Kamis, 23 Agustus 2012

Pilkada Jakarta : Barometer Kedewasaan Berpolitik Kita !


Pagi tadi (23/8) beredar via blackberry messenger pesan berbunyi demikian :
—————-
COBA ANALISA DATA INI:
Apakah ada hubungan antara perolehan suara Foke dan Jokowi di masing2 wilayah tempat terjadinya kebakaran? Kenapa di tempat suara Jokowi unggul mutlak selalu terjadi KEBAKARAN?  Apakah ada hubungannya dengan pernyataan emosional Foke pada korban kebakaran di salah satu wilayah Jakarta  ”kalo lo pilih Jokowi, pindah saja ke Solo”
1. Cideng (Terbakar 22/8/)     Jml suara Foke: 26,07%   Jml suara Jokowi: 55,26 %
2. Kapuk Muara (terbakar 22/8)   suara Foke: 25,02%. suara Jokowi: 62,49%.
3. Karet Tengsin (terbakar 16/8)  suara Foke: 36,01%  suara Jokowi: 39,36%
4. Pdk Bambu (terbakar 15/8)  suara Foke: 35,66%  suara Jokowi: 39,14%.
5. Glodok (terbakar 12/8) suara Foke: 16,63% suara Jokowi: 77,30%.
6. Pekojan (terbakar 8/8) suara Foke: 26,73% suara Jokowi: 61,35%.
7. Pinangsia (terbakar 12/08)  suara Foke: 33,02% suara Jokowi: 56,45%
Ayo analisa dengan cerdas dan berbasis data!! Jika terjadi 7 kali berturut-turut apakah itu suatu KEBETULAN atau KESENGAJAAN?———————————–
Apa analisis anda terhadap data di atas ?

Ada 2 variable : pertama, kampung di mana Jokowi menang. Kedua, kampung itu terbakar. Persoalannya bagaimana menghubungan, atau menghubungpaksakan dua variabel yang jelas tidak berhubungan ini ? Kalau bicara menang kalah dihubungkan dengan basis pendukung partai  atau kebakaran dihubungkan arus pendek listrik, mungkin masih terhubung. Tapi menghubungkan 2 variabel di atas, tampaknya harus memiliki variabel atau asumsi tambahan, yaitu bahwa faktor politik bisa menyebabkan kebakaran, sehingga menggiring kita yang membaca untuk berkesimpulan ada kemungkinan kesengajaan. Kalau sengaja, siapa pelakunya ? Tentu saja bukan Jokowi, karena secara hitungan politik bukankah dia yang dirugikan. Foke kah pelakunya ? Tampaknya itu yang lalu menjadi kesimpulan banyak orang, walaupun belum tentu demikian.

Saya hanya berharap, BBM tersebut bukan berasal dari tim sukses Jokowi, karena menunjukkan permainan politik kekanak-kanakan. Ini bukan type Jokowi yang tidak banyak bicara tapi suka bekerja. Kalau ini dilakukan oleh orang yang mencoba membantu Jokowi, ingatlah bukannya membantu, tapi menjerumuskan, sama menjerumuskannya dengan pelempar isyu SARA yang dituding keluar dari kubu Foke.

Beberapa waktu yang lalu, kita sudah dikejutkan dengan lemparan topik SARA yang dihubungkan dengan calon pemimpin Jakarta. Sempat menjadi polemik di berbagai media massa, termasuk di Kompasiana karena selain hangat isyunya, hangat juga orang yang melemparkannya : selebriti kita bang Haji Rhoma Irama. Belum lagi ada yang menghubungkan calon pemimpin dengan daerah asal dan kesukuannya. Kalaulah kemudian masalah kebakaran di Jakarta ini lalu diangkat juga sebagai salah satu senjata untuk menyerang salah satu calon, lengkaplah sudah kehancuran demokrasi negeri ini.

Menyikapi masalah kebakaran di Jakarta walaupun tampak sekali banyak kebetulan, baiknya para politisi, tim sukses, maupun pendukung harus mulai bijaksana melempar statement. Media pun seharusnya juga bijak merilis berita, walaupun diakhiri dengan tanda tanya (?), seperti di TV One sore ini (23/8) yang mempertanyakan : kebakaran atau dibakar ? Akhirnya ramailah orang berspekulasi. Coba kalau kemudian tidak terbukti bahwa kebakaran itu disengaja, siapa yang malu ? Sikap yang benar untuk menyikapi masalah ini ya tentu saja lapor ke Polisi untuk melakukan investigasi, mencari kemungkinan kesengajaan. Atau kalau perlu sekalian lapor Pak Dahlan Ikhsan untuk meminta PLN melakukan pengecekan terhadap kelayakan instalasi listrik, terutama di area padat penduduk di Jakarta, bukannya melempar spekulasi ke masyarakat. Semoga benar adanya, pernyataan tim sukses Jokowi yang mengatakan tidak akan membawa-bawa peristiwa kebakaran di Jakarta ke ranah politik dengan mengkaitkannya dengan faktor kemenangan Jokowi di daerah yang terbakar.

Dalam berdemokrasi yang sehat, seharusnya kedua kubu calon Gubernur lebih banyak mengangkat persoalan-persoalan Jakarta dan menawarkan penyelesaiannya.  Biarlah rakyat yang menilai program siapa yang lebih dapat membawa Jakarta menjadi lebih baik. Hal inilah yang menjadi tantangan tim sukses maupun pendukung masing-masing calon untuk lebih dewasa berdemokrasi. Saya bermimpi, Jokowi - Foke dapat bersama dalam 1 panggung, membicarakan bagaimana menjadikan Jakarta lebih baik. Dan pada akhirnya nanti siapapun yang menang memimpin Jakarta akan mendapat dukungan penuh dari yang kalah. Itulah esensi dari berdemokrasi yaitu penghormatan kepada suara rakyat, menempatkan pemimpin sebagai hamba rakyat.

Kalau model demokrasi yang berbasis isyu yang tidak substansial seperti ini dianggap sebagai barometer 2014, tampaknya calon pemenang pemilu adalah partai Golput.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar