”. Aneh bukan ? 

Apakah melestarikan suatu tradisi itu sesuatu yang buruk ? Saya yakin tidak. Saat sesuatu dilakukan terus menerus tentu karena ada suatu kebaikan yang diperoleh dari apa yang dilestarikan tersebut. Yang menjadi masalah adalah, seringkali sesuatu yang mendatangkan kebaikan itu, dilakukan berulang-ulang hingga sampai pada suatu titik di mana ia telah kehilangan konteksnya. Dasar dari kelestarian suatu tradisi seringkali pada kepatuhan, bukan kebutuhan. Saat suatu tradisi telah kehilangan konteksnya, maka pelaku tradisi itu jadi kehilangan orientasi, dan tiba-tiba terbeban oleh sesuatu yang harus dilakukan tanpa tahu dengan persis “mengapa” saya harus melakukan ini ? Saat suatu tradisi tidak lagi konteksual, maka tradisi itu akan menjadi sesuatu yang kuno, bagian dari comfort zone kita, kemapanan kita. Saat itulah tradisi seringkali dipertentangkan dengan kemajuan, kekinian, perkembangan yang intinya adalah “perubahan”. 

Dimensi lain dari suatu tradisi adalah peraturan. Suatu tradisi seringkali dibentuk dari suatu pengalaman. Saat suatu pengalaman membawa suatu “pencerahan”, saat itulah dia ingin dilestarikan, dan menjadi suatu tradisi. Sebagai jaminan agar “kebaikan” yang diperoleh dapat langgeng, diciptakanlah peraturan. Namun bertahun-tahun kemudian terjadilah paradox ini, "peraturannya semakin banyak, tapi kebaikannya semakin tidak terasa." Kenapa ? Karena orisinalitasnya sudah hilang. Saat kita berfokus pada peraturannya, kita tidak bisa lebih jauh mengarungi “pengalaman batin”nya. Sebagai contoh sederhana, dalam bekerja, mungkin ada waktunya kita mengalami suatu pencerahan. Saat kita menemukan suatu strategy yang tepat dan efektif, kita semakin jatuh hati pada strategy itu. Saat itulah jebakan tradisinya mulai bekerja. Kita mulai berfokus pada strategy yang berhasil itu, dan kehilangan orientasi pada sasarannya. Akibatnya, dari waktu ke waktu sekalipun banyak perubahan terjadi, strategy-nya masih sama saja. “Ini kan kisah sukses kita, jadi kita tidak akan sukses tanpa ini.” Saat itulah orientasi kita mulai berubah, bukan lagi pada sasarannya. Saat itulah kita mulai hidup di masa lalu, dengan tetap berpura-pura sedang meraih masa depan. Pada level relegiousitas manusia, seringkali inilah yang disebut “mempertuhankan agama”, menyembah agama, bukan lagi menyembah Tuhan yang kebaikannya diformulasikan dalam lembaga “agama”. Pada titik ini seringkali yang muncul dari kita adalah arogansi, yang ditopang oleh masa lalu. “Pokoknya begini”, karena “terbukti”.. 

Kita hidup di masa kini dan berjalan menuju masa depan, namun apa yang terjadi di masa lalu-lah yang membentuknya. Saatnya kita mereview setiap “tradisi” atau --dalam bentuk yang lebih sederhana-- “rutinitas” kita. Ada banyak kebaikan yang pernah kita rasakan, tapi sesuatu yang berlalu adalah bagian dari sejarah, sedangkan kekinian dan masa depan akan memiliki persolannya sendiri. Segala macam tradisi kehidupan kita, mestinya perlu selalu direvitalisasi, agar tidak kehilangan konteks dan kenikmatannya. Itu artinya kadang kita perlu merelakan sebagian dari tradisi yang mendatangkan kebaikan di masa lalu, harus berubah demi masa depan yang lebih baik. 

Dalam hidup ini tidak ada yang pasti, selain “perubahan”. Nikmati saja... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar