Senin, 30 September 2013

Rakyat Kecil Berhak Punya Mobil ! Memangnya Kenapa?

Heboh !!

Satu kata yang paling cocok untuk melukiskan gegap gempita launching duo LCGC produksi Daihatsu dan Toyota. Kehebohan yang dibumbui perang komentar Gubernur Jakarta Jokowi dan menteri perindustrian MS Hidayat (di sini), menjadi publisitas atau iklan gratis yang manis bagi mulusnya penjualan kedua produk LCGC tersebut . Bukankah demikian? Seorang teman yang sempat mengunjungi pameran di kota Solo hari Minggu 15/9/13 kemarin, menuturkan kalau indent hari itu, estimasi delivery bulan Maret tahun 2014. Berita peluncuran Toyota Agya sebelumnya konon diberitakan dalam waktu hanya 3 jam menghasilkan penjualan lebih dari 1.500 unit. Berikut kutipan beritanya dari kompas.com :

Toyota Astra Motor (TAM) meluncurkan Agya di Senayan, Jakarta, Senin (9/9/2013). Setelah peresmian dihadapan media, malam harinya, di lokasi yang sama digelar acara khusus konsumen yang dihadiri sekitar 5.000 undangan. Dalam gelaran tersebut pengunjung dihibur oleh performa panggung dari Once, Ungu, Gigi dan Kotak. Selain menyaksikan hiburan pengunjung juga bisa melihat dari dekat semua varian Agya yang ditemani oleh wiraniaga.

“Animo pengunjung sangat besar, bahkan dalam 3 jam, sejak acara dimulai hingga selesai, pesanan mencapai 1.547 unit. Sistemnya masih sama, mereka harus membayar uang tanda jadi yang nominalnya ditentukan oleh dealer,” ujar Widyawati Soedigdo, GM Corporate Planning & Public Relation, GM Customer Service TAM, dalam acara media gathering di Jakarta, kemarin (10/9/2013).

Membaca berita di atas, tampaknya sulit untuk mengkaitkan dengan pernyataan di bawah ini :

Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan tidak setuju jika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengenakan pajak khusus terhadap mobil murah yang diluncurkan pemerintah. Salah satu alasannya, mobil murah ditujukan kepada rakyat kecil.

Rakyat kecil?

Tentu murah saja tidak cukup untuk membuat mobil LCGC ini menjadi “hak” rakyat kecil untuk membelinya. Mengapa ?

Kalau yang disebut rakyat kecil adalah mereka pengguna motor yang diiming-imingi untuk beralih menjadi pengguna mobil, rasanya tidak akan semudah itu. Faktanya sebagian besar pembelian motor dilakukan secara kredit, dan nominal uang untuk mengangsur kredit motor dibandingkan dengan mengangsur kredit mobil adalah beda kelas, tidak dapat disamakan begitu saja.

Harga mobil Rp. 80-100an juta selama ini sebenarnya merupakan wilayah pasar jual beli mobil bekas, sehingga sesungguhnya kehadiran LCGC ini akan lebih mengambil konsumen mobil bekas (terutama jenis City Car). Malah nanti para makelar mobil (yang sebagian juga rakyat juga kecil) jadi pusing kepala. (… hehehe …)

Konon kebijakan mobil LCGC yang secara teoritis sangat irit akan disertai kebijakan keharusan menggunakan BBM non subsidi. Dalam hal ini tampaknya cukup relevan dengan keinginan untuk membatasi penggunaan BBM subsidi. Dalam konteks kantong “rakyat kecil” semestinya kebijakan ini menjadi salah satu pertimbangan beli mobil baru, bukan sekedar harga mobilnya yang “murah.” Masih jauh lebih murah beli BBM untuk motor kalau begitu.

Jadi apakah benar rakyat kecil punya hak untuk membeli mobil murah? Tentu saja berhak, walaupun boleh dibilang masih jauh dari terjangkau. “Rakyat kecil” tampaknya masih hanya sebagai jargon yang dilontarkan agar seolah kebijakan ini demi rakyat kecil, pro rakyat kecil, untuk rakyat kecil.

Melihat animo yang cukup besar, dan bahkan inden yang langsung menutup kapasitas produksi sampai dengan akhir tahun menunjukkan pemesan mobil murah ini tetap saja orang berduit. Siapakah mereka ?

Menurut produsen, target pasar mereka adalah kelas menengah baru, yang tergolong “new entry” pada pasar mobil, yang berencana membeli mobil pertama. Sekalipun daya belinya relatif rendah di pasar mobil tidak lalu berarti mereka benar-benar “kecil”. Katakanlah untuk membeli Daihatsu Ayla (yang bakal termurah di kelas ini) seharga Rp. 76.500.000,- dengan DP 30%, berdasarkan simulasi kredit di www.oto.co.id pembayaran pertama yang harus dilakukan (DP+asuransi+angsuran pertama) senilai Rp. 33.721.400,- dan akan mengangsur senilai Rp. 1.835.000,- per bulan selama 35 bulan berikut. Biaya ini belum termasuk anggran Pertamax tiap bulannya. Kalau dengan UMR Rp. 2,2 juta saja buruh Jakarta masih  menuntut kenaikan upah, kira-kira siapa yang sanggup keluar uang Rp. 33 juta di awal dan mengangsur Rp. 1,8 juta per bulan? Paling tidak orang yang memiliki penghasilan minimal Rp. 6 juta per bulan. Itupun harus berpikir ulang kalau sudah berkeluarga dan anak bersekolah bukan? Silahkan hitung sendiri.

Segmen kedua, adalah mereka yang mencari mobil ke dua. Kalau anda punya mobil SUV atau MPV 2000 CC di rumah, yang ber body bongsor dan merasakan galaunya rasio konsumsi bahan bakar 7-8 km per 1 liter bensin, barangkali akan berpikir untuk beli LCGC sebagai mobil kedua. Investasi besar di awal, tapi bisa berhitung untuk beberapa keuntungan : mobil praktis untuk mengantar anak ke sekolah lanjut ke pasar atau sekedar nge-mall untuk para ibu rumah tangga, beli mobil untuk anak yang sudah mulai kuliah, relatif lebih hemat bahan bakar (sekalipun diisi pertamax) dibanding SUV 2000 CC yang dibawa kerja, kecil dan lincah bermanuver di kemacetan (yang akhirnya menambah kemacetan gara-gara main serobot), lincah pula melewati gang-gang sempit sebagai jalur alternatif, cocok untuk yang tinggal di kawasan perumahan atau pemukiman padat.

Segmen ke tiga adalah para spekulan. Dalam kondisi indent yang lama, biasanya para spekulan beradu cepat untuk membeli di awal agar dapat memperoleh keuntungan dari secondary market, yaitu dijual kepada mereka yang tidak sabar antri. Selain itu, berdasarkan pengalaman, sebagai pembeli pada harga launching, akan mendapat keuntungan dari harga jual bekasnya, karena nanti kalau sudah laku biasanya harga akan terkerek naik. Kalau diamati, mobil-mobil baru Rp. 150 jutaan sekarang, waktu peluncurannya dulu harganya tidak lebih dari Rp. 100 juta juga. Dengan menimbang infasi dan umur kendaraan, dihitung-hitung masih untung.

Justru alasan yang sekiranya patut dipertimbangkan Pemerintah adalah, dengan kebijakan mobil murah dalam negeri ini, seberapa besar kans para produsen untuk dapat bersaing di pasar bebas ASEAN 2015, khususnya melawan Thailand yang tidak dapat diremehkan perkembangan industri otomotif nya. Hanya saja, kalau kemudian mobil produksi Thailand dan Indonsia bermain pada merk-merk yang itu-itu juga, sebenarnya bagiamana “persaingan” yang sesungguhnya nanti akan terjadi? Apa beda Honda/Toyota made in Thailand dengan Honda/Toyota made in Indonesia? Bisakah keduanya bersaing? Ataukah justru berkolaborasi mengatur pasar sehingga belum tentu menguntungkan Indonesia? Seharusnya kita mulai sadar untuk memainkan peran Mobil Nasional, yang dalam hal ini harus mengakui kesiapan Malaysia ketimbang Indonesia.

Jadi ?

Semuanya ini adalah soal bisnis, dan bisnis adalah tentang permintaan dan penawaran. Bisnis adalah soal uang. Siapa yang punya uang, harga cocok, anda boleh beli. Kalau anda merasa sebagai rakyat kecil dan mampu beli, ya belilah. Kalau anda kaya dan ingin beli, ya beli saja.

Begitu saja kok repot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar