Minggu, 25 November 2012

Korban Facebook [lagi]


Pagi-pagi (25/11) buka station TV berita TVONE kebetulan sedang menayangkan suatu berita menarik, yang diberi judul  “Korban Facebook [lagi]”.  Dari wawancara dengan si korban, yang berinisial “E” diketahui bahwa E ini adalah salah satu siswi SD di Jombang, yang selama 11 hari menghilang dari rumah bersama temannya yang dikenal dari facebook. Konon E diajak jalan-jalan dari Surabaya sampai Bojonegoro, di mana dia pada akhirnya dia ditemukan. Entah apa yang terjadi selama 11 hari itu. Itulah pengalaman E yang diperoleh setelah 1 bulan bermain Facebook. Berdasarkan pengakuan E, dia mengenal “penculik”nya itu dari SMS-an nyasar dan Facebook.

Judul  “Korban Facebook [lagi]” jadi menarik, karena memang selain kasus E ini bukanlah yang pertama, tapi sudah menjadi korban kesekian kalinya.  Dituliskan sebagai “korban” facebook juga jadi menarik, karena facebook seolah menjadi penyebab, padahal kita tahu facebook sebagai media tetaplah sebagai media, namun kalau ditelusur lebih dalam tentu penyebab utama bukanlah media itu sendiri, namun sekumpulan masalah yang kalau disimpulkan adalah kurangnya perhatian : kurangnya perhatian keluarga kepada anak sehingga lebih memilih curhat dan berkomunikasi dengan gagdetnya ketimbang keluarga, kurangnya perhatian terhadap perlunya pembekalan dan pengetahuan tentang bagaimana bersikap terhadap perkembangan, termasuk kemudahan akses terhadap teknologi yang semakin murah, atau dengan kata lain terjadinya eforia akibat gagap teknologi.

Memang sebagai orang tua kadang susah membendung keinginan anak. Pada saat kita mendisiplinkan anak dengan aturan “memberikan apa yang terbaik bagi mereka sesuai dengan waktunya” mendapat tantangan terbesar justru dari lingkungan anak sendiri, yang celakanya sulit dikontrol sepenuhnya oleh orang tua. Katakanlah misal orang tua menyikapi trend pemakaian BB dengan menjanjikan kepada anak akan membelikan BB pada usia 16 tahun, yaitu waktu mereka sudah dianggap cukup dewasa memakainya. Apa daya anak SD pun sudah banyak yang punya blackberry sekarang. Lalu anak pun akhirnya menuntut sama seperti teman-temannya. Atau kembali ke Facebook, bukankah policy Facebook ada usia minimal untuk  dapat menjadi anggota, tapi apa daya toh disekitar kita anak kelas 3 SD pun sudah memiliki account Facebook, yang bahkan dibuatkan orang tuanya sendiri dengan cara memalsukan tahun kelahiran bukan ?

Menyikapi banyaknya persoalan ini, barangkali perlu perhatian kita terhadap perkembangan teknologi di sekitar anak, supaya mereka dapat menyikapinya dengan benar. Beberapa hal ini semoga bermanfaat :
  • ·    Perlunya kebijaksanaan orang tua dalam memberikan mengarahkan penggunaan internet oleh anak, dengan cara tidak membebaskan pemakaian, namun dengan pendampingan agar mereka tahu bagaimana menggunakan dengan benar. Misalnya mengarahkan penggunaan internet ke situs yang bermanfaat, memasang parental lock software sehingga akses internet terlokalisir dari situs-situs yang tidak semestinya.

  • ·       Bila menggunakan Facebook, arahkan kepada anak untuk hanya menerima (dan mengirim) permintaan pertemanan dengan orang-orang yang di dunia nyata benar-benar dikenal, dan menolak permintaan pertemanan dari accout yang tidak dikenal, karena biar bagaimanapun anak tidak cukup bijak untuk menilai account yang tidak dikenal persis.

  • ·    Jadilah teman anak di rumah maupun di social media, sehingga ada pengawasan tidak langsung terhadap aktivitas yang ada di wall facebook anak.

  • ·       Biasakan berkomunikasi dengan anak secara terbuka sehingga mereka bebas bercurhat kepada orang tua, bukannya curhat di Facebook gara-gara komunikasi di rumah yang tidak lancar.

  • ·         Tekankan kepada anak bahwa penggunaan gadget (HP, BB, tablet PC, atau apapun) bukanlah untuk gaya atau mengikuti trend, sehingga kalaupun anak dibelikan itu bukan karena supaya anak itu trendy, namun karena orang tua ingin berkomunikasi dengan akan setiap waktu. Dengan begitu, anak dipersiapkan dewasa menggunakan gagdet secara fungsional.

  • ·    Pada waktu anak berulang tahun, jangan buru-buru setuju membelikan blackberry permintaannya, barangkali anak bisa dipancing dengan barang lain yang  lebih menarik dengan anggaran yang sama. Katakanlah mau tidak kalau blackberry nya ditukar dengan kamera digital agar anak bisa mengabadikan momen-momen penting bersama keluarga dan teman-teman, atau dibelikan media player kalau anak mulai menggemari musik.


Semakin padatnya jadwal sehari-hari, membuat waktu pengawasan orang tua terhadap anak tampaknya semakin sedikit. Memang kita bisa berharap kepada sekolah untuk  mendidik anak bersikap, namun kembali yang membentuk dan berpengaruh terhadap anak pada akhirnya adalah orang tua sendiri. Kita tidak dapat membendung anak bersentuhan dengan teknologi dan media, tapi kita bisa mengajari mereka untu dewasa menyikapi, mampu membedakan mana yang baik mana yang tidak, dan mampu memilih dengan benar. Pada akhirnya, inti dari semuanya adalah perlunya komunikasi yang baik, keterbukaan dan kedekatan dengan anak supaya mereka juga jujur dan terbuka terhadap orang tua.

Bagaimanapun semua media itu hakikatnya adalah netral, jadi buruk kalau disalahgunakan, jadi berguna kalau dimanfaatkan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar