Untuk anda yang berusia lebih dari 40
tahun, kemungkinan pernah mendengar potongan lagu ini : “... ngobrol di warung kopi ... nyentil
sana dan sini ... sekedar suara rakyat kecil .. bukannya mau usil ...”
Tidak asing bukan? Kita sering mendengar
lagu tersebut dinyanyikan oleh Warkop yang
di era 70-80an sangat terkenal. Nama Dono, Kasino dan Indro yang dikenal
sebagai Warkop DKI dikenal oleh semua kalangan pada masa jayanya. Lagu itu
menyiratkan sesuatu yang spesial dari warung kopi. Di dalam warung kopi,
rupanya bukan sekedar bertemunya antar penggemar kopi dan penjual kopi, namun secara tidak langsung
warung kopi adalah sebuah komunitas, dimana orang berkumpul dan berinteraksi
secara intensif diantara mereka. Di situ tiap orang bebas ngobrol apa saja,
dari topik ringan seputar kampung, hingga diskusi panas seputar politik dengan
ditemani secangkir kopi panas, pisang goreng, beberapa batang rokok dan
barangkali makanan berat untuk yang lapar.
Warung kopi bukan sekedar warung namun
merupakan media relasi antar manusia. Warung kopi bukanlah sekedar warung,
namun telah menjadi komunitas sosial yang mencerminkan nilai kegotogroyongan
bangsa Indonesia. Mengapa Indonesia ? Karena walaupun beda cara penyajiannya,
namun esensi budaya yang komunal penuh kebersamaan menjadi ciri utamanya. Di
beberapa wilayah Sumatra mungkin anda dengar sajian khas kopi dengan roti selai
sarikaya, atau sajian menu sarapan. Di situ orang duduk berkelompok dan
ngobrol, berdiskusi atau sekedar bermain catur. Mungkin di beberapa kota di
Kalimantan di malam hari ditemukan warung-warung kopi yang menyajikan kopi dan
sajian khas pisang goreng kipasnya. Pada malam hari warung kopi seperti ini
tampak penuh, terlihat dari berderetnya motor yang parkir, dan riuhnya suasana
nonton bareng siaran TV dengan layar lebar. Di Jawa pun warung kopi banyak
dijumpai, dari kelas warung permanen hingga warung kopi jahe di emperan toko di
malam hari. Orang datang ke sana bukan sekedar demi secangkir kopi, namun
menikmati suatu kehidupan, interaksi, kebersamaan, persaudaraan dan bahkan
mungkin bisnis.
Hari ini kita pun menyaksikan munculnya
warung kopi modern di mall-mall. Baik itu mulai bermunculannya kopitiam, gerai
warung kopi franchise internasional seperti Starbucks, maupun citarasa modern
dari Excellso. Atau barangkali kini anda dapat menikmati secangkir Old Town
white coffee yang menemani waktu kosong anda menunggu penerbangan yang tak
kunjung boarding di bandara Soekarno Hatta. Hadir di mall, atau sentra bisnis,
warung kopi modern inipun hidup karena munculnya kebutuhan suatu tempat yang
nyaman untuk bertemu, berinteraksi, atau hangout. Bahkan kita melihat tren baru
orang bertemu rekanan bisnis, meeting, mendapatkan inspirasi untuk bahan
presentasi, atau sekedar melepas penat menunggu kemacetan terurai di warung
kopi modern ini.
Yah, itulah kisah warung kopi. Kalau
kebutuhan anda hanyalah secangkir kopi, itu masalah mudah. Anda tinggal
mengantongi 1 sachet kopi instan dan bermodal mug atau cangkir kosong berburu
air panas. Namun kopi bukan sekedar kopi kalau sudah dimaknai sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari kebutuhan interaksi sosial. Tak heran, harga
secangkir kopi bervariasi dari tiga ribuan hingga harga puluhan ribu, bahkan
ratusan ribu, tetap saja tidak pernah sepi peminat.
Obrolan warung kopi, adalah teman dari
mereka yang sekedar nyentil sana dan sini hingga mereka yang mencapai deal
bisnis ratusan juta. Rupanya warung kopi pun dapat menjadi saksi wajah
ke-Indonesiaan kita dari dulu hingga kini.
Salam dari warung kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar