Senin, 30 September 2013

Serunya Punya Golongan Darah Langka


Pertama kali menjadi kenal aktivitas menjadi pendonor darah dari kegiatan donor darah yang diselenggarakan secara rutin di kantor. Tadinya ikut-ikutan saja, dan mencoba untuk rutin 2 – 3 kali setahun. Mengapa akhirnya jadi rutin? Karena menjadi pendonor darah selain bermanfaat bagi orang yang sedang membutuhkan, rupanya bermanfaat bagi pendonor sendiri. Beberapa manfaat menjadi pendonor antara lain : dengan mendonorkan darah, kita dapat “memperbarui” darah yang ada di dalam tubuh kita. Selain itu untuk setiap darah yang di donorkan, selalu dilakukan pemeriksaan apakah darah kita terinfeksi virus seperti hepatitis dan HIV atau tidak, berapa tekanan darah kita, apakah kadar HB kita normal atau tidak, dan lainnya. Dengan demikian, saat darah kita lolos, berarti juga kita sehat. Adanya pemeriksaan dan nanti ditambah lagi dengan cara penyimpanannya membuat penerima donor harus membayar sejumlah uang. Itu bukan untuk membeli darah, namun untuk mengganti biaya pemeriksaan dan penyimpanannya.

Setelah beberapa lama menjadi donor, suatu ketika ada orang tua seorang rekan yang membutuhkan darah. Karena golongan darah saya sama-sama AB, dan kebetulan bukan golongan darah “favorit” yang banyak ditemukan, berangkatlah saya ke PMI dengan 2 orang teman lainnya. Sesampainya di PMI, seperti biasa diambil sampel darah, lalu kami menunggu kurang lebih 2 jam untuk menunggu hasil pemeriksaan.

Setelah hasil pemeriksaan selesai, dan kami mengantri untuk diambil darah, seorang petugas PMI menghubungi saya dan mengatakan bahwa darah saya tidak jadi di ambil. Tentu informasi ini sangat mengejutkan, dan sudah terbayang apakah ada masalah dengan saya? Ternyata bukan itu persoalannya. Menurut petugas PMI tersebut, darah saya tidak diambil karena dalam pemeriksaan diketemukan ternyata golongan darah AB saya itu tidak biasa di Indonesia, karena ber-rhesus negatif. Konon untuk orang Indonesia, tidak lebih dari 1% orang golongan darahnya dengan rhesus negatif. Akhirnya petugas PMI tersebut merekam data-data pribadi saya, dan memasukkan saya di kelompok “donor darah langka”. Mengapa tidak diperbolehkan menjadi donor sukarela? Karena kelangkaannya, saya hanya boleh diambil bila ada kebutuhan darah yang sama persis, AB Negatif. Akhirnya sampai saat ini, saya bukan lagi pendonor aktif, namun menjadi donor bila hanya ada permintaan.

Memiliki golongan darah langka, membuat saya berpikir, akan menjadi kondisi yang berat buat saya bila suatu saat membutuhkan darah. Namun hal ini dapat teratasi, karena PMI telah memiliki data saya, sehingga dapat menemukan orang dengan golongan darah yang sejenis. Di sisi lain saya bersyukur dan menganggap ini sebagai anugerah, karena entah kapan dan di mana saat ada orang yang berkebutuhan khusus, mungkin saya cocok untuk menjawab kebutuhan itu. Saya hanya berharap, Tuhan tetap menganugerahkan kesehatan kepada saya, dan melaluinya saya dapat membantu meringankan penderitaan orang lain.

Belakangan saya makin bersyukur, ternyata selain rekaman data di PMI, saya menemukan sebuah situs http://www.rhesusnegatif.com/ yang merupakan komunitas orang-orang dengan golongan darah ber rhesus negatif. Di situ ada banyak pengetahuan, informasi dan jalinan komunikasi di antara sesama pemilik golongan darah langka. Jadi, kalau ada diantara kompasioner yang sama-sama memiliki golongan darah langka, barangkali dapat masuk dan bergabung di sini.

Sekedar untuk pengetahuan kita, dari artikel yang saya baca di sini diperoleh informasi sbb :

rhesus darah adalah protein (antigen) yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Mereka yang mempunyai faktor protein ini disebut rhesus positif. Sedangkan yang tidak memiliki faktor protein ini disebut rhesus negatif.

Mengenali rhesus khususnya rhesus negatif menjadi begitu penting karena di dunia ini hanya sedikit orang yang memiliki rhesus negatif. Persentase jumlah pemilik rhesus negatif berbeda-beda antar kelompok ras. Pada ras bule (seperti warga Eropa, Amerika, dan Australia), jumlah pemilik rhesus negatif sekitar 15 – 18%. Sedangkan pada ras Asia, persentase pemilik rhesus negatif jauh lebih kecil. Menurut data Biro Pusat Statistik 2010, hanya kurang dari satu persen penduduk Indonesia, atau sekitar 1,2 juta orang yang memiliki rhesus negatif. Karena persentasenya sangat kecil, jumlah pendonor pun amat langka, sehingga bila memerlukan donor darah agak sulit.

Di dalam sistem rhesus terdapat aturan khusus dalam urusan sumbang-terima darah. Pemilik rhesus negatif tidak boleh ditranfusi dengan darah rhesus positif. Ini dikarenakan sistem pertahanan tubuh si reseptor (penerima donor) akan menganggap darah (rhesus positif) dari donor itu sebagai “benda asing” yang perlu dilawan seperti virus atau bakteri. Sebagai bentuk perlawanan, tubuh reseptor akan memproduksi antirhesus. Saat transfusi pertama, kadar antirhesus masih belum cukup tinggi sehingga relatif tak menimbulkan masalah serius. Tapi pada tranfusi kedua, akibatnya bisa fatal karena antirhesus mencapai kadar yang cukup tinggi. Antirhesus ini akan menyerang dan memecah sel-sel darah merah dari donor, sehingga ginjal harus bekerja keras mengeluarkan sisa pemecahan sel-sel darah merah itu. Kondisi ini bukan hanya menyebabkan tujuan tranfusi darah tak tercapai, tapi malah memperparah kondisi si reseptor sendiri.

Menarik bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar