Senin, 13 Mei 2013

Pesta Demokrasi : Pestanya Siapa ?


Raungan mesin sepeda motor memecah pagi. Rombongan motor itu memenuhi jalan dengan berseragam dan membawa atribut partai tertentu, mendukung salah satu pasangan calon Gurbenur Jawa Tengah. Ah, rupanya pesta itu kembali digelar. Seperti biasa, pesta demokrasi selalu diwarnai dengan pengerahan massa, mendengarkan orasi orang penting, lalu ketika bubaran, dimulailah pawai keliling itu. Jalanan menjadi penuh, dan pengguna jalan harus rela minggir memberi jalan agar rombongan itu lewat. Kadang tidak habis pikir, apakah dengan cara seperti itu lalu rakyat yang melihatnya jadi tercerahkan? Inilah salah satu fenomena politik negeri ini, pesta demokrasi. Mengapa disebut pesta? Karena memang hanyalah pesta. Pesta memang menyenangkan, tapi kita harus tahu tidak ada pesta yang tidak berakhir. Pesta selalu membawa kegembiraan, tapi setelah berakhir, semua kembali seperti biasa.

Proses politik semestinya bukan sekedar bagaimana kekuasaan dibentuk, tapi lebih dari itu mendewasakan rakyat, agar rakyat tidak lagi sekedar dianggap objek politik, tapi juga subjek politik yang berpartisipasi dalam proses politik. Sebagai subjek itu bukan sekedar hak 5 menit di bilik suara yang menentukan nasib 5 tahun ke depan, tapi juga sebagai subjek yang berhak untuk mendapatkan pemimpin yang memikirikan dan memberikan yang terbaik untuk seluruh rakyatnya. Karena itu, rakyat bukan sekedar sebagai pemilih, namun juga berhak menuntuk janji-janji kampanye. Dengan demikian, kampanye politik bukan hanya sebagai cara mencapai jalan menuju kekuasaan, tapi juga mengajak rakyat menyongsong masa depan yang lebih baik. Karena itu, kampanye seharusnya ditempuh dengan cara mencerdaskan rakyat untuk berpolitik secara demokratis rasional, yaitu memilih siapa pemimpin terbaik.

Agar dapat menjadi rasional, bukankah proses politik itu seharusnya adalah suatu pendidikan politik, bukan pesta politik. Tentu membangun awareness dengan beriklan, branding dan pengerahan massa, namun tentu untuk memberi pendidikan dan pencerahan, bukan mengganggu ketertiban. Lalu mengapa dari tahun ke tahun masih begitu juga? Jangan-jangan memang proses politik itu hanyalah sekedar tentang memperoleh kekuasaan. Selebihnya politik itu adalah urusan para elit, sedangkan rakyat tinggal menjadi penonton dan kembali berharap akan perbaikan nasibnya. Pesta telah berakhir, kehidupan kembali normal.
Namun yang menarik, sekalipun bertahun-tahun muncul kritik, toh kampanye politik sebagai hura-huranya pesta demokrasi selalu meriah, tak pernah sepi pengunjung. Barangkali hal seperti ini perlu disikapi secara arif oleh para elit politik. Seolah mereka takut tanpa model kampanye yang demikian, dia tidak akan dikenal, dan pada akhirnya tidak terpilih. Rakyat dianggap tidak memiliki “kecerdasan politik” dan dianggap sebagai pemilih yang emosional, yang terpesona oleh gemerlap panggung, penampilan artis, dan (barangkali) amplop uang capek ala kadarnya. Rakyat dianggap bodoh, atau memang sengaja dibodohi?

Jangan-jangan, dengan cara-cara kampanye politik seperti sekarang ini, ya memang keputusan yang tepat adalah jadi orang yang aktif menghadiri pesta. Toh semua juga tahu, apapun hasilnya, setelah pesta selesai semua kembali seperti bisa : tidak ada perubahan apa-apa. Karena itu, daripada tidak dapat apa-apa lima tahun ke depan, lebih baik ikut pesta ; paling tidak memperoleh paket kaos, uang bensin dan hiburan. Rakyat tidak butuh itu, mereka butuh diperhatikan masa depannya, butuh suatu pengharapan yang bisa dibuktikan.
Semoga pesta ini tidak selesai setelah pencoblosan dengan rakyat yang hanya bisa menunggu pesta berikutnya. Semoga kampanye cagub Jateng menghasilkan pemimpin berkualitas yang betul-betul memikirkan rakyat, dan menggerakkan warga Jateng membangun Jateng. Semoga demokrasi yang dibangun kali ini bukan sekedar hajatan.

Selamat berdemokrasi untuk rakyat Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar