Minggu, 25 November 2012

Pertamina Go International dengan Sponsori AC Milan


Berita menarik datang dari Pertamina, sehubungan dengan rencananya untuk melakukan kerjasama sponsorship dengan klub AC Milan Italia pada kompetisi liga seri A Italia musim mendatang. Dalam pemberitaan di media massa dijelaskan bahwa tujuan dari kejasama ini adalah dalam rangka strategi Pertamina dalam menancapkan merek Pertamina di Eropa. Konon, Pertamina Lubricants merambah pasar Eropa melalui ekspor perdana ke pasar Swiss yang menjadi negara tujuan ekspor ke-23. Adapun salah satu bentuk sponsorshipnya adalah terpampangnya logo Pertamina di layar LED di pinggir lapangan San Siro, yang kalau itu jadi maka logo Pertamina berpeluang disaksikan penggemar AC Milan di seluruh dunia saat laga kandang. Dibandingkan dengan sasarannya untuk merambah pasar Eropa, tentu strategi Pertamina ini sepertinya tepat.

Tentu satu hal yang kemudian berpotensi menjadi polemik di dunia sepakbola Indonesia, khususnya para penggemar timnas dan kompetisi liga nasional kita adalah kok Pertamina jauh-jauh memberikan sponsor ke AC Milan bukannya mendukung timnas Indonesia?

Tentu saja jawabannya sederhana, business is businees. Kalau kembali pada objective Pertamina adalah masuk ke pasar dunia, tentu saja tidak mungkin dapat dicapai dengan sponsorship kepada timnas, yang masih baru bisa berbicara di skala lokal dan regional Asia Tenggara saja. Lain halnya kalau sponsorship ke timnas dikaitkan dengan objective Pertamina untuk kepentingan bisnis di dalam negeri. Tapi tampaknya hal ini tidak perlu dilakukan dalam jangka pendek karena di dalam negeri Pertamina masih mendominasi pasar oli dan BBM bukan?

Kalau kemudian kesulitan pendanaan timnas dikaitkan dengan strategi pertamina ini dengan menyayangkan, mempertanyakan bahkan menuduh Pertamina mengabaikan timnas tampaknya ini kurang pada tempatnya, karena urusan timnas dan kompetisi sepakbola dalam negeri sama sekali bukan tanggung jawab Pertamina, tapi tanggung jawab PSSI dan kementerian pemuda dan olah raga yang menaunginya, apakah memang ada keseriusan untuk membangun sepakbola Indonesia dengan rencana jangka panjang yang matang ? Bukankah untuk membereskan pengorganisasiannya saja masih banyak yang perlu dibenahi ? Hasil apa yang bisa diharapkan? Yang menjadi PR dari PSSI sekarang adalah bagaimana supaya sepakbola Indonesia dapat menjadi kompetisi yang menguntungkan secara bisnis, dan menarik minat sponsor untuk menanamkan modal dengan prinsip saling menguntungkan. Kalau kompetisi dalam negeri dan timnas sudah berjalan dengan baik dan berprestasi internasional, dengan sendirinya sponsor akan berdatangan, bukan hanya dari dalam negeri tapi juga investor asing yang hendak mengembangkan bisnis di Indonesia.

Kembali ke Pertamina, seharusnya kita justru perlu mendukung langkah Pertamina go internasional. Sponsorship Pertamina ke AC Milan tidak berbicara soal sepakbola, tapi urusannya adalah pengembangan bisnis Pertamina dan ujungnya adalah perekonomian Nasional. Peningkatan keuntungan Pertamina dari pelebaran bisnisnya di Eropa pada akhirnya akan menghasilkan devisa bagi negara.

Untuk Pertamina, semoga sukses go Internasional. Barangkali suatu saat kerjasama dengan AC Milan ini dapat berdampak positif bagi persepakbolaan nasional, minimal dengan mendatangkan pelatih dari Italia untuk melatih sekolah sepakbola Pertamina Soccer School dapat menghasilkan pemain nasional yang berkualitas.

Korban Facebook [lagi]


Pagi-pagi (25/11) buka station TV berita TVONE kebetulan sedang menayangkan suatu berita menarik, yang diberi judul  “Korban Facebook [lagi]”.  Dari wawancara dengan si korban, yang berinisial “E” diketahui bahwa E ini adalah salah satu siswi SD di Jombang, yang selama 11 hari menghilang dari rumah bersama temannya yang dikenal dari facebook. Konon E diajak jalan-jalan dari Surabaya sampai Bojonegoro, di mana dia pada akhirnya dia ditemukan. Entah apa yang terjadi selama 11 hari itu. Itulah pengalaman E yang diperoleh setelah 1 bulan bermain Facebook. Berdasarkan pengakuan E, dia mengenal “penculik”nya itu dari SMS-an nyasar dan Facebook.

Judul  “Korban Facebook [lagi]” jadi menarik, karena memang selain kasus E ini bukanlah yang pertama, tapi sudah menjadi korban kesekian kalinya.  Dituliskan sebagai “korban” facebook juga jadi menarik, karena facebook seolah menjadi penyebab, padahal kita tahu facebook sebagai media tetaplah sebagai media, namun kalau ditelusur lebih dalam tentu penyebab utama bukanlah media itu sendiri, namun sekumpulan masalah yang kalau disimpulkan adalah kurangnya perhatian : kurangnya perhatian keluarga kepada anak sehingga lebih memilih curhat dan berkomunikasi dengan gagdetnya ketimbang keluarga, kurangnya perhatian terhadap perlunya pembekalan dan pengetahuan tentang bagaimana bersikap terhadap perkembangan, termasuk kemudahan akses terhadap teknologi yang semakin murah, atau dengan kata lain terjadinya eforia akibat gagap teknologi.

Memang sebagai orang tua kadang susah membendung keinginan anak. Pada saat kita mendisiplinkan anak dengan aturan “memberikan apa yang terbaik bagi mereka sesuai dengan waktunya” mendapat tantangan terbesar justru dari lingkungan anak sendiri, yang celakanya sulit dikontrol sepenuhnya oleh orang tua. Katakanlah misal orang tua menyikapi trend pemakaian BB dengan menjanjikan kepada anak akan membelikan BB pada usia 16 tahun, yaitu waktu mereka sudah dianggap cukup dewasa memakainya. Apa daya anak SD pun sudah banyak yang punya blackberry sekarang. Lalu anak pun akhirnya menuntut sama seperti teman-temannya. Atau kembali ke Facebook, bukankah policy Facebook ada usia minimal untuk  dapat menjadi anggota, tapi apa daya toh disekitar kita anak kelas 3 SD pun sudah memiliki account Facebook, yang bahkan dibuatkan orang tuanya sendiri dengan cara memalsukan tahun kelahiran bukan ?

Menyikapi banyaknya persoalan ini, barangkali perlu perhatian kita terhadap perkembangan teknologi di sekitar anak, supaya mereka dapat menyikapinya dengan benar. Beberapa hal ini semoga bermanfaat :
  • ·    Perlunya kebijaksanaan orang tua dalam memberikan mengarahkan penggunaan internet oleh anak, dengan cara tidak membebaskan pemakaian, namun dengan pendampingan agar mereka tahu bagaimana menggunakan dengan benar. Misalnya mengarahkan penggunaan internet ke situs yang bermanfaat, memasang parental lock software sehingga akses internet terlokalisir dari situs-situs yang tidak semestinya.

  • ·       Bila menggunakan Facebook, arahkan kepada anak untuk hanya menerima (dan mengirim) permintaan pertemanan dengan orang-orang yang di dunia nyata benar-benar dikenal, dan menolak permintaan pertemanan dari accout yang tidak dikenal, karena biar bagaimanapun anak tidak cukup bijak untuk menilai account yang tidak dikenal persis.

  • ·    Jadilah teman anak di rumah maupun di social media, sehingga ada pengawasan tidak langsung terhadap aktivitas yang ada di wall facebook anak.

  • ·       Biasakan berkomunikasi dengan anak secara terbuka sehingga mereka bebas bercurhat kepada orang tua, bukannya curhat di Facebook gara-gara komunikasi di rumah yang tidak lancar.

  • ·         Tekankan kepada anak bahwa penggunaan gadget (HP, BB, tablet PC, atau apapun) bukanlah untuk gaya atau mengikuti trend, sehingga kalaupun anak dibelikan itu bukan karena supaya anak itu trendy, namun karena orang tua ingin berkomunikasi dengan akan setiap waktu. Dengan begitu, anak dipersiapkan dewasa menggunakan gagdet secara fungsional.

  • ·    Pada waktu anak berulang tahun, jangan buru-buru setuju membelikan blackberry permintaannya, barangkali anak bisa dipancing dengan barang lain yang  lebih menarik dengan anggaran yang sama. Katakanlah mau tidak kalau blackberry nya ditukar dengan kamera digital agar anak bisa mengabadikan momen-momen penting bersama keluarga dan teman-teman, atau dibelikan media player kalau anak mulai menggemari musik.


Semakin padatnya jadwal sehari-hari, membuat waktu pengawasan orang tua terhadap anak tampaknya semakin sedikit. Memang kita bisa berharap kepada sekolah untuk  mendidik anak bersikap, namun kembali yang membentuk dan berpengaruh terhadap anak pada akhirnya adalah orang tua sendiri. Kita tidak dapat membendung anak bersentuhan dengan teknologi dan media, tapi kita bisa mengajari mereka untu dewasa menyikapi, mampu membedakan mana yang baik mana yang tidak, dan mampu memilih dengan benar. Pada akhirnya, inti dari semuanya adalah perlunya komunikasi yang baik, keterbukaan dan kedekatan dengan anak supaya mereka juga jujur dan terbuka terhadap orang tua.

Bagaimanapun semua media itu hakikatnya adalah netral, jadi buruk kalau disalahgunakan, jadi berguna kalau dimanfaatkan dengan baik.

Ngobrol di Warung Kopi


Untuk anda yang berusia lebih dari 40 tahun, kemungkinan pernah mendengar potongan lagu ini  : “... ngobrol di warung kopi ... nyentil sana dan sini ... sekedar suara rakyat kecil .. bukannya mau usil ...” Tidak asing bukan?  Kita sering mendengar lagu tersebut dinyanyikan oleh Warkop yang  di era 70-80an sangat terkenal. Nama Dono, Kasino dan Indro yang dikenal sebagai Warkop DKI dikenal oleh semua kalangan pada masa jayanya. Lagu itu menyiratkan sesuatu yang spesial dari warung kopi. Di dalam warung kopi, rupanya bukan sekedar bertemunya antar penggemar kopi  dan penjual kopi, namun secara tidak langsung warung kopi adalah sebuah komunitas, dimana orang berkumpul dan berinteraksi secara intensif diantara mereka. Di situ tiap orang bebas ngobrol apa saja, dari topik ringan seputar kampung, hingga diskusi panas seputar politik dengan ditemani secangkir kopi panas, pisang goreng, beberapa batang rokok dan barangkali makanan berat untuk yang lapar.

Warung kopi bukan sekedar warung namun merupakan media relasi antar manusia. Warung kopi bukanlah sekedar warung, namun telah menjadi komunitas sosial yang mencerminkan nilai kegotogroyongan bangsa Indonesia. Mengapa Indonesia ? Karena walaupun beda cara penyajiannya, namun esensi budaya yang komunal penuh kebersamaan menjadi ciri utamanya. Di beberapa wilayah Sumatra mungkin anda dengar sajian khas kopi dengan roti selai sarikaya, atau sajian menu sarapan. Di situ orang duduk berkelompok dan ngobrol, berdiskusi atau sekedar bermain catur. Mungkin di beberapa kota di Kalimantan di malam hari ditemukan warung-warung kopi yang menyajikan kopi dan sajian khas pisang goreng kipasnya. Pada malam hari warung kopi seperti ini tampak penuh, terlihat dari berderetnya motor yang parkir, dan riuhnya suasana nonton bareng siaran TV dengan layar lebar. Di Jawa pun warung kopi banyak dijumpai, dari kelas warung permanen hingga warung kopi jahe di emperan toko di malam hari. Orang datang ke sana bukan sekedar demi secangkir kopi, namun menikmati suatu kehidupan, interaksi, kebersamaan, persaudaraan dan bahkan mungkin bisnis.

Hari ini kita pun menyaksikan munculnya warung kopi modern di mall-mall. Baik itu mulai bermunculannya kopitiam, gerai warung kopi franchise internasional seperti Starbucks, maupun citarasa modern dari Excellso. Atau barangkali kini anda dapat menikmati secangkir Old Town white coffee yang menemani waktu kosong anda menunggu penerbangan yang tak kunjung boarding di bandara Soekarno Hatta. Hadir di mall, atau sentra bisnis, warung kopi modern inipun hidup karena munculnya kebutuhan suatu tempat yang nyaman untuk bertemu, berinteraksi, atau hangout. Bahkan kita melihat tren baru orang bertemu rekanan bisnis, meeting, mendapatkan inspirasi untuk bahan presentasi, atau sekedar melepas penat menunggu kemacetan terurai di warung kopi modern ini.

Yah, itulah kisah warung kopi. Kalau kebutuhan anda hanyalah secangkir kopi, itu masalah mudah. Anda tinggal mengantongi 1 sachet kopi instan dan bermodal mug atau cangkir kosong berburu air panas. Namun kopi bukan sekedar kopi kalau sudah dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebutuhan interaksi sosial. Tak heran, harga secangkir kopi bervariasi dari tiga ribuan hingga harga puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, tetap saja tidak pernah sepi peminat.

Obrolan warung kopi, adalah teman dari mereka yang sekedar nyentil sana dan sini hingga mereka yang mencapai deal bisnis ratusan juta. Rupanya warung kopi pun dapat menjadi saksi wajah ke-Indonesiaan kita dari dulu hingga kini.

Salam dari warung kopi.

Minggu, 11 November 2012

Brand Extension : Baju Kotak Jokowi di Jabar


Berita politik yang cukup menarik kemarin (sabtu 10/11/2012) adalah dimulainya episode baru Pilkada, yaitu Pilkada Jawa Barat. Selain bertaburan artis, satu sisi menariknya adalah upaya branding dari salah satu kandidat, yaitu Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki yang secara mengejutkan muncul dengan seragam kotak-kotak ala Jokowi – Ahok, yang baru saja menjadi Gubernur dan Wagub DKI, sebagaimana diberitakan kompas.com di sini. Karena saya bukan warga Jawa Barat, tulisan ini bukan bermaksud mendukung salah satu calon, namun hanya ingin sedikit berpikir, apakah sukses kotak-kotak di DKI akan disusul oleh sukses kotak-kotak di Jabar ?

Apa yang ada di benak kita saat melihat atau mendengar tentang “baju kotak-kotak” ? Barangkali dalam konteks kita di Indonesia, sebelum hiruk-pikuk Pilkada Jakarta memandang baju kotak-kotak sebagai salah satu mode pakaian saja, atau baju khas koboi bila dikombinasikan dengan celana jeans. Namun Pilkada Jakarta mengubah paradigma baju kotak-kotak menjadi salah satu brand elemen dari Jokowi-Ahok, bahkan kalau kita bertanya pada warga Jakarta pada waktu itu, baju kotak-kotak pasti akan diasosiasikan ke pasangan Jokowi-Ahok. Baju kotak-kotak menjadi simbol dari Jokowi-Ahok, yang dimaknai dengan spirit baru, yaitu : kesiapan menyingsingkan lengan baju, segera bekerja untuk permasalahan DKI yang kompleks dan bermacam-macam. Tema ini menjadi relevan bila dibenturkan dengan formalitas ala Foke yang oleh warga Jakarta dipandang kurang berhasil memajukan Jakarta.

Akankah tuah baju kotak-kotak ini mampu mengatarkan Rieke-Teten untuk melawan baju putih berkacu Dede Yusuf ?

Strategi brand extension ala Jokowi – Rieke ini barangkali menjadi trend yang cukup populer di dunia marketing. Kekuatan Jokowi dengan baju kotak-kotak menggoda tim sukses pasangan Rieke-Teten untuk menggunakan ekuitas Jokowi sebagai kendaraan untuk mendongkrak awareness sekaligus elektabilitas Reike. Strategi ini barangkali cukup cerdas untuk mengemat “biaya iklan” mengingat sudah diciptakan dan dipopulerkan dulu oleh Jokowi di DKI, dan (semoga) pesan semangat perubahan (dan kemenangan) Jokowi di Jakarta yang diusung Rieke ini juga berdampak positif signifikan pada elektabilitas Rieke. Apalagi bila didukung rekam jejak Rieke sebagai politisi Senayan dan Teten Masduki di ICW, sekaligus juga secara cepat menghapus image Rieke yang dulu pernah identik dengan “Oneng Bajuri” menjadi Rieke yang cerdas dan piawai berpolitik.

Namun strategi brand extension bukannya tidak memiliki risiko. Paling tidak ada beberapa hal yang dapat menjadi masalah. Pertama, pada umumnya produk hasil brand extension jarang sekali bisa menyamai (apalagi lebih besar) dari induknya. Biar bagaimanapun kotak-kotak adalah ekuitas Jokowi, bukan Rieke. Sulit sekali membayangkan secara tiba-tiba orang bisa beralih top of mind kotak-kotak secara tiba-tiba dari Jokowi ke Rieke. Dengan demikian, dampak kotak-kotak ke Rieke kemungkinan besar tidak akan sebesar dampaknya ke Jokowi. Kedua, masalah orisinalitas. Biasanya ide yang orisinil dan berdampak besar, belum tentu berhasil bila diulang. Dampaknya pun tidak sebesar pada waktu diluncurkan dan berhasil. Ketiga, aspek kultural, dimana tema kotak-kota yang kena di hati masyarakat DKI yang metropolis dan terbuka serta beraneka ragam, belum tentu berdampak sama di Jawa Barat, khususnya diluar kota-kota besarnya, dimana masyarakatnya lebih homogen. Barangkali pada sisi ini pendekatan kultural Dede Yusuf bisa jadi lebih berhasil. Keempat, membangun koneksi Jokowi – Rieke dengan jembatan baju kotak-kotak  barangkali akan sulit terjadi secara instan, supaya pengaruhnya signifikan, karena tugas beratnya adalah memastikan bahwa semangat, kapabilitas, elektabilitas Jokowi adalah juga milik Rieke. Biar bagaimanapun kotak-kotak adalah sekedar simbol, tapi sesungguhnya roh kotak-kotak itu adalah rekam jejak, integritas dan sukses Jokowi-Ahok.

Namun demikian, tampaknya Pikada Jabar akan berlangsung dengan seru, karena bukan sekedar pertarungan politik, namun popularitas selebriti. Sepertinya berkendaraan baju kotak-kotak saja tidaklah cukup menopang elektabilitas Rieke, justru tantangan sesungguhnya adalah sejauh mana pasangan ini dapat menunjukkan ke khas-an jatidiri, komitmen dan visi terhadap Jawa Barat ke depan. Semoga apapun hasilnya nanti bukan sekedar disokong oleh popularitas semata, namun semangat memajukan Jawa Barat.

Selamat ber Pilkada.

Menanti Pahlawan di Zaman Ini


Peringatan 10 Nopember sebagai hari Pahlawan masih cukup terasa. Paling tidak kami menghadiri upacara bendera, dan mengheningkan cipta selama 1 menit untuk mengenang jasa dan pengorbanan para pahlawan. Itulah pesan moral yang dapat ditangkap. Pahlawan adalah mereka yang telah gugur dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia ini.

Secara formal Negara dapat memberikan gelar “Pahlawan” pada seseorang karena tindakan kepahlawanannya. Dalam konteks negara, maka muncul nama-nama pahlawan, seperti mereka yang kita kenal dalam lembar sejarah Republik Indonesia. Negara memiliki definisi sendiri tentang Pahlawan, paling tidak seperti yang dituliskan di www.kemsos.go.id demikian : Gelar; Penghargaan Negara yang diberikan Presiden kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan Negara.

Pahlawan Nasional; Adalah gelar yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan Negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.         

Tindak Kepahlawanan; Adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.          

Nilai Kepahlawanan; Adalah suatu sikap dan prilaku perjuangan yang mempunyai mutu dan jasa pengabdian serta pengorbanan terhadap bangsa dan negara.

Sungguh pantas pengorbanan dan darmabakti para pahlawan itu diperingati. Namun hal yang lebih penting adalah jangan sampai hari pahlawan itu berhenti pada 1 menit mengheningkan cipta saja, namun justru dalam 1 menit (itu juga kalau sempat?) kita perlu  merenung 2 hal yang relevan bagi kita saat ini : tindak kepahlawanan itu apakah benar-benar dikenang dan diteladani, dan nilai kepahlawanan itu masihkah ada.
 Berbicara mengenai mengenang pada tindak kepahlawanan sebagai suatu perbuatan nyata, telah diperlihatkan oleh para pahlawan nasional. Dari sejarah kita belajar dari para pahlawan yang merebut dan mempertahankan kemerdekaan tentang nilai-nilai pengorbanan, tekad yang kuat, keberanian, dan semangat juang pantang menyerah demi suatu cita-cita. Kerinduan kita adalah sekalipun mereka yang kita sebut sebagai Pahlawan itu telah mati, namun semangat dan nilai kepahlawanannya masih hidup di dalam hati kita. Nilai kepahlawanan hidup sebagai pedoman perilaku berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, yang sayangnya  saat ini meninggalkan tanda tanya, masihkah ada pahlawan disekitar kita ?

Mengacu pada nilai kepahlawanan, seorang pahlawan itu bisa siapa saja. Kita mengenal pahlawan tanpa tanda jasa, yang ditujukan kepada para guru, yang memang “dituntut” pengorbanannya : bertanggung jawab atas masa depan bangsa, karena merekalah yang diberi tugas mendidik generasi muda agar menjadi penerus, dan memang tanpa tanda jasa, karena masih banyak diantara mereka yang belum mendapatkan kompensasi yang sepadan dengan pengorbanan itu. Atau mungkin orang berbicara tentang pahlawan devisa, yaitu mereka yang demi kehidupan lebih baik rela bekerja di negeri orang, karena tidak beruntung di negeri sendiri. Mereka itu tidak lagi menambah angka pengangguran dan kemiskinan di negeri ini, bahkan membawa uang masuk ke dalam negeri. Minimal mereka itu menjadi pahlawan bagi keluarga. Atau mungkin kita sejenak mengingat tentang para pekerja sosial, para pemerhati atau siapapun orangnya yang dengan sengaja mengabdikan hidupnya untuk melayani orang lain. Mereka itu juga pahlawan, yang tertanam dihati orang-orang yang mereka layani.

Namun bukankah kalau kita mau jujur tindak dan nilai kepahlawanan itu seringkali tertimbun ditengah hal-hal  lain  yang lebih menyita perhatian kita. Di televisi orang-orang menyayangkan maraknya korupsi, kekerasan, tawuran, carut marut politik dan merindukan hadirnya pahlawan. Bukan hanya itu, anak-anak kecil pun kehilangan panutan, sehingga di mata mereka pahlawan itu hanyalah sejarah, dan keteladanan itu adalah siapa yang mereka kagumi di layar kaca. Siapa pahlawanmu ? Superman, Batman, Dora Emon, Pahlawan Bertopeng atau bidadari bertongkat di televisi itu ?  Para pahlawan itu sudah ada disekitar kita, dan kita sering tidak menyadarinya, karena untuk mempahlawankan seseorang kita menuntut hal-hal besar. Bahkan kitapun dapat menjadi pahlawan, paling tidak bagi keluarga kita. Berbicara tentang kepahlawanan hari ini adalah bicara tentang keteladanan, kehidupan nyata yang masih mengembangkan kejujuran, kegigihan, kerelaan berkorban, dan kecintaan pada bangsa dan negara ini. Kepahlawanan dapat dimulai dari rumah dengan menjadi teladan yang baik bagi keluarga, teladan yang  baik bagi lingkungan, sesuai lingkaran pengaruh kita. Tentu makin besar pengaruh kita, tersirat tanggung jawab keteladanan yang lebih besar.  
Jadi untuk menjadi pahlawan syaratnyatidak perlu anda harus mati, tapi kerjakanlah segala sesuatu yang baik dan berguna bagi sesama. Kalau untuk itupun anda belum bisa, cukup mulailah dengan mendukung dan tidak mengacaukannya.

Selamat hari pahlawan.

Selasa, 06 November 2012

SEPATU AJAIB PAPA



Ada yang dulu menurutku sangat berkesan dari sepatu kulit Papa. Sepatu itu sebenarnya biasa saja. Sepatu kulit warna hitam, dengan hak keras sekitar 3 cm, sehingga terdengar suaranya yang khas  waktu Papa mengenakannya. Papa sangat menyayangi sepatu itu, sering kulihat dia melapisinya dengan semir hitam pekat, dan dilapnya hingga mengkilap.  Hal yang membuat sepatu itu berkesan adalah, sepatu itu sepertinya adalah satu-satunya sepatu Papa yang aku kenal dari kecil hingga dewasa. Paling tidak umurnya sudah lebih dari 10 tahun. Aku tidak habis pikir bagaimana mungkin sepatu itu begitu awet, tidak rusak termakan usia. Padahal sepatu sekolahku pun ganti setiap 1 – 2 tahun, demikian juga sepatu kerjaku saat ini.

Apa yang ada dibenak Anda membayangkan sepatu Papaku itu ? Barangkali sepatu itu adalah sepatu kulit yang mahal ? Sayang akupun tidak mengingat apa merk-nya, apalagi untuk bertanya berapa harganya. Atau barangkali karena Papa yang merawatnya dengan baik, sehingga menjadi sangat awet ? Relatif juga kan?

Entah mengapa tiba-tiba aku teringat sepatu itu. Paling tidak karena sekali-sekali aku pernah meminjamnya untuk acara khusus seperti waktu acara perpisahan di sekolah SMP, kebetulan kami boleh berpakaian bebas dan bercelana panjang. Tentu tampak lebih gagah dengan sepatu kulit itu dibandingkan dengan sepatu kets yang sehari-hari untuk sekolah. Setelah aku ingat-ingat, ternyata ada satu hal yang membuat segalanya menjadi masuk akal, kenapa sepatu itu begitu awet, hingga berumur lebih dari 10 tahun. Yah tentu saja, karena Papa sangat jarang memakainya. Papaku bukan orang kantoran, dia seorang pedagang yang kerjanya sehari-hari diam di toko melayani pelanggan. Dalam kesehariannya dia lebih suka memakai sandal saja. Sepatu itu selalu tersemir mengkilap dan tersimpan rapi di lemari dan hanya terpakai pada waktu kami harus menghadiri undangan pesta pernikahan. Tentu saja sepatu itu awet, karena dalam setahun pun kita dapat menghitung berapa kali dia dipakai.

Cerita tentang sepatu Papa itu menyadarkanku tentang hal ini :

Bahwa sekalipun kita memiliki informasi namun tidak menggunakannya dengan tepat, dapat mengantarkan kita pada keputusan yang salah. Seringkali orang salah memutuskan bukan karena tidak memiliki informasi, namun karena perspektif yang salah terhadap informasi yang kita miliki. Bukankah demikian ? Aku terlalu mengagumi “sepatu ajaib Papa” karena membandingkaknya dengan sepatu sekolahku atau sepatu kerjaku, dengan melupakan fakta bahwa seharusnya dari dulu aku tahu bedanya : sepatuku dipakai setiap hari, sepatu kulit Papa sangat jarang dipakai. Jadi, keajaiban itu bukanlah benar-benar keajaiban, hanya ajaib dalam persespiku, karena aku tidak menyadari fakta yang seharusnya dari dulu sudah ada di depanku.

Karena berhubungan dengan persepsi, seringkali membuat kita mengabaikan objektif. Persepsi membentuk mindset, yang cenderung melakukan seleksi terhadap informasi, yaitu hanya menggunakan  informasi yang disukai dan mengabaikan informasi yang tidak disukai. Mindset itu secara tak sadar membentuk asumsi-asumsi yang mengeliminasi informasi-informasi yang tersedia. Memang dengan begitu kita mempercepat pengambilan keputusan, namun kadangkala mengurangi objectivitas. Karena terbawa mindset masa kecil bahwa sepatu Papa itu adalah sepatu kulit yang bagus dan awet, tanpa sadar saya menyeleksi informasi tentang habit/kebiasaan  pemakaiannya, padahal justru informasi itulah yang paling dapat menjelaskan fenomena keajaiban sepatu Papa.

Pada akhirnya hidup ini penuh dengan perubahan, dan karenanya kita pun harus berubah. Persoalan selalu muncul (entah disadari atau tidak) saat mindset kita sudah tidak lagi relevan dengan situasi yang dihadapi karena adanya perubahan. Di era yang semakin dinamis seperti sekarang ini, mindset kita pun harus sama dinamisnya mengikuti perubahan, kalau tidak pemikiran kita menjadi out of date.

Rupanya, sepasang sepatu tua pun dapat membuatku banyak belajar hari ini.