Jumat, 22 Juni 2012

SURAT BU MENKES RI


Sungguh mengagetkan, di awal masa jabatan Menteri Kesehatan Nasfiah Mboi sudah menuai kontroversi. Awalnya Ibu Menteri mengkapanyekan penggunaan kondom pada kelompok orang yang berpotensi melakukan seks beresiko. Yang disebut seks beresiko itu, menurut klarifikasi yang disampaikan ke media, menyebutkan bahwa Seks berisiko adalah setiap hubungan seks yang berisiko berakibat penularan penyakit kelamin, termasuk HIV AIDS, gonore, dan sipilis, ataupun risiko kehamilan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan.

Yang kemudian menjadi kontroversi, entah mengapa kampanye ini dipersepsikan seolah Pemerintah melegalkan seks bebas, karena penggalakkan penggunaan kondom ini. Tentu salah satu sebabnya adalah kelompok beresiko ini ternyata juga termasuk kalangan remaja, yang notabene masih usia sekolah. Memprihatinkan memang. Tentu susah untuk mengatakan hitam putihnya persoalan ini, kalau dipandang bahwa meningkatnya kecenderungan seks bebas dan beresiko ini adalah tanggung jawab kementerian kesehatan semata, sehingga penyelesaiannya hanyalah pada peningkatan sosialisasi pada kelompok yang benar-benar beresiko. Kalau kita lihat realitas sehari-hari,  kondom tampaknya bukanlah barang yang sulit di dapat. Kalau anda ke apotek dan membeli kondom, tidak akan pernah ada yang menanyakan status pernikahan anda. Di supermarket, anda tinggal masukkan keranjang, bayar di kasir, selesailah transaksi. Iklan kondom juga boleh tayang di TV, sekalipun memang di jam malam.  Jadi, tanpa dikampanyekan pun sebenarnya orang sudah mudah mengakses kondom.

Lepas dari semuanya itu, barangkali boleh dikatakan langkah Menkes yang barangkali sudah umum di negara lain, menjadi sesuatu yang istimewa di negara kita tercinta ini. Seharusnya Menkes tidak perlu menanggung sendiri beban penyakit masyarakat ini, karena memang bukan salah Bu Menkes bahwa semakin banyak orang melakukan seks beresiko. Bu Menteri rupanya lupa kalau yang jadi menteri itu bukan beliau seorang. Beliau lupa bahwa Kabinet Indonesia bersatu adalah team kerja, jadi sewajarnya Ibu minta bantuan kawan-kawan menteri lainnya. Oleh sebab itu, langkah yang seharusnya diambil bu Menteri Kesehatan saat  menyaksikan anggota masyarakat bahkan remaja-remaja yang rentan penyakit akibat seks beresiko ini, janganlah keburu mengambil kebijakan sebelum mengkoordinasikan pertanggungjawaban persoalan ini dengan kolega-koleganya di KIB, karena memang tidak mungkin diselesaikan hanya dengan kondom.

Yang perlu Ibu Menteri lakukan adalah menulis beberapa pucuk surat :

· Kepada Yth. Menteri Agama : mohon memprioritaskan program-program peningkatan keimanan umat beragama, dan membawa orang-orang berdosa ke jalan yang benar.

· Kepada  Yth. Menteri Pendidikan : mohon memprioritaskan pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah, bukan sekedar mencetak nilai UN saja namun menghasilkan lulusan yang santun, berakhlak dan berbudi.

· Kepada Yth. Menteri Komunikasi dan Informatika : mohon memprioritaskan kampanye penggunaan internet sehat, meminimalkan akses masyarakat terhadap konten porno, mengefektifkan LSF dan KPI untuk lebih tegas melakukan sensor pada media yang menayangkan acara-acara yang tidak mendidik.

· Kepada Yth. Menteri Sosial : mohon memprioritaskan  program-program rehabilitasi pada kelompok beresiko dari dunia prostitusi dan pengentasan kemiskinan agar tidak ada lagi orang yang melacurkan diri atas nama desakan ekonomi.

· Kepada Yth. Menteri Tenaga Kerja : mohon memprioritaskan pembukaan lapangan-lapangan kerja baru, untuk mendukung program pengentasan kemiskinan.

· Kepada Yth. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal , Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Kehutanan, Menteri Koperasi dan UKM : mohon mempercepat pembangunan di daerah tertinggal dan peningkatan ekonomi masyarakat di daerah meningkat, sehingga tidak perlu adanya urbanisasi besar-besaran, yang membuat persoalan perkotaan semakin kompleks saja. Sesaknya masalah perkotaan tanpa jaminan sosial yang jelas sangat mudah memicu kriminalitas dan prostitusi.

· Kepada Yth.  Menteri Pemberdayaan Perempuan : mohon memprioritaskan pemberdayaan perempuan dalam mengambil peran dalam keluarga dan masyarakat.
· Kepada Yth. Menko Kesra : Mohon mengkoordinasikan segala bentuk program untuk peningkatan kesejahteraan, keimanan dan budi pekerti masyarakat.

Kalau mereka semua itu berhasil, tampaknya persoalan yang menjadikan Menteri Kesehatan galau, akan sudah sangat-sangat berkurang. Tapi kalau mereka semua gagal, tampaknya ide kondomisasi itu perlu dibicarakan sebagai cara yang cukup pantas, karena memang sudah tidak ada cara lain lagi.

Selamat bekerja Bu Menteri.

Selasa, 19 Juni 2012

Mlipir Tengen Dalan


Istilah "mlipir" dalan bahasa Jawa kira-kira artinya adalah berjalan pelan-pelan di pinggir. "Mlipir tengen" artinya jalan pelan-pelan lewat pinggir sebelah kanan jalan. Apa pentingnya membicarakan "mlipir tengen" ini?

Semua orang pasti tahu kalau lalu lintas Indonesia itu semua orang berjalan kaki maupun berkendaraan harus berada di sebelah kiri, demikian diajarkan oleh guru maupun orang tua kita. Tapi seringkali di jalan kita melihat ada saja orang yang naik sepeda atau sepeda motor yang mlipir tengen dalan, jalan melawan arus, yang dilakukan dengan sengaja. Memang sih pelan-pelan, tapi tetap saja melawan arus, dan tentu saja tidak benar, karena harusnya dia berjalan di sebelah kiri, bukan kanan.

Kalau sudah tahu salah mengapa dilakukan?

Biasanya orang menyampaikan banyak alasan, diantaranya :

"Bagaimana lagi, mau nyebrang lalu lintasnya ramai, jadi lebih baik mlipir dulu, nanti ada kesempatan nyebrang bisa langsung menyeberang."

"Ah kan saya cuma mau belok kanan di depan situ, daripada nyebrang di sini nanti sampai di situ balik nyebrang lagi mendingan mlipir saja"

"Ngga apa-apa lah, kan cuma sedikit, dari sini ke situ saja. Daripada muter jauh"

Barangkali banyak alasan lain yang menjadi pembenaran perilaku mlipir tengen ini.

Karena sudah saking seringnya melihat orang mlipir di kanan jalan, kadang kita pun menganggap ya sudahlah, biasa saja perilaku itu. Padahal kalau dipikir, perilaku mlipir di kanan jalan ini bisa membahayakan diri maupun pemakai jalan yang lain. Tapi kita lebih suka diam, dan memilih toleran terhadap "pelanggaran kecil" ini, bahkan karena terbiasa mendiamkan, lama-lama ikit-ikutan dan jadi kebiasaan.

Toleran terhadap pelanggaran kecil seringkali membuat kita ikut-ikutan melanggar, karena dianggap kecil lama-lama jadi tidak apa-apa. Orang jadi lupa bahayanya sampai nanti ada kejadian kecelakaan, baru semua orang ribut.

Contoh lain, kita menanamkan kepada anak tidak boleh mencontek, karena itu tidak benar. Tapi ada juga yang akhirnya mengatakan, ya mencontek itu ngga baik, tapi  apa boleh buat kalau sampai terpaksa banget tidak bisa mengerjakan dan tidak sering-sering ya tidak apa-apa lah. Tapi hanya saat terpaksa ya. Atau contoh lagi, kebiasaan mengutip uang yang bukan menjadi haknya, atau menerima "ucapan terima kasih" yang bukan haknya  pada suatu waktu karena banyak orang melakukan juga, lama-lama tahu sama tahu, akhirnya menjadi budaya. Ah kalau yang begini sih di mana-mana juga ada, ya sudah menjadi rahasia umum lah. Akhirnya apa yang tidak benar menjadi tidak apa-apa. Pada waktu korupsi kecil dan kolusi kecil ini dibiarkan, tidak terasa semakin menggurita, dan kita pun terkaget-kaget saat sudah meraksasa. Barulah semua orang ribut, padahal sudah terjadi bertahun-tahun.

Belakangan sudah semakin sedikit orang yang berani menyuarakan kebenaran, berani mengkoreksi kesalahan. Banyak orang orang yang bahkan mulai toleran dengan pelanggaran, asal nggak kebangetan. Saat kita semakin toleran, maka terbukalah pintu bagi pelanggaran-pelanggaran kecil itu untuk menjadi besar dan pada akhirnya tidak terkendali. Kita perlu belajar menjadi bangsa yang tegas dan berdisiplin. Pelanggaran adalah pelanggaran, dan setiap kesalahan mengandung hukuman. Ini bukan  soal besar kecilnya, bagaimanapun yang salah adalah salah, yang benar adalah benar.

Kamis, 14 Juni 2012

MENDENGAR VS MENDENGARKAN




Kata “mendengar” dan “mendengarkan” sekilas tampak sama, namun sebenarnya memiliki perbedaan arti yang cukup besar. Mendengar, memiliki makna pasif, dimana orang seperti “tidak sengaja” mendengar; misalnya mendengar suara motor lewat, atau mendengar suara sesuatu yang jatuh. Sementara mendengarkan, memiliki makna aktif, di mana seseorang berusaha untuk mendengar, dapat mengidentifikasi, mengerti, dan memahami apa yang didengarkan itu. Barangkali penjelasan dalam bahasa Inggris dapat lebih membantu. Mendengar, biasa diterjemahkan sebagai to hear (accidently get to know, become aware of) sementara mendengarkan biasa diterjemahkan sebagai to listen(pay close attention to, hear with intention).

Dalam konteks pemberitaan Firman Tuhan, bagaimana kita menerima dan menyikapinya ? Saat Firman Tuhan diberitakan, baik itu di mimbar gereja, persekutuan doa maupun media lainnya seperti televisi atau radio, apakah kita mendengar Firman Tuhan itu, atau mendengarkannya ? Kalau Firman Tuhan itu hanya sampai taraf di dengar, masuk ke dalam telinga saja, maka Firman itu akan masuk ke telinga kiri dan keluar lagi melalui telinga kanan. Sikap yang biasa kita lihat pada seseorang yang hanya mendengar biasanya mengatakan ini : “ya rasanya aku pernah mendengar ada orang yang mengatakan itu” atau saat ditanya tidak dapat lagi mengatakan apa yang telah didengarnya. Namun sebaliknya saat Firman Tuhan yang ditaburkan itu didengarkan, yaitu masuk ke telinga kita, diterima oleh otak kita dan dimengerti dengan sungguh-sungguh lalu ditanamkan di dalam hati, maka benih Firman itu tidak akan masuk telinga kiri kemudian lewat ke telinga kanan, namun bagaikan benih yang ditabur di dalam hati, siap untuk disiram, ditumbuhkan dan berbuah lebat.

Mendengarkan Firman Tuhan, sangatlah penting bagi kita. Kita melihat hari-hari ini dunia yang semakin berubah, banyak orang meninggalkan Tuhan karena tidak mau mendengarkan Firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Mereka hanya mendengar, karena pemberitaan Firman Tuhan itu dianggap sekedar seremoni mingguan, atau ke gereja itu dianggap sekedar kewajiban agama, sehingga nilai kekristenan itu dimaknai sempit sebagai suatu ritual keagamaan, namun Firman Tuhan tidak tertanam dengan baik di hati anak-anak-Nya. Sungguh menyedihkan saat pemberitaan Firman tidak direspon oleh hati yang lapar akan kebenaran Illahi.

Pada masa kita memperingati Pekan Anak ini, marilah kita renungkan kembali pentingnya kita mendengarkan Firman, dan memberitakannya kembali kepada anak-anak kita. Ingatlah akan Firman Allah ini : “supaya dikenal oleh angkatan yang kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka,  supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintah-Nya; dan jangan seperti nenek moyang mereka, angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya kepada Allah. (Mazmur 78:6-8)

Berbahagialah orang yang mendengarkan Firman Allah dan memeliharanya 

Rabu, 13 Juni 2012

SERVICE DELAY


Jam menunjukkan pukul 11:25. Hari sudah menjelang siang. Sudah lebih dari 2 jam lamanya terduduk di lorong ruang tunggu salah satu gate keberangkatan di terminal 1 bandara internasional Soekarno Hatta. Tergeletak disisiku sekotak snack yang tadi dibagikan gratis dari maskapai yang seharusnya sudah menerbangkan pesawatnya satu jam yang lalu. Ya, sekotak roti dan segelas air mineral yang disebut "service delay".

Selama 2 jam duduk di sini, baru sadar betapa ramainya terminal ini. Sejak tiba di bandara, masuk ke dalam terminal sudah harus masuk dalam sebuah antrian. Mau mengambil boarding pass, harus berdiri dalam antrian. Di ruang tunggu ini pun, tempat duduk yang tersedia kurang mencukupi untuk menampung calon penumpang yang menunggu, sehingga sebagain orang harus berdiri, atau duduk di lantai kalau mau. Di masing-masing gate pun tampak suasana ruang tunggu yang penuh, karena antrian calon penumpang yang menunggu boarding.

Melihat situasi ini, tampak bahwa kecenderungan untuk menggunakan jasa penerbangan sebagai sarana transportasi semakin meningkat. Orang sudah semakin terbiasa dan menganggap naik pesawat lebih praktis. Barangkali ini didukung oleh semakin banyaknya penerbangan dari maskapai yang ada, dan banyaknya tiket promo dengan harga murah. Barangkali juga didukung oleh meningkatnya kesejahteraan kelas menengah Indonesia. Now everybody can fly, demikian salah satu motto maskapai terkenal di Asia.
Tentunya dengan semakin meningkatnya penggunaan jasa bandara ini, seharusnya memacu otoritas bandara untuk dapat meningkatkan service nya dengan menyediakan ruang tunggu yang nyaman dan mencukupi. Maskapai pun perlu memikirkan sistem yang lebih efisien agar penumpang tidak lama mengantri, dan menunggu dengan nyaman. Yang tak kalah penting adalah ketepatan waktu keberangkatan, sehingga tidak perlu lagi banyak menyediakan snack "service delay". Bukankah salah satu alasan orang menggunakan pesawat adalah hemat waktu?

Akhirnya, pukul 12:00, terdengar panggilan untuk boarding, yang seharusnya pukul 10.10. Satu demi satu calon penumpang naik ke pesawat. Segera kuhabiskan sisa-sisa "service delay" ku dan  masuk dalam antrian boarding

Bye Jakarta


Solo, 14 Juni 2012, tadi siang

Kamis, 07 Juni 2012

KELUARGA SEBAGAI PUSAT PEMBELAJARAN FIRMAN TUHAN



“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.(Ulangan 6:6-7).

Ada pepatah yang mengatakan, like father, like son. Atau dalam bahasa Indonesia seringkali dibahasakan sebagai buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pepatah ini mengingatkan kita bahwa keluarga, menjadi pusat didikan, pusat tumbuhkembang anak. Kalau mau tahu bagaimana orang tuanya, cukuplah kita melihat anaknya. Ini bukan sekedar wajah  anak yang selalu bisa menjadi prediksi wajah orang tuanya. Bagaimana anak bersikap, seringkali mencerminkan bagaimana anak diajar dan diperlakukan dirumah. Perhatikan kutipan puisi Dorothy Law Nolte, PhD yang berjudul “Children Learn What They Live” sebagai berikut  :

Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, maka ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, maka ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajarmenemukan cinta

Ironisnya, saat anak-anak kita membuat kita terkaget-kaget dengan kenakalannya, atau perilaku lain yang kurang berkenan, justru banyak orang tua mempertanyakan apa yang terjadi dengan sekolah ? Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan ? Mengapa guru sekolah Minggu tidak membangun iman anakku dengan baik ?  Orang tua dengan berbagai kesibukannya barangkali merasa sudah cukup membesarkan anak dengan uang. Namun, jangan salah bahwa bisa membeli sekolah terbaik bukan berarti dapat membeli karakter terbaik.

Membangun karakter anak dimulai dari rumah. Children learn what they live. Anak belajar dari apa yang dialaminya sehari-hari. Orang tua, keluarga adalah pembentuk karakter anak-anak. Suasana, didikan dan apa yang mereka terima dan lihat di rumah, menjadi nilai kebenaran dimata anak-anak yang polos. Dengan demikian, apa yang dibentuk di dalam rumah, seharusnya menjadi tempat untuk menanamkan kebenaran Firman, yang dapat menjadi kekuatan bagi anak-anak kita untuk melawan dunia.

Apa yang kita baca dari  kitab Ulangan 6, menjadi pelajaran berharga, bagaimana pembentukan karakter anak yang cinta Tuhan dibentuk dari keluarga. Apa yang Tuhan telah ajarkan, perintahkan dan kehendaki, hendaklah itu pula yang selalu diajarkan kepada anak. Dikatakan bahwa “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Hal ini berarti setiap waktu dalam kehidupan kita, Firman Tuhan itu haruslah diberitakan, diajarkan, diamalkan dalam segala perkara dalam kehidupan keluarga. Betapa dahsyatnya bila setiap keluarga sejak dini selalu menanamkan benih Firman Tuhan di dalam hati setiap anaknya, supaya anak-anak kita menjadi generasi yang sejak dini mengenal Tuhan, dan rindu untuk memuliakan nama Tuhan.

Marilah kita sebagai orang tua mulai belajar hidup menjadi kitab terbuka untuk dibaca anak-anak kita  !

Jumat, 01 Juni 2012

Marketer Itu Bernama Lady Gaga


Nama Lady Gaga menjadi hits di media-media Indonesia belakangan ini, berkaitan dengan kontroversi yang terjadi akibat rencana konser Lady Gaga di Indonesia. Penampilan, lirik lagu yang kontroversial dan benturan antara nilai yang diusung Lady Gaga dengan nilai yang kita anut menjadikan perdebatan, pro kontra semakin ramai. Menyertai pro dan kontra itu, video klip, hidup dan jenjang karier Lady Gaga menjadi tayangan wajib station TV di Indonesia. Luar biasa. Sesuatu yang sangat mahal kalau itu semua harus dibeli dengan uang, tapi Lady Gaga dapat memperolehnya dengan gratis. Dampaknya pun luar biasa : si penyanyi pop ini semakin dikenal luas di Indonesia. Apakah nanti akan mendongkrak penjualan CD nya ?

Kalau dipikir-pikir, Lady Gaga ini adalah kasua pemasaran yang unik. Seorang penyanyi pop yang masih muda, yang masuk ke industri musik dengan penampilannya yang aneh, dan laris manis, menghasilkan grammy award baginya. Padahal kalau dinilai sebagai penyanyi, suara Lady Gaga juga ngga istimewa amat, jauh kalau dibandingkan dengan Celine Dion misalnya. Wajahnya juga biasa, tidak cantik. Jadi apa dong yang bikin dia laku? Sepertinya karena dia itu unik, beda, aneh, kontroversial. Tapi justru point of difference inilah yang menjadikan Lady Gaga eksis, beda. Gaga juga ngerti banget dengan segmentasi, sehingga dia mengabaikan orang tua dan kaum religius agamis. Gaga menawarkan dirinya sebagai icon baru “mother monster” yang menyasar anak2 remaja yang labil emosi, mencari identitas diri, dengan mewadahi mereka dalam komunitas Little Monster. Gaga tidak peduli dengan kecaman yang dialamatkan padanya, dan justru mendiamkan kontroversi yg terjadi karena itu justru menjadi viral marketing yang sukses untuk dirinya.

Gaga memang gagal konser di Indonesia, tapi namanya justru semakin berkibar. Ditolak bukannya balik mengecam tapi dengan kalem membatalkan konsernya dengan alasan demi keamanan para Little Monster nya di Indonesia. Bukankah ini PR yang cerdik? Akhirnya monster-monster kecil berduit pada terbang ke Singapore untuk nonton Gaga di sana.
Lady Gaga adalah produk budaya pop yang sungguh mengerti marketing, yaitu bagaimana menempatkan dirinya yang biasa menjadi istimewa, genuine. Segmentasi - Targeting - Positioning yang tepat sasaran, content yang genuine, dan konteksual, walaupun disusun dengan cara yang radikal, liberal dan bagi sebagian orang membawa genre budaya pop yang kita membuat risih dan menyebalkan.

Pertanyaannya apakah pendekatan yang kontroversial ini akan bertahan lama? Tampaknya memang sangat beresiko, karena memainkan citra yang spesifik sekaligus negatif dan kontroversial. Namun itu dalam konteks kita di Indonesia. Di Amerika sana kelihatannya tidak, karena kultur mereka yang lwbih longgar menerima perbedaan, bahkan untuk hal yang aneh dan dirasakan menciderai iman disebagian kalangan, baik itu kaum muslim maupun kristiani.
Pada akhirnya itulah dampak globalisasi, dimana batas semakin tipis, budaya lokal berhadapan dengan budaya global yang berkiblat ke barat. Sebagai konsumen, kita pun seharusnya cerdas dalam memilih produk. Marketing menawarkan impian, tapi kita membayar dengan uang yang nyata, menikmati dengan indera yang nyata, merasakan dampaknya dengan nyata pula. Akhirnya itu semua berguna atau sia-sia berpulang pada kita masing-masing.