Butir ke-3 dari Sumpah Pemuda 18 Oktober 1928 berbunyi “menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Secara politik, Kongres Pemuda II yang kemudian
ditutup dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda itu merupakan salah satu titik waktu
munculnya kesadaran perlunya unsur pemersatu bangsa. Secara politik, kesadaran
berbangsa masih bersifat lokal, sebagai cerminan Indonesia yang terdiri atas
berbagai suku bangsa dan bahasa, serta tersebar dalam wilayah yang luas dan
terpisah-pisah dalam ribuan pulau. Namun munculnya kesadaran perlunya persatuan
kebangsaan dan tanah air Indonesia, menjadikan bahasa Indonesia yang berakar
dari bahasa Melayu dan telah dituturkan secara terbatas terutama di kalangan
ningrat dan bahasa administratif pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki
peran yang penting sebagai bahasa pemersatu. Oleh karena itu, setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, ditegaskan dalam UUD bahwa bahasa Indonesia
adalah bahasa resmi negara.
Ada satu ungkapan yang mengatakan bahwa bahasa menunjukkan
bangsa. Hari ini bahasa Inggris diterima luas sebagai bahasa internasional
konon karena sejarah kolonialismenya di masa lalum, menjadikan bahasa Inggris
memiliki jumlah penuturnya yang luas, disamping kosa katanya yang lengkap
sehingga memenuhi syarat menjadi bahasa internasional di masa kini. Hal yang
sama terjadi pula dengan bahasa Perancis, walaupun penggunanya terbatas di
Perancis dan bekas koloninya saja. Bahasa Jerman dan Jepang sebagai negara kuat
dipelajari di banyak negara, karena kedua negara itu dianggap penting. Seiring
dengan meningkatknya kekuatan ekonomi Cina, di banyak negara orang-orang mulai berminat
mempelajari bahasa Mandarin dengan alasan ekspansi bisnis, bukannya memaksa
orang Cina berbicara bahasa Inggris. Ini menunjukkan bahwa Cina pun mulai
diperhitungkan.
Lalu bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia memaknai bahasa
Indonesia saat ini ?
Berbicara tentang bahasa Indonesia tidak terlepas dari
posisi strategis negara Indonesia di mata dunia. Jembatan emas untuk mempelajari
Indonesia adalah dengan mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak
hanya dipelajari oleh tetangga ASEAN kita, namun juga di Australia, Belanda, Kanada,
dan bahkan di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia
dianggap cukup penting, paling tidak secara ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia
yang termasuk 5 besar di dunia, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang diatas 5% per tahun adalah wilayah yang sangat
menggiurkan sebagai tujuan investasi. Sebagai negara terbesar dari segi jumlah
penduduk dan luas wilayah di ASEAN, seharusnya secara politik Indonesia sangat
diperhitungkan di tingkat ASEAN. Tidak heran, Indonesia cukup berambisi untuk
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN.
Adanya potensi menjadikan bahasa Indonesia sebagai menjadi
bahasa internasional ini nampaknya justru belum terlihat dukungannya di dalam
negeri sendiri. Paling tidak beberapa indikator dapat kita lihat di sekitar
kita sebagai berikut :
Pertama, kampanye berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar tampaknya semakin lama semakin menghilang. Pengajaran bahasa Indonesia
kepada masyarakat luas tampaknya tidak lagi menjadi perhatian kita bersama.
Jaman dulu siapa yang tidak mengenal nama Jus Badudu yang setiap minggu
mengasuh acara bahasa Indonesia di televisi ? Hari ini televisi kita melalui para
pembawa acara maupun sinetron-sinetron mengajarkan bahasa alay dan bahasa “lu-gue”
sebagai bahasa yang baik dan benar. Penyiar radio di daerah pun ikut-ikutan ber-“lu-gue”
walaupun dengan logat Jawa yang kental. Belum lagi fenomena menarik yang saya
lihat dari nilai UN anak SD (paling tidak di sekolah anak saya) menunjukkan
dari 3 mata pelajaran yang diujikan, pelajaran Bahasa Indonesia bukan menempati
rata-rata nilai tertinggi. Jadi ?
Kedua, kurang terlihatnya daya dukung untuk menginternasionalkan
bahasa Indonesia dengan terus melakukan penyempurnaan dan penambahan kosakata
baru. Sebaliknya justru dari para pejabat sampai pebisnis semakin banyak
memasukkan kosa kata bahasa Inggris dalam bertutur bahasa Indonesia. Apakah
memang bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata untuk menggantikan kata-kata
yang mulai umum dituturkan dalam berbahasa Indonesia seperti kata which is,
clear, yes, no, dan lainnya ? Bukankah kita sering mendengarnya ? Apakah bahasa
Indonesia mutakhir itu sama dengan bahasa Indonesia gado-gado? Jangan-jangan
ini mencerminkan kerendahan diri sebagai manusia Indonesia, bermental “inlander”
seperti jaman penjajahan Belanda, yang merendahkan ke-Indonesiaan dan
meninggikan bahasa asing ?
Ketiga, dunia pendidikan kita yang mencoba maju
selangkah dengan model RSBI yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar di kelas-kelas sekolah SMP maupun SMU patut dicermati bersama. Tentu
saja penting menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dan keilmuan internasional,
namun bila tidak diikuti dengan pembelajaran bahasa Indonesia dengan baik dan
benar, maka kita hanya akan menghasilkan generasi yang meninggalkan bahasa
Indonesia. Bukankah hari ini generasi itu sudah mulai terbentuk? Berapa banyak
dari kita yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi mulai berbahasa Inggris
dengan anak yang bersekolah di sekolah internasional hingga anak-anak itu
menjadi gagap berbahasa Indonesia ?
Saya pun masih kurang percaya diri menulis artikel ini,
semoga cukup memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu
sebaiknya saya sudahi di sini, dengan ucapan selamat ber bulan bahasa
Indonesia, marilah kita berusaha untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar