...
bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence,
tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan satu jembatan emas ... di dalam Indonesia merdeka itulah kita
memerdekakan rakyat kita ... (Ir. Soekarno)
Memang
perayaan HUT kemerdekaan RI telah lewat, namun perenungan HUT Kemerdekaan itu
masih menyisakan suatu tanda tanya, terutama pada waktu kemudian banyak juga
orang menggugat “apakah betul kita ini sudah merdeka ?” Tentu sekali-sekali
pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk mempertanyakan legitimasi dari
proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung
Hatta. Konteks mempertanyaan “apakah kita sudah menjadi bangsa merdeka” itu
lebih memperhatikan -- atau tepatnya memprihatinkan --- kondisi kita sebagai
bangsa hari ini yang walaupun telah 67 tahun merdeka, walaupun pertumbuhan
ekonomi tanpaknya baik-baik saja, namun masih menyisakan banyak pekerjaan
rumah, seperti misalnya kita belum merdeka karena secara ekonomi masih banyak
rakyat kita belum dapat merdeka dari belenggu kemiskinan, atau barangkali kita
memprihatinkan secara politik walaupun kita telah mempraktekkan demokrasi, toh
masih terbelenggu kepentingan sempit dari kelompok (yang direpresentasikan oleh
partai), sehingga belum banyak orang yang dengan tulus mengurus negara ini.
Atau mungkin kita prihatin, dari zaman orde lama, orde baru hingga orde
reformasi ini, kita tidak juga lepas dari belenggu korupsi.
Namun
itulah kenyataan yang terjadi. Pidato di hari lahirnya Pancasila oleh Ir.
Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 menegaskan bahwa political independence (dari
penjajahan Jepang) adalah satu jembatan emas, menuju masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur. Kemerdekaan tidak bisa menunggu segala sesuatunya siap, tapi
dalam kemerdekaan itu kita mau memerdekakan rakyat Indonesia. Semangat seperti
inilah yang barangkali perlu menjadi semangat kita bersama hari ini, untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Soekarno – Hatta dan para pendiri republik
ini adalah peletak dasar kemandirian politik, menegakkan kepala bangsa
Indonesia setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Namun kemerdekaan itu
bukankah bukan tujuan akhir ? Kemerdekaan itu adalah pekerjaan besar untuk
memerdekakan bangsa Indonesia dari kondisi terjajah menjadi merdeka yang
sebernarnya, yaitu cita-cita yang diletakkan di seberang jembatan emas,
sebagaimana tertulis di keseluruhan Pembukaan UUD ’45.
Merdeka
yang sebenarnya adalah saat kemerdekaan itu bisa memerdekakan, bisa membawa
bangsa ini menuju cita-cita kemakmuran. Masih banyak belenggu-belenggu yang
harus dipatahkan, dan itu bukan untuk dibicarakan, diperdebatkan namun
dikerjakan. Karena itu, menilai kemerdekaan itu seharusnya berangkat dari diri
kita sendiri, apakah saya sudah merdeka dan apakah kemerdekaan saya dapat
memerdekakan orang lain. Kita membutuhkan banyak pelopor di berbagai bidang
untuk membawa Indonesia meraih cita-citanya. Merdeka itu haruslah memerdekakan.
Kalau hati kita merdeka namun kita maknai sebagai kenikmatan diri saja, maka
sesungguhnya kita pun belum merdeka. Karena merdeka itu adalah jembatan emas,
merdeka itu sarana, bukan tujuan.
Kita
patut bersedih, saat melihat Indonesia yang telah demikian maju, semakin banyak
orang pintar, semakin banyak orang berkesadaran politik, semakin banyak orang
yang ber hati merdeka, bukan lagi berjiwa inlander, namun tidak menggunakan
kemerdekaannya itu untuk memerdekakan orang lain. Alih-alih bekerja sama
membangun bangsa, yang terjadi justru saling mencari kesalahan, dan berebut
kekuasaan. Bukankah kata pendahulu kita, negara ini dibangun atas dasar akar
budaya “gotong royong” ? Tapi yang terjadi kegotongroyongan itu kini digantikan
oleh kepentingan sempit kelompok dalam bungkus demokrasi yang semakin hari kian
liberal saja.
Kemerdekaan
yang memerdekakan itu haruslah dikibarkan laksana sang saka merah putih di
angkasa. Mengapa kita mengibarkan bendera merah putih? Karena membangun bangsa
ini harus didasarkan oleh merahnya keberanian dan putihnya kesucian secara
bersama-sama. Siapa yang hanya menaikkan bendera merah saja akan menjadi orang
yang tangguh, kuat namun keblinger kekuasaan dan mementingkan diri sendiri.
Tapi orang yang hanya mengibarkan bendera putih saja, barangkali tinggal “mandeg
padito”, hanya sanggup prihatin tanpa keberanian mempelopori perubahan, terpinggir
tanpa daya di tengah arus kekuatan-kekuatan yang ada.
Sekali
lagi, kita memang telah merdeka. Jembatan emas telah dibangun, menantikan para
ksatria yang mau bersama-sama membawa bangsa ini menuju masyarakat adil dan
makmur di seberang sana. Kita tidak perlu menunggu siapa “satria piningit”
itu, barangkali kita ini satu diantaranya. Jadi ingat kutipan pidato John F
Kennedy ini “ask not what your country can do
for you - ask what you can do for your country.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar