Senin, 09 Juli 2012

Kearifan Lokal di Sunday Market

Hari Minggu pagi, matahari baru saja terbit, tapi di ujung jalan Raya Solo Baru sudah tampak ramai. Ratusan, mungkin juga ribuan orang lalu lalang diseputar bundaran air mancur Solo Baru. Mereka bukan tampak seperti orang yang sedang berolah raga, tapi lebih mirip orang ke pasar - banyak orang berjualan, banyak orang yang sekedar lihat kiri – kanan, berbelanja atau menikmati jajanan yang disediakan. Aneka barang dan jasa tersedia di sini, dari mainan anak-anak, pakaian, jajanan, makanan berat, es krim, ikan hias, tanaman, dan sebagainya. Namun suasana ini tidak berjalan lama. Menjelang pukul 09.00 lokasi mulai sepi, dan kembali menjadi fungsinya semula, yaitu jalan raya. Kalau anda warga Solo, atau kebetulan pernah berjalan-jalan di seputar kota Solo di Minggu pagi, pemandangan pasar kaget Minggu pagi ini dapat dijumpai tidak hanya di Solo Baru, namun juga di dalam Stadion Manahan Solo, seputar UNS, dan sekitar Alun-Alun Utara. Apalagi sejak adanya event Car Free Day, bertambah lagi hiburan Minggu pagi.
Pasar kaget di Minggu pagi, atau kita sebut saja sebagai Sunday Market, yang munculnya hanya 3-4 jam saja di Minggu pagi menjadi fenomena yang menarik. Di beberapa kota lain, biasanya kota Kabupaten atau Kecamatan di Jawa Tengah kita temukan juga kegiatan semacam ini digelar di alun-alun kota pada hari Sabtu atau malam minggu. Mengapa menarik ? Di sinilah kita melihat terbentuknya suatu pranata sosial yang tidak hanya semata bermotif ekonomi, namun juga potret kearifan lokal, dimana pasar kaget tersebut menjadi tempat berekreasi, berinteraksi dan bersosialisasi.
Secara ekonomi, tentu munculnya Sunday Market ini diawali dengan adanya peluang pasar. Dulunya wilayah itu sepi, hanya saja setiap Minggu pagi banyak orang yang berolah raga atau berjalan-jalan bersama keluarga, sekedar menghirup udara segar. Di mana ada orang berkumpul, mulai berdatangan para pedagang untuk mengais rejeki di situ. Pertama-tama tentu para pedagang makanan, supaya selesai berolah raga atau berjalan-jalan bisa menikmati jajanan atau sarapan pagi. Mungkin juga, karena hadirnya anak-anak, menjadi peluang juga bagi pedagang mainan dan jajanan anak. Karena gayung bersambut, lama kelamaan tanpa ada yang mengkoordinir lahirlah pasar kaget Sunday Market itu. Inilah cermin perekonomian kita yang banyak ditopang oleh sektor informal, sehingga suasana apapun menjadi ladang yang subur para pedagang kaki lima.Semakin banyaknya pedagang yang berjualan dengan beraneka ragam barang, akhirnya menarik minat orang untuk datang ke situ.Banyak orang datang bukan lagi sekedar berolah raga atau menghirup udara segar, tapi juga berkembang menjadi mereka yang ingin menikmati rekreasi murah besama kawan dan keluarga. Jadilah pasar kaget itu sebagai tempat rekreasi yang murah meriah, bukan sekedar tempat bertransaksi kebutuhan, namun juga menjadi ajang rekreasi dan bersosialisasi.
Disini kita melihat terbentuknya sebuah mall yang bukan berasal dari kekuatan pemodal besar dengan gedung yang megah dan menjulang, namun berasal dari bekerjanya “invisible hand” (hukum permintaan dan penawaran) dalam wadah pranata sosial yang khas. Berbeda dari mall yang menyedot perhatian orang dengan tenant yang terkenal dan sarana hiburan dan permainan yang mahal dan modern, Sunday Market menarik mereka yang merindukan suasana yang guyub, rukun, dimana kearifan lokal tercermin dari jajanan kampung, makanan seperti nasi liwet, bubur ayam, soto, tahu kupat, mainan tradisional, kereta kuda keliling lokasi, dan suasana informal dimana anda tidak perlu risih datang ke sana dengan menggunakan sandal jepit, belum mandi, bahkan masih berpakaian ala baby-doll.
Di satu sisi, tentu ada orang yang sedikit merasa kesal karena pagi-pagi sudah harus menghadapi kemacetan akibat keramaian yang ditimbulkan, sehingga melihat dari sisi ketidaknyamanan dan ketergangguan kita sehingga melihatnya tidak berguna. Kita terpaku pada keberhasilan pembangunan yang diukur dengan kemegahan gedung perkantoran, pasar modern, mall, dan perkembangan infrastruktur perkotaan. Ada saatnya kita perlu melihat sisi lain dari negeri ini, yaitu sektor informal yang ikut menyangga perekonomian, tanpa merepotkan pemeritah untuk memberi mereka pekerjaan, dan secara statistik menghapus diri mereka dari kelompok pengangguran. Yang mereka butuhkan hanyalah akses untuk bertumbuh, untuk di tata, bukan dibinasakan. Barangkali disinilah kita dapat menemukan arti dari konsep “trickle down effect” dalam perekonomian, dimana ada bagian kecil dari perputaran uang yang demikian besar di negeri ini benar-benar dapat menetes sampai ke level paling bawah. Bukankah ini roh dari ekonomi kerakyatan itu ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar