Senin, 30 September 2013

LCGC : Murah Belum Tentu Laris

Ditandatanganinya (PP) Program Kendaraan Emisi Rendah (LECP), yang diantaranya mengatur insentif khusus bagi mobil ramah lingkungan seperti hibrida, listrik, teknologi mesin bensin atau diesel turbo dan gas akan mendapatkan insentif khusus, yaitu pengurangan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM). Dengan catatan, mobil dirakit di Indonesia dan memenuhi standar minimum kandungan lokal yang telah ditentukan. PP ini menjadi titik tolak diluncurannya mobil murah semacam Agya, Alya, dan menyusul Brio Satya, Datsun Go+ dan Suzuki Wagon R.

Diskusi yang kemudian menjadi hangat, karena tampaknya akan mendapat sambutan yang sangat meriah dari pasar, ditambah lagi slogan Menteri terkait yang menyatakan inilah mobilnya rakyat kecil, karena murah harganya. Tentu kita tidak perlu memperdebatkan seberapa mahal seberapa murah, karena hakikatnya murah dan mahal itu relatif, tergantung kondisi keuangan, dan performance yang kita dapat dari barang yang dibeli. Antusiasme masyarakat di awal sepertinya cukup tinggi, sehingga dalam beberapa jam saja peluncuran di Jakarta Toyota meraup inden 1500 unit Agya.

Bermacam diskusi sudah banyak mengulas dari sisi potensi masalah kemacetan, urgensi transportasi publik, tepat tidaknya PP LCGC, bener tidaknya arah kebijakan, kerugian negara akibat pengurangan PPnBM dan aspek politisnya. Faktanya produk mobil murah sudah diluncurkan, dan masih akan menyusul merk lainnya. Karena itu, tulisan ini mencoba melihat dari sudut pandang yang lain, yaitu dari sisi karakter konsumen Indonesia, seberapa antusias menerima produk ini? Apakah city car hatchback dengan harga murah ini nantinya akan benar-benar meledak fantastis?

Data penjualan 20 besar model mobil terlaris di Indonesia seperti pernah dilansir oleh kompas.com, terlihat pada tabel berikut (sumber : kompas.com) :
Dari tabel (dengan mengabaikan jenis kendaraan niaga) dapat kita lihat fakta-fakta menarik :

Dilihat dari jenisnya, mobil-mobil terlaris adalah MPV 7 penumpang (lihat saja : Avanza, Inova, Xenia, Grand Livina, Freed, Ertiga), SUV (Rush, Terios, bahkan Fortuner dan Pajero), hatchback 1500 CC ke atas (Yaris, Jazz) dan minibus/van (APV).

Inova, sekalipun bermain di harga 250-300 jutaan, tetap bercokol di no.3 tidak jauh dari Daihatsu Xenia yang jelas-jelas mirip Avanza.

Tidak muncul jenis city car dalam data tersebut.

Sumber lain (di sini) mengatakan, menurut Gaikindo penjualan city car selama setahun (2012) hanya berkontribusi 3,92% dari total pasar mobil. Penjualan tertinggi diraup Honda Brio (8.002 unit dalam waktu 5 bulan Agustus – Desember 2013), disusul March (7.740), Picanto (7.675), Splash(5.890) dan Sirion(5.474).

Data diatas membuat kita berpikir ulang, apakah karena murah, LCGC ini nanti kemudian akan serta-merta booming dan melenggang di pasar? Berdasarkan data di atas, dapat diraba karakter konsumen mobil di Indonesia paling tidak menimbang kriteria-kriteria tertentu dalam membeli mobil, diantaranya :


  • Merk : dalam hal ini ciri Toyota minded masih terasa. Kalaupun belakangan sudah mulai masuk merk-merk lain, namun terlihat market share Toyota masih sangat dominan. Faktor kuatnya merk Toyota barangkali selain sudah berkiprah lama, service dan sparepart yang ada di mana-mana dan yang jelas re-sale value yang tinggi (memang aneh tapi nyata : baru beli sudah mikir harga jualnya nanti). Pernah dengan mobil Cherry QQ ? Pada waktu diluncurkan harganya 80-an juta saja. Tapi kurang mendapat sambutan karena merk nya bukan? Atau barangkali meluncur terlalu dini. Jadi, akankah Agya dan Ayla meledak karena faktor Toyota dan Daihatsu?
  • Akomodasi : paling tidak muat untuk 5 – 7 orang, bagasi mencukupi. Mengapa ini penting? Karena kalau anda hanya mampu memiliki 1 mobil, maka syaratnya harus all ini one, bisa dipakai sehari-hari, serumah bisa keangkut, asyik di dalam kota, handal untuk perjalanan luar kota, keren dibawa mudik lebaran.
  • Harga bukan menjadi pertimbangan utama, tapi kenyamanan juga penting. Misalnya : sama-sama akomodasi mencukupi, MPV lebih dipilih dibandingkan dengan van. Ingat jaman dulu? Tahun 70-an mobil di jalan didominasi Colt T-120. Kemudian era 80-an berganti Suzuki Carry, dan trend bergeser ke Kijang. Hari ini mobil jenis van seperti APV dan Luxio masih ada. Bahkan Suzuki Carry pun masih ada, dengan harga Rp. 100-juta an. Mengapa kalah bersaing dengan duo Avanza–Xenia? Di segmen city car sendiri, ternyata yang terlaris adalah Honda Brio, yang ternyata bukan produk termurah di katergorinya. Hal ini menunjukkan naiknya pendapatan masyarakat golongan menengah ke atas dan beragamnya penawaran merk dan jenis mobil membuat pergeseran preferensi beli mobil dari yang awalnya fungsional bergeser mencari kenyamanan berkendara.

Kembali pada heboh LCGC ini, tampaknya segmen city car yang nanti paling banyak terpengaruh, itupun data mengatakan bahwa Brio yang terlaris justru merk yang termahal di kategori tersebut. Artinya, di segmen bawah pun, pertimbangan bukan semata-mata harga, namun juga kualitas.

Secara total, pertarungan sesungguhnya di pasar mobil adalah di pasar low MPV (Avanza, Xenia, Ertiga, Spin, Grand Livina dan konon Honda sudah bersiap masuk ke segmen ini). Dengan demikian, dari semua varian mobil murah yang sedang dan akan masuk ke pasar, yang justru patut untuk diamati adalah Datsun Go+, yang satu-satunya mobil murah meriah berjenis MPV 7 seater.

Lalu ke mana LCGC model city car akan dijual ? Tampaknya segmen yang disasar adalah pembeli mobil pertama, bisa keluarga baru yang tidak butuh akomodasi luas, anak muda/mahasiswa, mobil kedua dalam keluarga, dan mungkin juga wanita yang males ribet dengan mobil ukuran besar yang semuanya didukung oleh satu keadaan : budget terbatas. Kalau budget anda lebih, pilihan bisa meluas ke city car lainnya bukan? Dilihat dari sisi wilayah –namanya juga city car– tentu potensi pasarnya ada di Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang rawan kemacetan.

Wacana baru yang mengatakan bahwa mobil ini akan dikuota penjualannya per daerah agar tidak memperparah kemacetan Jakarta, akan menjadi tantangan tersendiri bagi produsen. Mungkin Pak Menteri karena di protes sana sini mulai berubah pikiran dan lagi-lagi mengajukan solusi simplenya (di sini) yaitu mencoba membatasi distribusi. Solusi ini bila benar diterapkan, akan membuat produsen pusing delapan keliling. Mengapa?


  • Potensi pasar terbesar justru ada di Jakarta, karena orang Jakarta (dan kota besar lainnya) lah yang paling mungkin butuh city car : mobil kecil yang lincah dalam kemacetan dan bisa dibawa masuk ke jalur alternatif (gang-gang sempit).
  • Orang kota besarlah (Jakarta salah satunya) yang memang memiliki daya beli kuat karena disitu pula perekonomian berputar. Di sini pula banyak orang merasa perlu punya mobil kedua, atau mobil untuk masing-masing anggota keluarga, karena 1 mobil tidak mampu mengatasi operasional harian untuk seluruh anggota keluarga. Bapak kerja di mana, ibu kerja di mana, anak kuliah di mana : routenya beda-beda. Jadi merasa perlu punya 1 mobil utama plus 1-2 mobil tambahan.
  • Di kota besarlah (terutama Jakarta) orang paling merasa butuh punya mobil biar murah asal mobil karena jarak yang ditempuh dalam sehari cukup jauh dari rumah, dan belum tentu bisa ditempuh dengan nyaman dengan kendaraan umum (misal : berdesakan, beberapa kali ganti kendaraan, pakai taksi mahal sekali).
  • Jadi, dari catatan di atas, tampaknya LCGC yang baru diluncurkan ini akan cukup significant mendorong pertumbuhan pasar city car, namun tidak untuk keseluruhan pasar mobil, karena membeli mobil bukan hanya soal harga, tapi banyak variabel yang dipertimbangkan.


Saya ingin tutup tulisan ini dengan satu pertanyaan : katakanlah anda punya uang untuk beli mobil sebesar Rp. 110 juta, pilih mana : sebuah Agya baru, atau Xenia berumur 2 tahun ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar