Ada
yang dulu menurutku sangat berkesan dari sepatu kulit Papa. Sepatu itu
sebenarnya biasa saja. Sepatu kulit warna hitam, dengan hak keras sekitar 3 cm,
sehingga terdengar suaranya yang khas waktu
Papa mengenakannya. Papa sangat menyayangi sepatu itu, sering kulihat dia
melapisinya dengan semir hitam pekat, dan dilapnya hingga mengkilap. Hal yang membuat sepatu itu berkesan adalah,
sepatu itu sepertinya adalah satu-satunya sepatu Papa yang aku kenal dari kecil
hingga dewasa. Paling tidak umurnya sudah lebih dari 10 tahun. Aku tidak habis
pikir bagaimana mungkin sepatu itu begitu awet, tidak rusak termakan usia.
Padahal sepatu sekolahku pun ganti setiap 1 – 2 tahun, demikian juga sepatu
kerjaku saat ini.
Apa
yang ada dibenak Anda membayangkan sepatu Papaku itu ? Barangkali sepatu itu
adalah sepatu kulit yang mahal ? Sayang akupun tidak mengingat apa merk-nya,
apalagi untuk bertanya berapa harganya. Atau barangkali karena Papa yang
merawatnya dengan baik, sehingga menjadi sangat awet ? Relatif juga kan?
Entah
mengapa tiba-tiba aku teringat sepatu itu. Paling tidak karena sekali-sekali
aku pernah meminjamnya untuk acara khusus seperti waktu acara perpisahan di
sekolah SMP, kebetulan kami boleh berpakaian bebas dan bercelana panjang. Tentu
tampak lebih gagah dengan sepatu kulit itu dibandingkan dengan sepatu kets yang
sehari-hari untuk sekolah. Setelah aku ingat-ingat, ternyata ada satu hal yang
membuat segalanya menjadi masuk akal, kenapa sepatu itu begitu awet, hingga
berumur lebih dari 10 tahun. Yah tentu saja, karena Papa sangat jarang
memakainya. Papaku bukan orang kantoran, dia seorang pedagang yang kerjanya
sehari-hari diam di toko melayani pelanggan. Dalam kesehariannya dia lebih suka
memakai sandal saja. Sepatu itu selalu tersemir mengkilap dan tersimpan rapi di
lemari dan hanya terpakai pada waktu kami harus menghadiri undangan pesta
pernikahan. Tentu saja sepatu itu awet, karena dalam setahun pun kita dapat
menghitung berapa kali dia dipakai.
Cerita
tentang sepatu Papa itu menyadarkanku tentang hal ini :
Bahwa
sekalipun kita memiliki informasi namun tidak menggunakannya dengan tepat,
dapat mengantarkan kita pada keputusan yang salah. Seringkali orang salah
memutuskan bukan karena tidak memiliki informasi, namun karena perspektif yang
salah terhadap informasi yang kita miliki. Bukankah demikian ? Aku terlalu
mengagumi “sepatu ajaib Papa” karena membandingkaknya dengan sepatu sekolahku
atau sepatu kerjaku, dengan melupakan fakta bahwa seharusnya dari dulu aku tahu
bedanya : sepatuku dipakai setiap hari, sepatu kulit Papa sangat jarang
dipakai. Jadi, keajaiban itu bukanlah benar-benar keajaiban, hanya ajaib dalam
persespiku, karena aku tidak menyadari fakta yang seharusnya dari dulu sudah
ada di depanku.
Karena
berhubungan dengan persepsi, seringkali membuat kita mengabaikan objektif.
Persepsi membentuk mindset, yang cenderung melakukan seleksi terhadap
informasi, yaitu hanya menggunakan informasi
yang disukai dan mengabaikan informasi yang tidak disukai. Mindset itu secara
tak sadar membentuk asumsi-asumsi yang mengeliminasi informasi-informasi yang
tersedia. Memang dengan begitu kita mempercepat pengambilan keputusan, namun
kadangkala mengurangi objectivitas. Karena terbawa mindset masa kecil bahwa
sepatu Papa itu adalah sepatu kulit yang bagus dan awet, tanpa sadar saya
menyeleksi informasi tentang habit/kebiasaan pemakaiannya, padahal justru informasi itulah
yang paling dapat menjelaskan fenomena keajaiban sepatu Papa.
Pada
akhirnya hidup ini penuh dengan perubahan, dan karenanya kita pun harus
berubah. Persoalan selalu muncul (entah disadari atau tidak) saat mindset kita sudah
tidak lagi relevan dengan situasi yang dihadapi karena adanya perubahan. Di era
yang semakin dinamis seperti sekarang ini, mindset kita pun harus sama
dinamisnya mengikuti perubahan, kalau tidak pemikiran kita menjadi out of date.
Rupanya, sepasang sepatu tua pun dapat membuatku banyak belajar hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar