Jumat, 25 Mei 2012

PEREMPUAN MANA YANG TIDAK MAU CANTIK ?



Pertanyaan konyol bukan ? Menyoal perempuan tak jauh dari kecantikan, dan memang perempuan sangat peduli dengan kecantikan. Tidak heran, kecantikan menjadi ladang bisnis yang luar biasa cerah. Tidak percaya ? Ada saja produk yang dipercaya bermanfaat untuk menjamin dan menunjang kecantikan perempuan. Ujung rambut sampai ujung kuku perempuan, adalah peluang pasar yang sangat menggiurkan. Untuk rambut pun, tersedia berbagai macam jenis produk : shampoo, conditioner, hair tonic, vitamin, cat rambut, ikat rambut, bandana, sanggul, dan sebagainya. Belum lagi membicarakan kosmetika wajah mulai dari bedak, eye shadow, lipstik, vitamin E untuk memperhalus kulit, pemutih, perawatan di salon, cat kuku, manicure, pedicure, dan seterusnya. Industri fashion juga berkembang karena perempuan. Berbagai jenis pakaian jadi untuk segala suasana, belum lagi acessoriesnya : gelang, cincin, kalung, anting, sepatu, tas, parfum dan lainnya.

Inilah nilai kecantikan dalam definisi bisnis, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang dikeluarkan perempuan untuk membeli kenyamanan dan rasa percaya diri. Industri secara pintar merumuskan arti kecantikan agar produk yang ditawarkan dapat menjadi kebutuhan. Misalnya : perempuan cantik itu biasanya digambarkan langsing dan putih. Akhirnya ada saja yang  berusaha diet, makan berbagai macam produk vitamin dan suplemen  demi melangsingkan diri. Karena cantik itu putih, produk dengan janji dapat memutihkan kulit menjadi laku. Atau mungkin contoh lainnya, cantik itu adalah dengan model busana dan acessories tertentu, sehingga karena merasa masih juga kurang cantik walaupun sudah berdandan, terpaksalah tas Hermes atau LV digunakan untuk kamuflase, atau barangkali sebagai nilai tambah : sudah cantik, berkelas lagi.  Itulah cara industri mendefinisikan  “cantik”.

Dalam pemahaman saya, cantik adalah aura dari setiap perempuan. Yang menjadi sulit untuk menemukan kecantikan seorang perempuan adalah mungkin karena mindset kita sudah terlanjur termakan oleh definisi industri kecantikan. Untuk menemukan aura kecantikan sejati seorang perempuan barangkali kita perlu merubah mindset kita, dengan melihat setiap perempuan sebagai seorang pribadi apa adanya. Sempat muncul dalil gurauan begini : “semakin tinggi biaya kosmetika yang dikeluarkan seorang perempuan untuk menunjang kecantikannya semakin rendah tingkat  percayaan diri terhadap aura kecantikannya. Lagipula kalau dipikir-pikir bukankah paradigma kecantikan itu sebenarnya adalah untuk dikagumi, bukan untuk dicintai. Artis yang populer karena kecantikannya, pada akhirnya akan pudar di hari tuanya. Tapi artis yang populer karena karakternya, mungkin tidak akan hilang kepopulerannya walaupun sudah pudar kecantikannya. Dengan demikian, paradigma kecantikan itu bila dipandang se simple penampilan, agaknya akan sia-sia, karena pada akhirnya orang tidak bisa menolak menjadi tua.

Aura kecantikan seorang perempuan terletak pada karakternya. Dengan cara pandang yang demikian, kita dapat menemukan kecantikan dalam diri setiap perempuan, entah dia itu penampilannya mendekati atau menjauhi penampilan para perempuan di dalam iklan. Karakter seseorang lebih menunjukkan jati diri dan keperibadian yang terpancar dari kehidupan. Pada akhirnya karakter itu pula yang membuat seorang perempuan memiliki kelayakan tidak hanya untuk dikagumi, namun juga dicintai. 

--to my dearest angels at home--

Kamis, 24 Mei 2012

Sudah Tradisi ....

Salah satu kisah kebijaksanaan Anthony de Mello yang menjadi favorit saya adalah yang ini : 

Setiap kali guru siap untuk melakukan ibadah malam, kucing asrama mengeong-ngeong sehingga mengganggu orang yang sedang berdoa. Maka guru menyuruh supaya kucing itu di ikat selama ibadah malam berlangsung. Lama sesudah guru meninggal, kucing itu masih tetap diikat selama ibadah malam. Dan setelah kucing itu mati, dibawalah kucing baru ke asrama, untuk dapat diikat sebagaimana biasa terjadi selama ibadah malam. Berabad-abad kemudian, kitab-kitab tafsir penuh dengan tulisan ilmiah murid-murid sang guru, mengenai peranan penting seekor kucing dalam ibadah yang di atur sebagaimana mestinya (Anthony de Mello SJ ; Burung Berkicau). 

Ada banyak tradisi di sekitar kita, entah itu yang berlaku umum, maupun tradisi khas kita sendiri. Yang menarik adalah banyak dari kita yang melestarikan suatu tradisi sekedar demi masa lalu, tanpa pernah memahami mengapa kita melakukannya. “Ya dari dulu sudah begitu…” Tak heran, kadang pada saat tertentu kita-kita yang telah menjadi orang tua, seringkali merasa kagok untuk menjawab pertanyaan anak-anak kita, “why we have to do this all the time ?” dan kita sendiri bertanya.. “Iya-ya, kenapa ?” Jaman sudah berubah. Saat kita kanak-kanak mungkin cukup puas dengan jawaban, “sudahlah anak kecil nggak usah banyak tanya, yang penting dijalani saja, nanti kamu akan tahu kalo ini baik.” Jaman sekarang tampaknya sudah lain. Waktu kita muda, kita telah berkenalan dengan demokrasi, dan buahnya anak-anak kita pun menjadi anak yang kritis. Pertanyaan yang harus dijawab bukan sekedar WHAT tapi juga WHY. Kembali pada persoalan tradisi, yang menjadi pertanyaan saya, mengapa ya, kita bisa melakukan sesuatu dengan alasan karena “biasanya juga begitu”. Aneh bukan ? 

Apakah melestarikan suatu tradisi itu sesuatu yang buruk ? Saya yakin tidak. Saat sesuatu dilakukan terus menerus tentu karena ada suatu kebaikan yang diperoleh dari apa yang dilestarikan tersebut. Yang menjadi masalah adalah, seringkali sesuatu yang mendatangkan kebaikan itu, dilakukan berulang-ulang hingga sampai pada suatu titik di mana ia telah kehilangan konteksnya. Dasar dari kelestarian suatu tradisi seringkali pada kepatuhan, bukan kebutuhan. Saat suatu tradisi telah kehilangan konteksnya, maka pelaku tradisi itu jadi kehilangan orientasi, dan tiba-tiba terbeban oleh sesuatu yang harus dilakukan tanpa tahu dengan persis “mengapa” saya harus melakukan ini ? Saat suatu tradisi tidak lagi konteksual, maka tradisi itu akan menjadi sesuatu yang kuno, bagian dari comfort zone kita, kemapanan kita. Saat itulah tradisi seringkali dipertentangkan dengan kemajuan, kekinian, perkembangan yang intinya adalah “perubahan”. 

Dimensi lain dari suatu tradisi adalah peraturan. Suatu tradisi seringkali dibentuk dari suatu pengalaman. Saat suatu pengalaman membawa suatu “pencerahan”, saat itulah dia ingin dilestarikan, dan menjadi suatu tradisi. Sebagai jaminan agar “kebaikan” yang diperoleh dapat langgeng, diciptakanlah peraturan. Namun bertahun-tahun kemudian terjadilah paradox ini, "peraturannya semakin banyak, tapi kebaikannya semakin tidak terasa." Kenapa ? Karena orisinalitasnya sudah hilang. Saat kita berfokus pada peraturannya, kita tidak bisa lebih jauh mengarungi “pengalaman batin”nya. Sebagai contoh sederhana, dalam bekerja, mungkin ada waktunya kita mengalami suatu pencerahan. Saat kita menemukan suatu strategy yang tepat dan efektif, kita semakin jatuh hati pada strategy itu. Saat itulah jebakan tradisinya mulai bekerja. Kita mulai berfokus pada strategy yang berhasil itu, dan kehilangan orientasi pada sasarannya. Akibatnya, dari waktu ke waktu sekalipun banyak perubahan terjadi, strategy-nya masih sama saja. “Ini kan kisah sukses kita, jadi kita tidak akan sukses tanpa ini.” Saat itulah orientasi kita mulai berubah, bukan lagi pada sasarannya. Saat itulah kita mulai hidup di masa lalu, dengan tetap berpura-pura sedang meraih masa depan. Pada level relegiousitas manusia, seringkali inilah yang disebut “mempertuhankan agama”, menyembah agama, bukan lagi menyembah Tuhan yang kebaikannya diformulasikan dalam lembaga “agama”. Pada titik ini seringkali yang muncul dari kita adalah arogansi, yang ditopang oleh masa lalu. “Pokoknya begini”, karena “terbukti”.. 

Kita hidup di masa kini dan berjalan menuju masa depan, namun apa yang terjadi di masa lalu-lah yang membentuknya. Saatnya kita mereview setiap “tradisi” atau --dalam bentuk yang lebih sederhana-- “rutinitas” kita. Ada banyak kebaikan yang pernah kita rasakan, tapi sesuatu yang berlalu adalah bagian dari sejarah, sedangkan kekinian dan masa depan akan memiliki persolannya sendiri. Segala macam tradisi kehidupan kita, mestinya perlu selalu direvitalisasi, agar tidak kehilangan konteks dan kenikmatannya. Itu artinya kadang kita perlu merelakan sebagian dari tradisi yang mendatangkan kebaikan di masa lalu, harus berubah demi masa depan yang lebih baik. 

Dalam hidup ini tidak ada yang pasti, selain “perubahan”. Nikmati saja... 

Iman Kepada Tuhan atau Dora Emon ?

Siapa yang tidak kenal Dora Emon ? Rasanya lebih susah menemukan orang yang tidak kenal Dora Emon, daripada yang kenal. 

Dora Emon adalah robot kucing yang dikirim kepada Nobita dari abad 22 oleh Sewashi, cicitnya Nobita. Konon ini gara-gara kebodohan dan kemalasan Nobita, keturunannya jadi orang susah. Nah, makanya Dora Emon dikirim ke Nobita dengan tugas untuk menolong Nobita, agar nanti keturunannya di masa depan mengalami perbaikan nasib. Kedatangan Dora Emon mengubah hidup Nobita. Dora Emon dengan segala macam peralatan dari kantong ajaibnya bisa menjawab semua persoalan Nobita, walaupun kadang-kadang Nobita usil menyalahgunakan alat-alat Dora Emon hingga membuat onar.( he…he… selalu apes di akhir). 

Dora Emon menjadi idola anak-anak (dan orang dewasa juga termasuk sy… ) karena mempunyai berbagai macam alat yang dapat menolong Nobita dan teman-temannya. Dengan alat Dora Emon, Nobita biasanya terhindar dari amarah ibu atau pak guru walaupun lupa bikin PR, bisa mengalahkan Giant & Suneo yang pasti tidak mungkin terjadi tanpa bantuan Dora Emon.

Kadang saat memtertawakan tingkah Nobita yang selalu merengek pada Dora Emon, jadi merasa kalo kita juga ternyata suka mengambil peran sebagai Nobita-Nobita di dunia nyata, yang dengan sadar maupun tidak telah men-Dora Emon-kan Tuhan. Kita memandang Tuhan tidak lebih dari Dora Emon, yang kalo bisa memenuhi semua keinginan kita.. Doa-doa yang kita naikkan tak lebih dari permintaan yang semuanya menurut kita dan demi kita.. kebaikan kita, kesejahteraan kita, berkat kita, kenyamanan kita, mobil kita, dan kita-kita yang lain. 

Sungguh luarbiasa iman orang yang memiliki paradigma ini :

Dan inilah keberanian percaya kita kepada-Nya, yaitu bahwa Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya. Dan jikalau kita tahu, bahwa Ia mengabulkan apa saja yang kita minta, maka kita juga tahu, bahwa kita telah memperoleh segala sesuatu yang telah kita minta kepada-Nya. 

Dengan mengatakan ini, dia mengerti bahwa mengambil jalan Tuhan berarti mengamini segala sesuatu yang Tuhan kehendaki… Ini aku Tuhan, pakailah sesuai dengan rencana-Mu…

Mampir Ngombe

Hidup di dunia ini hanya sekedar “mampir ngombe” demikian ungkapan dalam bahasa Jawa yang sering kita dengar. Kalimat yang menggambarkan bahwa hidup di dunia ini demikian kecil dan sementaranya, dibandingkan dengan kekekalan. Dalam suatu perjalanan panjang, mampir ngombe itu hanyalah secuil fragmen dari perjalanan itu sendiri. Kalaulah benar demikian, perjalanan hidup di dalam dunia ini menjadi demikian tidak berarti.

Tidak heran pengkhotbah mengatakan “Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.” (Pkh 1:14) . Yah, itu semua karena “untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pkh 3:1). Segala sesuatu yang dikejar manusia di dunia ini akan berakhir dengan kesia-siaan, tak lain karena segala sesuatu yang ada itu semuanya sementara, ada waktunya … sekedar pelepas dahaga, bukan keseluruhan perjalanan panjang menuju kekekalan.

Ayub mengatakan "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Kebijaksanaan hidup kita adalah saat bisa menjadi seperti Ayub, yang menyadari dirinya sekedar mampir ngombe, dan diberi kesempatan melepas dahaga didalam dunia ini. Ayub memiliki kemampuan untuk mengingat bahwa dia tidak memiliki hak atas apapun, termasuk atas dirinya sendiri. Ayub mengerti bahwa segala sesuatu milik Tuhan, sehingga adalah hak-Nya untuk memberi dan mengambil. Saat kita hidup dengan cara demikian, inilah hidup dalam ucapan syukur yang sesungguhnya. Kita mengucap syukur karena diberi kesempatan untuk mampir, dan menikmati apa diijinkan-Nya untuk dipercayakan pada kita. Apa yang kini ada pada kita, apa yang sudah diminta-Nya kembali, bahkan apa yang masih menjadi rencana Tuhan untuk terjadi dalam hidup kita, itu semua adalah milik-Nya. Dia-lah yang semestinya bertakhta diatas semuanya itu. 

Dengan demikian, semestinya kita lebih berorientasi pada seluruh perjalanan menuju kekekalan itu. Hidup di dunia yang sementara ini kita diberi kesempatan untuk “mampir ngombe”, melepas dahaga sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan panjang menuju kekekalan. Karena itu, berhati-hatilah dengan apa yang kita minum. Salah minum bisa fatal akibatnya. Ingatlah pada pribadi yang mengatakan ini "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal." (Yoh 4:13-14).

Memandang Mesias Yang Tersalib


Sudah selesai ! Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Yesus di kayu salib, sebelum kemudian tertunduk menyerahkan nyawaNya. Drama penangkapan, pengadilan yang lebih didasarkan pada kebencian, deraan cambuk, mahkota duri, jalan salib dan penyaliban berakhir sudah. Tubuh yang tergantung itu diturunkan, lalu dimakamkan. Apanya yang sudah selesai ?

Bagi para pemimpin agama Yahudi, kematian Yesus mengakhiri ancaman terhadap kemapanan politik mereka. Pemimpin agama Yahudi agaknya berada pada posisi yang sentral dalam kehidupan bangsa Israel dalam penjajahan Romawi, karena merekalah yang menjembatani pemerintah Roma dengan Israel. Hadirnya Yesus di Galilea yang dalam waktu singkat mendapatkan banyak pengikut, tentu merupakan ancaman, sehingga pantas untuk dilenyapkan. Mengapa menjadi ancaman ? Karena Yesus banyak menggugat ajaran dan perilaku para pemimpin agama Yahudi, yang bukannya membawa umat kepada Allah namun memanfaatkan agama demi kepentingan sendiri, baik itu kepentingan politik maupun ekonomi. Yesus menawarkan Kerajaan-Nya yang Kekal, yang dipahami sebagai lambang pemerintahan baru yang berpotensi menciptakan instabilitas politik di Yerusalem. Konspirasi dengan Herodes, yang didukung  kecerdikan Pilatus melempar tanggung jawab penghukuman Yesus memuluskan jalan skenario hukuman mati untuk Yesus.

 Bagi para murid dan pengikut Yesus, peristiwa penyaliban ini menjadi dukacita yang sangat mendalam, karena pengharapan akan datangnya Mesias seperti dalam nubuat nabi Yesaya untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Israel pupus sudah. Kehadiran Yesus yang datang dengan banyak tanda mujizat menyembuhkan orang sakit, memberi makan ribuan orang, bahkan membangkitkan orang mati merupakan sosok ideal seorang Raja yang dapat memimpin kerajaan Israel. Namun semua itu telah berakhir. Kini sang Mesias itu tersalib dan mati. Yang tertinggal adalah penyesalan Yudas Iskariot yang tergiur 30 keping perak, tangisan murid-murid yang kehilangan Guru, dukacita ibu yang kehilangan anak, pengikut yang tercerai berai tanpa pemimpin.

Sudah selesai ! Lalu apa yang selesai ? Bagi Yesus, misi sebagai Kristus sang Pembebas adalah misi Allah bagi umat manusia. Misi Kristus yang melampaui kepentingan politik, kepentingan ekonomi, dan segala kepentingan duniawi, memang sulit terjangkau oleh akal manusia, apalagi oleh bangsa yang terjajah. Misi Kristus mempersiapkan Kerajaan Kekal sekalipun berulang-ulang diajarkan, berulang-ulang diberitakan, namun tidak juga menghasilkan pengertian. Yesus tersalib dalam kesendirian, hanya ditemani oleh Yohanes, Maria ibunya dan Maria Magdalena, sementara yang lain memandang dari kejauhan dalam linangan air mata. Namun Yesus yang tersalib telah menang. Yesus yang tersalib mengalahkan kemanusiaan-Nya dengan teguh menjalani misi Illahi, menumpahkan darah yang mendamaikan manusia berdosa dengan Allah.

Sang Mesias, sang Ratu Adil yang dirindukan sekaligus juga tertolak. Barangkali inilah yang perlu menjadi perenungan kita. Seringkali kita memiliki pengharapan yang Illahi, namun mengkotakkannya dalam konstruksi idealisme kita sendiri, tanpa pernah terbuka pada kehendak yang Illahi. Yesus yang datang sebagai Mesias yang dijanjikan tertolak oleh bangsa-Nya sendiri karena Dia bukanlah Mesias yang cocok dengan konsepsi mereka tentang Mesias. Bukankah Mesias harus datang berkuda dan membawa pedang ? Mengapa Dia datang di atas keledai dalam kelemahlembutan ? Bukankah Mesias harus datang dengan Mahkota dan pasukan lengkap? Mengapa Dia datang dari Galilea dan lebih memperhatikan kaum papa dibandingkan dengan rencana perebutan Kekuasaan ? Dalam kekinian, seringkali kita mengaku percaya Yesus sebagai juruselamat kita, namun dalam hati kita menolak-Nya. Kita menolak kehadiran Kristus kalau tidak terjadi mujizat di dalam hidup kita. Kita menolak Kristus sudah hadir kalau jawaban atas doa kita berbeda dari keinginan kita. Kita menolak berjumpa dengan Kristus kalau kita harus ikut memikul salib-Nya. Bukankah Kristus kadangkala kita konstruksikan dalam konsep kita sendiri tentang Tuhan, tanpa membiarkan-Nya memberi pengertian kepada kita bagaimana kita ber-Tuhan ?

Sabat yang sunyi, Sabat yang penuh duka tak disangka akan berubah menjadi hari esok, fajar baru yang membawa sukacita. Kristus yang tersalib akan bangkit dari kubur-Nya, mengingatkan setiap orang yang pernah mendengar pemberitaan akan kematiaan dan kebangkitan-Nya menjadi tersadar misi keselamatan umat manusia telah selesai dan Yesus Illahi yang adalah Tuhan telah menang dari kegelapan.

Selamat menyambut Paskah ! 

Sabtu Sunyi, 7 April 2012



Minggu, 20 Mei 2012

Kebangkitan Nasional Yang Sepi

Hari ini, 20 Mei 2012 merupakan hari dimana bangsa Indonesia memperingati 104 tahun Kebangkitan Nasional. Pada tanggal 20 Mei 1908, hari lahirnya Boedi Oetomo disepakati sebagai hari lahirnya semangat berbangsa, munculnya kesadaran untuk bersatu yang dipelopori oleh kaum muda. Wikipedia mencatat kelahiran Boedi Oetomo sebagai berikut : Budi Utomo (ejaan Soewandi: Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soerajipada tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.

Setiap tahun Kebangkitan Nasional diperingati, dan disitu kita diingatkan akan satu momentum dimana kesadaran untuk bersatu sebagai  suatu bangsa, yang memiliki martabat dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri telah menimbulkan cikal bakal semangat untuk merdeka dari penjajahan. Nilai-nilai kebangsaan ini semakin bergulir dengan munculnya berbagai macam organisasi lain dengan tujuan yang sama. Semangat itu pula yang melahirkan Kongres Pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda. Semangat itu pula yang melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita adalah generasi pewaris. Tentu semangat nasionalisme bukan lagi bicara soal penjajahan. Nasionalisme Indonesia kini adalah tantangan kita untuk menjaga harga diri kita sebagai bangsa, yang telah dibayar mahal oleh ratusan tahun perjuangan.

Harga diri bangsa itu yang hari ini sedang kita pertanyakan kembali, sedang kita prihatinkan bersama. Reformasi politik yang diharapkan menjadi bentuk Kebangkitan Nasional kita sebagai bangsa, yang konon berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan membawa angin segar bagi perkembangan demokrasi Indonesia, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Eforia politik dan demokratisasi justru menimbulkan masalah baru, yang menunjukkan ketidakdewasaan dalam berdemokrasi. Banyak orang mau menikmati kebebasan namun kurang menghormati hak orang lain. Saat kesempatan berkuasa didapat, rupanya kepentingan pribadi dan golongan yang dikedepankan. KKN yang menjadi senjata para reformator untuk menumbangkan Orba justru menjadi penyakit yang makin kronis saja hari ini. Saat kita mengklaim semakin demokratis, justru semakin banyak benturan antar kelompok, yang menunjukkan Negara sebagai pemegang kunci persatuan dan kesatuan bangsa masih gamang bersikap tegas, sehingga memilih absen ketimbang mengambil tindakan.

Hari ini, kita kembali mengingat kebangkitan Nasional. Tampaknya kurang begitu meriah, tidak banyak bendera dan baliho didirikan. Tak juga tampak upacara di berbagai tempat, barangkali ditunda besok karena ini hari Minggu. Semoga “semangat bersatu sebagai bangsa untuk berfokus pada tujuan Nasional” tidak juga dianggap sepi. Semoga masih ada harapan, keinginan kita untuk bersama bahu membahu memikirkan nasib bangsa ini. Kok sedih ya rasanya, melihat disekitar kita banyak orang yang punya kesempatan untuk menjadi penggerak semangat bersatu dan berbangsa, justru tidak sempat lagi berpikir dan bertindak ke sana karena disibukkan dengan urusannya sendiri. Kapan kita bisa maju bersama kalau masih juga ribut sendiri ?

Selamat memperingati hari Kebangkitan Nasional bagi yang merayakannya.

Sabtu, 19 Mei 2012

Lolos UN Belum Tentu Lulus !


Sebagai orang tua dengan anak kelas 6 SD, secara pribadi saya merasa perlu mengalokasikan waktu yang lebih kepada persiapan anak menghadapi UN. Gara-gara memperhatikan dan membantu anak mempersiapkan UN, jadi akhirnya ikut mengamati dan memperhatikan UN. Hajat tahunan pendidikan Nasional ini, konon bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi. Diharapkan dengan tercapainya target nilai lulusan dapat mengantarkan siswa menjadi lulusan yang unggul di masa kini dan masa depan. Tentu kita sepakat, pengukuran terhadap hasil itu sangat dibutuhkan agar proses belajar-mengajar yang telah dilalui dapat diketahui hasilnya. Walaupun ternyata, dalam beberapa kasus tertentu ternyata UN sudah tidak dianggap menentukan. Beberapa sekolah swasta justru sudah menerima murid dan beres administrasi jauh sebelum UN berlangsung. Yang penting lolos standar minimum.

Secara teknis, sebenarnya untuk lulus UN itu tidaklah sesulit yang ditakutkan. Barangkali ini strategi dari guru/sekolah agar anak benar-benar concern. UN yang menjadi (–dijadikan–) momok bagi siswa, sebenarnya tidaklah murni sebagai kepentingan siswa, namun juga kepentingan sekolah untuk mencapai target lulus 100%. Dalam rangka pencapaian target 100% itu, siswa benar-benar dikondisikan dan dibiasakan untuk berlatih mengerjakan soal-soal UN. Pengalaman anak saya, semester 2 ini sudah mengikuti berbagai macam try-out, baik itu dari sekolah, dari kecamatan, dari kabupaten, belum lagi try-out dari lembaga Bimbel yang banyak ditawarkan diluar, maupun kisi-kisi UN dari diknas yang dengan mudah dicari di internet. Jadi, anak itu sebenarnya sudah berlatih, dikondisikan untuk lulus. Tidak ada sekolah yang mau anak didiknya ada yang tidak lulus.

Namun toh kabar-kabar miring tentang UN masih saja beredar. Kisah-kisah penyimpangan klasik UN seperti beredarnya kunci jawaban soal dengan harga jutaan (walaupun belum tentu benar), bahkan pernah ada kasus di tahun 2011, sekolah yang meminta siswa pintar untuk membagikan jawaban kepada siswa lainnya (http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/05/30/129194/Sekolah-Guru-Paksa-Siswa-Contek-Contekan-Tak-Acuhkan-Komnas-Anak). Belum lagi ditemukannya kasus-kasus siswa mencontek dengan berbagai modus operandi, hingga sekolah perlu merasa perlu memasang CCTV di kelas. Pada akhirnya proses belajar mengajar tidak lagi berarti. Yang ada tinggalah mental jalan pintas dengan menghalalkan segala cara, yang penting lulus. Pada akhirnya hasil akhir yang penting, proses tidaklah penting.

Kalau kita mengacu pada UUD 45, disebutkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (Pasal 31 ayat 3 UUD ’45 Amandemen IV). Inti dari output pendidikan itu adalah keimanan, ketakwaan dan akhlak lah yang ditempatkan mendahului kecerdasan. Jadi pendidikan yang menghasilkan nilai tinggi (sebagai tolok ukur kompetensi) tidak dapat disebut berhasil menyelenggarakan pendidikan, kalau unsur keimanan, ketakwaan dan akhlak justru tidak dikedepankan, bahkan dilanggar demi secarik nilai UN. Lebih ironis lagi kalau sampai terjadi sekolah dan guru ikut terlibat menghalalkan segala cara demi mencapai angka nilai dan kelulusan semata. Bukankah ini sama saja dengan mengajarkan praktek KKN sejak dini ? Bukankah ini penyakit akut yang hendak dibasmi dari bumi Indonesia ini ? Lalu apa arti dari “manusia Indonesia seutuhnya” kalau bukan sekedar slogan ?

Lolos UN itu gampang, tapi untuk lulus menjadi siswa yang cerdas pintar sekaligus meningkat keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia, masih menjadi PR kita bersama : Pemerintah, Sekolah dan orang tua.

Mencintai Buku : Witing Tresno Jalaran Soko Kulino


Buku adalah jendela dunia. Melalui buku kita membuka cakrawala pemikiran dan menimba pengetahuan. Oleh sebab itu, kecintaan kepada buku haruslah ditanamkan sejak usia kanak-kanak, paling tidak itulah yang kami tanamkan ke anak-anak. Begitu anak-anak mulai belajar membaca, mereka sudah kami perkenalkan dengan buku, mulai komik yang ringan bergambar lucu, bertahap hingga sedikit demi sedikit kini anak pertamaku (kelas 6 SD) sudah mulai meninggalkan komik, dan mulai membaca novel remaja, yang kami pilihkan seperti novel petualangan Lima Sekawan dan sejenisnya. Bahkan kini sudah mulai belajar lebih jauh membaca novel-novel petualangan yang lebih berat. Sementara itu adiknya (kelas 2 SD) masih berkutat asyik dengan komiknya.

Mengapa komik dan buku cerita ?

Kadang sebagian orang tua enggan membelikan komik atau buku cerita kepada anak. Komik seringkali dipandang sebagai buku yang kurang berkontribusi pada tingkat perkembangan intelektialitas anak, berbeda dengan buku ilmu pengetahuan atau buku pelajaran. Namun dengan komik, kami membangun budaya membaca di rumah. Ada waktu menikmati komik dan buku cerita, ada waktu melahap buku pelajaran dan ilmu pengetahuan. Membudayakan membaca, adalah entry point dari membangun kebiasaan belajar anak secara mandiri. Bagi anak yang tidak terbiasa membaca, buku pelajaran akan menjadi momok yang menakutkan. Tapi bagi anak dengan budaya membaca, belajar akan menjadi aktivitas yang mengasyikan, khususnya untuk topik2 yang diminati. Dari hal-hal sederhana, kita mengajak anak untuk membuka jendela dunia.

Membangun budaya baca di rumah, memang tidak mudah. Anak-anak jaman sekarang telah memiliki akses pada permainan-permainan elektronik, tontonan televisi dengan berbagai pilihan program, maupun komputer. Disinilah dibutuhkan komitmen dari orang tua untuk mengalokasikan uang untuk mendorong kebiasaan membaca. Salah satunya adalah kunjungan ke mall bagi kami berarti nongkrong di toko buku sebagai menu utama selain berbelanja. Kami tidak membiasakan anak bermain di playground atau game center. Mereka bebas bereksplorasi di toko buku, melihat-lihat, membaca dalam waktu yang tidak terlalu dibatasi, tentu saja dengan izin masing-masing boleh membeli 1 buah buku dengan jenis dan judul yang disetujui orang tua. Kebiasaan inilah yang menjadi bibit kecintaan anak kepada buku. Di rumah, anak-anak diperkenankan membaca komik atau buku cerita namun setelah mereka selesai mengerjakan PR. Sedapat mungkin selain buku cerita/komik anak perlu diperkenalkan dengan buku-buku pengetahuan populer yang saat ini banyak di toko buku untuk menjembatani ketertarikan pada buku dengan pelajaran di sekolah. Dengan demikian, belajar bisa jadi sesuatu yang menyenangkan.

Namun memang hal yang tersulit untuk dijelaskan bagi anak yang telah mengenal internet untuk tetap berpegang pada buku. Bukankah jaman sekarang sudah ada google ? Untuk apa repot-repot punya buku ? Barangkali budaya googling inilah yang nanti menjadi tantangan terbesar dari budaya baca buku. Dengan google atau mesin pencari lainnya, kita bebas mendapatkan informasi apa saja di internet. Apakah memang meningkatnya penggunaan internet adalah sama dengan matinya buku ?

Tentu internet adalah salah satu cara baru memandang dunia. Namun tentu saja peran internet tidak serta merta menggantikan buku. Dengan buku kita dapat mencoba menyelami pemikiran seseorang secara utuh dan dalam, sementara melalui internet kita bisa membuka cakrawala pemikiran, highlight untuk suatu topik dalam berbagai sudut pandang. Seharusnya buku dan internet akan dapat saling melengkapi, atau kita perlu melihat buku dengan paradigma  baru, yaitu di masa depan barangkali buku-buku tidak lagi terbit dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk e-book.

Witing tresno jalaran soko kulino, demikian ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang memiliki arti kecintaan terhadap sesuatu dapat dibentuk melalui pembiasaan. Marilah kita belajar mencintai buku sejak kita mengenal huruf, agar kita tumbuh besar dengan cakrawala pemikiran yang terbuka dengan mencintai buku.

Selamat mencintai buku  !

Dibutuhkan Orang Kaya Untuk Menjadi Pemimpin


Jaman dahulu kala, tersebutlah seorang Raja yang bijaksana. Sang Raja adalah orang yang murah hati dan bijaksana, sehingga sangat dicintai oleh rakyatnya. Melalui kepemimpinan beliau,  negeri itu menjadi makmur, rakyat berkecukupan sandang pangan dan mereka selalu hidup dalam sukacita. Demikianlah sepenggal cerita sebelum tidur yang biasa dikisahkan nenek kita, yang bersumber dari buku-buku karangan HC Andersen. Di sisi yang lain, sering pula digambarkan adanya seorang Raja negeri yang lain, dengan sifat yang bertolak belakang. Raja ini gemar sekali berfoya-foya, menumpuk harta kekayaan dengan menarik pajak yang tinggi dari rakyatnya, kejam dan otoriter. Akhirnya negeri ini benar-benar menjadi kerajaan yang mencekam, rakyat hidup dalam ketakutan dan kemiskinan. Pernah dengan dongeng seperti ini ? Dongeng, seringkali menggambarkan realitas kehidupan pada masa kisah-kisah ini dituliskan. Dongeng-dongeng tersebut sepakat bahwa karakter seorang Raja (pemimpin), yang akan menentukan nasib negeri dan tentu saja rakyatnya.

Itu tadi kalau kita bicara soal negeri dongeng. Bagaimana dengan realitas politik yang ada ? Seiring dengan berjalannya waktu, sistem pemerintahan dengan kekuasaan terpusat pada satu atau beberapa orang, seperti monarki (Kerajaan), aristokrasi  sudah bukan lagi populer, digantikan oleh sistem yang lebih terbuka, yaitu demokrasi. Konon, trend untuk berdemokrasi didasarkan pada ketakutan bahwa kekuasaaan yang terpusat selalu ditakutkan berbuntut pada  kondisi tirani kekuasaan. Di negara-negara Eropa, peran Raja dan Ratu dalam pemerintahan banyak digantikan oleh Perdana Menteri yang bertanggung jawab pada parlemen. Demokrasi sendiri sebenarnya bukan barang baru. Konon, istilah demokrasi sudah dikenal sejak jaman Aristoteles di Yunani, yang ide dasarnya adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Ini berlawanan dengan sistem monarki yang menempatkan Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, atau teokrasi yang menempatkan pemuka agama yang dianggap  wakil Tuhan sebagai pemimpin tertinggi.
Kasus di Indonesia, tidaklah terlepas dari gelombang besar ini. Era reformasi menumbangkan orde baru dengan menawarkan demokrasi. Era reformasi ingin menempatkan rakyat benar-benar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, melalui lembaga perwakilannya MPR dan DPR. Namun sekalipun era reformasi dianggap berjasa membangun pilar demokrasi politik Indonesia, bukan berarti outputnya jadi sama dengan negara demokrasi yang lain. Kita telah semakin terbuka dalam berdemokrasi toh tidak menjamin terhapusnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dari awal didengung-dengungkan akan diberantas di era reformasi. Sistem multipartai yang diharapkan dapat menyerap aspirasi rakyat sebanyak mungkin, ujung-ujungnya menjadi ajang penyatuan kepentingan. Sistem pemilihan langsung yang diharapkan dapat menjamin hak pilih rakyat justru ada yang memanfaatkannya untuk jual beli suara melalui politik uang. Demokrasi yang diharapkan menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, pada akhirnya sekedar menyajikan pesta demokrasi 5 tahun sekali, dengan prosesi  5 detik penggunaan hak politik rakyat di dalam bilik suara, setelah itu hirup pikuk di parlemen hanyalah atas nama rakyat demi kepentingan partai (semoga pendapat ini keliru).

Seringkali kita meributkan sistem, mendiskusikan bangunan rumah namun tidak membicarakan orang-orangnya. Rumah yang indah tidak selalu berisi rumah tangga yang harmonis. Pada akhirnya yang paling penting adalah orang-orang yang dapat menjadikan rumah itu sebagai tempat yang nyaman untuk ditinggali. Untuk itulah, kalau kita sudah sepakat untuk berdemokrasi, marilah kita dengan dewasa berdemokrasi, dengan memanfaatkan kebebasan namun bertanggung jawab, menerima limpahan hak politik rakyat sebagai amanah yang harus ditanggung, untuk dikerjakan dengan baik sesuai prinsip demokrasi yang mudahnya adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Untuk itulah rasanya kita membutuhkan orang-orang  yang benar-benar kaya untuk dapat menjadi pemimpin yang baik. Seorang yang kaya adalah orang yang sudah tidak lagi punya keinginan untuk dirinya, sehingga dia bisa mengabikan diri untuk keinginan orang banyak. Seorang kaya adalah orang yang memposisikan diri untuk memberi dan bukan meminta. Seorang kaya adalah orang yang sudah tidak lagi memprioritaskan pikiran untuk dirinya, sehingga sepenuhnya dapat memikirkan orang lain. Pada akhirnya, ukuran kekayaan itu bukan tergantung seberapa banyak yang bisa dimiliki, namun seberapa besar yang dapat diberikan. Ukuran kekayaan bukanlah dari harta benda, namun adalah kebesaran hati untuk memberi yang terbaik. Ukuran kekayaan bukan pada gemerlap penampilan namun ketulusan hati untuk memegang tanggung jawab sebagai pemimpin menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan hati yang sedemikan kaya, seorang Raja akan menjadi bijaksana dan bukan tirani dalam sistem monarki. Dengan kekayaan hati yang demikian, seorang pemuka agama  benar-benar menjalankan fungsi wakil Tuhan dalam sistem teokrasi. Dengan kekayaan hati,  wakil-wakil rakyat dan pemerintahnya dapat berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung jawab demi kemajuan bangsanya.

Dalam kondisi carut marut perpolitikan negeri ini yang diterpa berbagai macam skandal, semoga dapat  membuka mata hati kita bahwa masalah kita sekarang bukanlah apa yang salah dengan sistem yang sedang kita jalankan, namun seberapa besar orang-orang yang ditanamkan dalam sistem itu memiliki ketulusan dan kekayaan hati. Semoga dalam perjalanan yang semakin berat, para pemimpin kita dengan berbagai latar belakang dan pengalamannya, benar-benar mau meletakkan segala macam kepentingan partai, menerima perbedaan sebagai bagian kekayaan hati untuk disatukan demi keutuhan dan masa depan bangsa.

Harapan basi ? Semoga enggak lah !

There's No Place Like Home


“Harta yang paling berharga, adalah keluarga… istana yang paling indah, adalah keluarga… puisi yang paling bermakna adalah keluarga.. mutiara tiada tara adalah keluarga…“ jaman dulu kala sering denger lagu ini di RCTI. Itulah pembukaan dari soundtrack film Keluarga Cemara. Mungkin generasi jadul cukup akrab dengan keluarga Cemara yang bersahaja (walaupun kalo dipikir-pikir gak masuk akal juga, sebangkrut-bangkrutnya pengusaha, masak sih sampe narik becak.. minimal buka warung gitu… ha..ha..). Tapi kita tidak sedang akan membicarakan pekerjaan si Abah sih..

Keluarga Cemara merupakan sisi lain dari dunia persinetronan Indonesia, yang menawarkan kesejatian nilai suatu keluarga. Dalam keluarga Cemara, kebahagiaan bukan didasarkan pada harta benda, namun semata-mata oleh cinta kasih yang dibangun sebagai dasar kehidupan keluarga. Dalam keseharian yang diwarnai kerja keras dan tetesan keringat (dalam arti yang sebenarnya.. tuh kan selalu ada adegan mengelap kening yang berkeringat .. he..he..), namun tidak mengurangi arti dari sukacita karena luasnya hati yang penuh kasih di antara anggota keluarga.. secara visual tampaknya orang susah, tapi selalu ada keceriaan di dalamnya. Sekalipun di dalam kekurangan, mereka tidak kehilangan kegembiraan. Sungguh kontras dengan sinetron jaman sekarang… kalo miskin pasti kerjanya ditindas dan menangis melulu… yang bahagia mereka yang bermobil mewah, rumah gede… tapi anehnya masih juga haus harta.. tidak ada orang yang berkata-kata lembut.. yang ada hanya celaan, mata melotot, bentakan, dan tangisan tak berdaya… oops.. tapi sy tidak bermaksud cerita tentang sinetron nih.. it makes me sick..

Keluarga Cemara boleh jadi tidak benar-benar ada di bumi Indonesia ini. Mereka berada di dalam imajinasi cerdas Arswendo Atmowiloto. Namun melalui Keluarga Cemara, kita belajar mengenai arti keluarga di dalam kehidupan kita.Entah kita sekarang sebagai istri, suami, anak atau orang tua.. di tengah kehidupan yang semakin penuh kesibukan, keluarga semakin kehilangan arti.

Di luar urusan pekerjaan, ada banyak orang yang rela meninggalkan kesempatan menikmati setiap tetesan kasih di dalam keluarga, yang anehnya demi status di luar rumah. Ada banyak orang yang begitu luar biasa di luar rumah, terkenal suka menolong sesama, banyak kegiatan sosial, berbagai macam pelayanan, selalu ada waktu untuk siapa saja, tapi susah punya waktu untuk keluarga, walaupun sekedar membantu anak mengerjakan PR. Kadang ada yang bisa berbuat banyak pada orang lain, tapi malah tidak melakukan apa-apa untuk keluarga. Lalu apa gunanya itu semua ? Katanya cinta keluarga tapi banyak orang tua yang tidak tau persis watak anak-anaknya.. katanya cinta, tapi kenapa anak lebih dekat dengan pengasuh ? Katanya cinta… kenapa suami tak kerasan di rumah.. katanya cinta, tanya kenapa ? padahal ntar kalo kita mati, kalo bukan keluarga, siapa lagi yang mau nangis … (ada atau gak ada yg nangis buat orang mati kayaknya sama aja ya.. ga ngaruh .. ha..ha…ha..)

Ada banyak hal yang tidak bisa di ukur dengan materi. Sayangnya kita telah kehilangan begitu banyak saat menyadarinya. Tentu banyak hal baik yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang salah, namun setiap kebaikan yang kita kucurkan sebaiknya diuji di dalam keluarga. Apa yang bisa kita berikan bagi keluarga kita, itulah yang kita bagikan pada orang lain. There’s no place like home, itulah idaman setiap orang yang selalu mempunyai tempat untuk kembali, tempat di mana kita selalu diterima. Itulah indahnya keluarga.

Tumbuh Itu Bukan Tambah Gede Doang


Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat diskusi singkat dengan seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Biasanya keluhan utama dalam pembuatan skripsi adalah tidak punya ide sama sekali. Karena tidak punya ide, akhirnya skripsi tidak jalan, tentu saja karena tidak tahu harus menulis apa. Tapi ternyata juga, skripsi bisa tidak selesai karena kebanyakan ide. Dari waktu ke waktu, ide terus berkembang, sehingga apa yang barusan ditulis, setelah dibaca lagi kok kurang begini ya.. kok kurang begitu ya… Ternyata tidak punya ide dan kebanyakan ide sama susahnya..

Skripsi memang selalu menegangkan. Memang sih, banyak juga yang sekedar copy-paste ide dan kemudian diterapkan di kasus yang berbeda. Kalo yang ini sih 2 bulan pasti kelar. Namun, bagi kebanyakan mahasiswa, skripsi adalah  “the best of me”.  Namun, 5 atau 10 tahun kemudian setelah dibaca-baca lagi kadang kita bisa ketawa sendiri, kok bisa-bisanya bikin skripsi seperti ini, rasanya amburadul banget. Mahasiswa teman saya tadi juga mengaku, karyanya yang beberapa waktu sebelumnya dapat nilai A dan menurut dia luar biasa bagusnya dipikir-pikir lagi jadi bingung bagusnya di mana.

Ada banyak hal yang menurut kita hebat, beberapa waktu kemudian sudah tidak hebat lagi. Kesimpulan dari diskusi itu, adalah karena kita semua mengalami pertumbuhan. Memang minimal kita bertumbuh besar (fisik) dan umur semakin tua. Tapi yang kita mau tentu bukan sekedar “growing old”, tapi juga “growing up.” Seperti contoh skripsi di atas, saat kita melihat kembali skripsi itu sekian tahun kemudian dan tampak semakin amburadul, bukan berarti skripsi itu tidak bagus lagi, tapi masalahnya kitanya yang bertumbuh. Ada banyak wawasan, pengetahuan dan pengalaman baru yang membentuk kita menjadi semakin baik setiap hari. Seperti saat saya masih anak SD yang takut naik kelas III, hanya karena di kelas III mulai diajarkan perkalian dan pembagian. Hiii…. Pasti sulit sekali.. Tapi kan setelah kelas V ngomongnya sudah lain… ah kalo cuman tambah kurang kali bagi sih gampang.. geometri tuh yang sulit… demikian waktu terus berlalu dan perubahan selalu terjadi. Sama seperti kita saat ini… yang tidak mengerti mengapa sesuatu yang sangat mudah kok waktu kuliah memusingkan dan penuh perjuangan untuk sekedar dapat nilai C.
Permasalahannya memang mau sejauh mana kita bertumbuh. Rasanya ini jadi pilihan hidup, karena sebenarnya tanpa disadari pertumbuhan itu terjadi. Tapi saat kita menyadari potensi kita bertumbuh dan mau mendorongnya sampai batas maksimum, itulah yang membedakan seberapa kita mampu memaksimalkan pertumbuhan kita dibandingkan dengan orang lain. Saat kita melihat karya kita sekian tahun lalu dan kita masih melihatnya sempurna.. waspadalah, mungkin kita sudah berhenti bertumbuh. That is not growing up, it just growing old..

Pertumbuhan kita  itu sebenarnya tanpa batas, namun seringkali kemapanan kita sendirilah yang membatasinya. Yang menarik, hambatan bertumbuh dalam kemapan itu, seringkali datangnya dari dalam diri sendiri, maupun orang-orang terdekat yang mencintai kita. Ada orang yang sejak kecil dikondisikan untuk menjadi “medioker “ bukan menjadi yang terbaik. Sebagai contoh, ada banyak orang tua yang lebih nyaman mengatakan anaknya ”bodoh atau biasa saja” ketimbang mengakui bahwa “anak saya memang pintar.” Jaman dulu, kalo orang tua ketemu orang lain yang memuji “eh si Anu anak ibu pintar sekali ya, kemarin ulangan Matematika nilainya tertinggi di kelas”.  Apa jawab si ibu ? Biasanya (demi sopan santun) “ …ah anak saya biasa aja kok, kebetulan nilainya bagus” atau malah ada yang kebangetan (saking sopannya kali) “ … ah yang benar, wong anak saya itu bandel nggak pernah mau belajar lho.. apa iya bisa nilainya paling bagus..” (walaupun dalam hatinya bangga setengah mati). Saya kira anak yang sering mendengar “kalimat bijak” di atas telah dibentuk sedari kecil bahwa dirinya tidak akan bisa menjadi yang terbaik.. karena orang tuanya saja bilang begitu. Maka jadilah seturut ucapan itu.. menjadikan orang cepat puas.. punya sedikit kemapanan saja sudah merasa cukup.. mau kerja keras kalau terpaksa, karena tidak pernah merasa dirinya istimewa.. Sekedar jadi orang yang biasa saja, sudah cukuplah memperoleh yang biasa saja..

Pertumbuhan datangnya dari kerja keras, dan tentu saja tidak nyaman. Inilah yang membuat lebih banyak orang lebih memilih untuk tinggal di dalam kemapanan ketimbang menempuh jalan repot untuk dapat mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi lagi. Ada banyak peristiwa pahit yang mungkin kita alami; namun yang penting bukanlah seberapa pahit dan susahnya yang harus kita ukur dan ingat, namun di dalam kepahitan itu, seberapa banyak kita dapat belajar dan bertumbuh.

Pertanyaannya memang ada apa dengan kerja keras ?

Pertama, barangkali kerja keras itu bukan menjadi habit  kita. Kerja keras munculnya saat terpaksa saja, walaupun dari situ kita memperoleh banyak hal. Ada banyak orang setelah mencapai sedikit kemapanan berhenti bekerja keras. Mungkin sudah capek repot, mungkin juga karena yang kedua ini, secara kultur merasa (ada juga ini… ) bahwa memiliki ambisi untuk menjadi terbaik itu sesuatu yang “tabu”. Banyak orang merasa nyaman dalam kelompok yang sama-sama tanggung, daripada lari sendiri menjadi yang terdepan. Aneh juga ya… tapi nyata lho. Cirinya, yang penting temannya banyak, kan kalo sudah banyak yang sama ya sudah memang beginilah kami ini. Ngapain harus repot mengejar yang lebih lagi dari yang ini, toh sudah mencapai yang orang pada umumnya bisa capai ? Sudahlah, pokoke ora ngisin-isini lak uwis.. he..he… begitu kira2.

Pertumbuhan kita, hanyalah kita sendiri yang dapat mengukurnya. Seberapa yang dapat kita inginkan, itulah tolok ukur maksimal kita. Jadi, kalau visinya cukup puas menjadi kucing, jangan harap bisa mengaum seperti singa.

Namun ada sisi lain dari pertumbuhan kita. Semangat bertumbuh yang tinggi, belum tentu juga menghasilkan pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan, kadang adalah sebuah proses yang harus dengan sabar diikuti, agar hasilnya benar-benar sempurna. Namun, banyak orang tidak sabar. Banyak orang menginginkan hasil instant. Benarkah pertumbuhan yang berlangsung secara instant dapat menghasilkan buah yang baik ? Manakah mangga yang lebih manis, mangga yang manis di pohon atau mangga karbitan ? Atau manakah yang lebih nikmat, durian yang jatuh dengan sendirinya, atau durian yang diunduh kemudian diperam ?
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak anak-anak yang kini kehilangan keceriaan masa kanak-kanaknya karena waktunya habis untuk belajar. Memang sekarang ini dilematis. Di satu sisi, sangat manusiawi bila orang tua menginginkan anaknya dapat nilai bagus di sekolah, sekaligus mampu mengembangkan bakatnya di bidang lain. Namun, tidak semua anak mampu menikmati padatnya jam sekolah, masih ditambah les pelajaran, kursus bahasa dan music, serta mungkin latihan olah raga. Keceriaan masa kanak-kanak tergantikan oleh program yang harus diikuti menit ke menit, semata agar mampu bersaing dan bahkan menjadi super kid. Mengapa ya, mereka yang seharusnya bertumbuh melewati masa kanak-kanak yang ceria, kini harus lebih dini mulai menanggung beban persaingan, memikirkan susahnya hidup, serumit beban hidup orang tuanya ?

Pertumbuhan memang harus dikejar setinggi mungkin, namun lebih bijaksana bila terjadi secara alamiah. Suatu perjalanan panjang, mungkin melelahkan.. namun biarlah asyiknya berproses dapat dinikmati langkah demi langkah, bukan semata yang penting hasil akhirnya. Kadangkala kita perlu bersabar, namun itu demi hasil akhir yang lebih sempurna… So, enjoy aja !

Sebuah nasihat yang sangat bijak : “Live as if you were to die tomorrow, learn as if you were to live forever.”

Solo Tanpa Jokowi


Sekelumit berita dari Ahok.Org : Pemilukada DKI Jakarta akan digelar 11 Juli 2012 nanti. Survei-survei tentang cagub-cawagub DKI sudah mulai digelar. Dalam berbagai survei itu, cagub yang diusung PDIP-Gerindra, Jokowi, selalu menguntit incumbent, Fauzi Bowo. Namun Jokowi bisa melampaui Foke pada Juni 2012“Dari hasil survei 2 hari lalu, posisi kita naik terus. Sudah 30 persen. Saya yakin di pertengahan bulan nanti kita sudah di atas mereka, para incumbent. Ini yang menyampaikan bukan saya tapi konsultan politik dari UI di mana saya berkonsultasi dengan mereka,” jelas Jokowi.

Menyimak berita di atas, maupun dari sumber yang lain mengenai Pilkada DKI, pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) tampaknya merupakan salah satu kandidat kuat menghadang Fauzi Bowo melaju ke menjadi gubernur DKI untuk yang kedua kalinya.

Walaupun 600km jauhnya, tentu banyak warga Solo yang mengikuti perkembangan Pilkada DKI ini. Hal ini tak lain karena Jokowi adalah walikota Solo yang saat ini masih menjabat. Yang istimewa lagi,  Jokowi adalah sosok walikota yang dicintai oleh warga Solo. Tak heran, Pasangan Jokowi – Rudi mampu meraih dukungan 90,09% untuk melenggang memimpin Solo untuk masa jabatan ke-2, tahun 2010-2015. Tentu angka 90,09% tidak mungkin di raih tanpa track record yang baik dari pasangan Jokowi-Rudi, yang pada masa jabatan pertama hanya bermodal 36% suara.

Selama masa kepemimpinan Jokowi, perkembangan kota Solo cukup terasa. Dengan tagline Solo, The Spirit of Java, Jokowi berhasil mem-branding kota Solo sebagai kota budaya. Sisi lain dari prestasi Jokowi adalah komunikasi politiknya yang “nguwongke”, dan menyentuh hati, sehingga berhasil merelokasi PKL Banjarsari ke Pasar Klithikan Semanggi tanpa gejolak. Soal citra, sampai hari ini Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang bersih. Belum pernah ada berita korupsi yang terkait dengan nama Jokowi. Sebagai pribadi, Jokowi dikenal sebagai orang yang berpenampilan sederhana. Mobil dinasnya bukan mobil baru namun peninggalan walikota lama. Baru-baru ini Jokowi membeli mobil dinas baru pun dalam rangka mendukung mobil Esemka untuk maju sebagai mobil Nasional hingga menjadi pembicaraan tingkat Nasional. Dalam perjalanan dinas ke Jakarta misalnya, Jokowi tidak pernah mengesankan diri sebagai orang penting. Dia menumpang pesawat kelas ekonomi, turun di Solo pun cukup dijemput oleh sopirnya saja. Barangkali inilah –minimal dalam sudut pandang saya sebagai orang pinggiran Solo—yang membuat Jokowi justru sangat dicintai : keperdulian, kepemimpinan dengan hati, dan kedekatan dengan rakyat – yang tampaknya justru menjadi sosok langka di negeri tercinta ini.

Keputusan Jokowi untuk maju menuju DKI-1 pun menjadi keputusan yang mengejutkan bagi warga Solo. Di satu sisi ada rasa “eman-eman” karena 90%+ warga Solo yang mempercayakan kota Solo pada Jokowi harus merelakan Jokowi pergi pada tahun ke-2 dari 5 tahun masa jabatannya sebagai walikota Solo kalau sampai menang di Jakarta. Namun di sisi lain ada rasa bangga karena “wong Solo” menjadi sosok yang diperhitungkan di DKI. Ada secercah harapan, keberhasilan Jokowi di Solo dapat membawa perubahan di Ibukota, yang adalah juga pusat pemerintahan Negara RI.

Tampaknya orang Solo pun harus legowo merelakan Jokowi hijrah ke Ibukota. Saat Jokowi masih hadir di tengah warga Solo maka seluruh harapan akan nasib kota Solo mau tidak mau seluruhnya ditaruh di pundak Jokowi. But life goes on. Perginya Jokowi  dengan meninggalkan track record yang sangat baik bagi warga Solo, sudah sewajarnya tertanam dalam hati dan menjadi inspirasi yang positif. Keberhasilan dalam kepemimpinan kota Solo seharusnya tidak berhenti  pada Jokowi seorang, namun menjadi tantangan bersama untuk melanjutkan karyanya. Jadi, kalaupun nanti Jokowi benar-benar jadi DKI-1, itu bukan akhir dari pertumbuhan kota Solo, namun membuka jalan bagi lahirnya Jokowi-Jokowi yang baru. Kita perlu belajar untuk tidak hanya tergantung kepada ketokohan Jokowi, namun juga bercermin dan meneladani tokoh inspiratif ini untuk masa depan Solo yang lebih baik.

Selamat berjuang menuju DKI-1 untuk Mas Jokowi … kami mendukungmu dari jauh.

Lady Gaga & Standar Moral Kita


Tadinya saya tidak terlalu peduli dengan ramainya polemik tentang konser Lady Gada di Indonesia. Mengapa ? Jelaslah karena saya ini tidak kenal Lady Gaga, tahu lagunya juga tidak. Lama-lama jadi penasaran juga, siapa sih dia itu yang mampu mengguncang Indonesia, sampai-sampai memancing polemik. Dari pembicaraan di warteg sampai berita TV yang tidak pernah absen. Dari obrolan warung kopi, seniman, pengamat musik hingga ormas, bahkan sampai menteri, menkopolhukam, anggota partai, sampai anggota DPR.

Setelah melihat-lihat dandanan dan penampilan Lady Gaga dari klip yang diputar di TV berita, sampai materi perdebatan, jelaslah sudah keberatan utama adalah penampilan Lady Gaga yang terkenal itu selalu diwarnai kontroversi. Untuk konser di Korea pun akhirnya dikategorikan 18+, dan diwarnai pro dan kontra. Saya secara pribadi sih melihat gambaran Lady Gaga seperti itu ya akhirnya jadi maklum akan kekuatiran sebagian kalangan merujuk pada standar moral di Indonesia. Tapi pertanyaannya apakah dengan melarang konser Lady Gaga, moral kita terjaga baik ? Apakah memang Lady Gaga akan tampil half naked seperti yang dikuatirkan ? Kalau sekedar half-naked ngga usah jauh-jauh di Indonesia juga banyak ?

Sebagai bangsa timur, kita memiliki adat ketimuran yang terkenal santun. Budaya kita itulah yang membentuk standar moral kita, yaitu mengenai hal-hal yang kita terima sebagai sesuatu yang kita sebut dengan “baik”. Itulah moral, standarnya ya nilai budaya kita. Sebagai bangsa yang religius, semestinya nilai-nilai yang diajarkan oleh agama kita seharusnya juga mewarnai standar moral kita. Tak heran, banyak orang sepakat, penampilan yang seronok itu tidak sesuai dengan budaya kita, tidak sesuai dengan standar moral kita, layak kita tolak.

Beberapa catatan menarik bisa kita lihat di sini :

Pertama,  berbicara masalah penerapan standar moral, kita ini masih terkesan sangat reaktif. Misalnya penjualan tiket Konser Lady Gaga ini sudah berlangsung lama, konon ditawarkan sejak tahun 2011. Namun baru belakangan ini kita mendengar polemiknya, setelah ada ormas yang mempersoalkannya. Apakah yang lainnya tidak pernah sadar tentang Lady Gaga ? Apakah baru sadar belakangan kalau kurang sesuai dengan nilai budaya kita ? Atau ikut-ikutan karena takut disebut tidak bermoral ?

Kedua, yang tidak kalah menarik adalah  standar moralitas kita sepertinya baru benar-benar terusik kalau urusannya masalah syahwat. Kita ingat sebelum konser Lady Gaga pun, banyak polemik tentang moral yang materinya adalah soal pemerkosaan akibat rok mini, anggota DPR nonton film porno di sela rapat, anggota DPR bikin film porno. Berita-berita inilah yang cukup awet menghiasi media masa dan hangat diperbincangkan. Sementara itu, topik lainnya kurang mendapat tempat.

Kalau kita berbicara standar moral yang berbudaya Indonesia yang adalah bangsa dengan adat ketimurannya yang santun dan religius, semestinya kita harus pula mengangkat tema-tema lain yang cukup mengusik rasa keadilan dan moralitas kita bersama seperti masalah korupsi misalnya. Kalau kita lihat penuntasan kasus korupsi masih terkesan lambat, dan kita pun masih reaktif membicarakannya, lalu ikut melupakan setelah tertimpa masalah-masalah lain, ya masalah Lady Gaga ini misalnya. Untuk sementara berita korupsi tenggelam oleh berita Lady Gaga. Seolah kita sudah menganggap korupsi itu biasa, karena memang ada di mana-mana. Jangan-jangan kita lebih bisa memaafkan koruptor ketimbang Lady Gaga ? Sisi lain dari moralitas kita adalah soal kekerasan. Kita pun semakin akrab dengan kekerasan, dari premanisme, pemalakan, kriminalitas, tawuran antar mahasiswa dan pelajar, intimidasi terhadap umat beragama, dan kasus kekerasan lainnya. Apakah nantinya kita juga akan maklum karena toh kekerasan juga terjadi setiap hari disekitar kita ? Apakah moralitas kita tidak terusik lagi melihat kekerasan disekitar kita ? Atau barangkali sejauh mana keprihatinan kita melihat “unggah ungguh” anak-anak kita ? Apakah kita berhasil mendidik generasi yang tahu menghormati orang tua ? Bukankah banyak kasus di mana murid berani melawan guru, anak menganiaya orang tua ? Apa ini juga kita anggap sudah biasa ?

Yah, semoga kehidupan berbangsa kita, ditengah jaman yang semakin edan ini masih mengingat kemurnian hati para pendiri negeri ini, yang bahkan mau mati demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau mereka masih hidup hari ini, apakah tidak akan menangis melihat tingkah generasi penerusnya ini ? Pekerjaan rumah masih banyak. Kalaulah generasi ini memang kita anggap mengalami kegagalan moral, janganlah itu terjadi pada anak cucu kita. Kita yang masih punya hati, ya ayo memberikan pendidikan yang baik untuk generasi selanjutnya. Bukan cuma bisa pro dan kontra Lady Gaga saja, tapi jadikanlah mereka generasi penerus yang diidamkan penyusun UUD’45 ini : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (Pasal 31 ayat 3 UUD ’45 Amandemen IV).

Mari kita dukung bersama !

One Stop Service - Kunci Kepuasan Perbankan


<a href=" http://www.bca.co.id/id/about/berita/2012_may_01_Ayo_Kita_Berbagi_Cerita_bersama_BCA/2012_may_01_Ayo_Kita_Berbagi_Cerita_bersama_BCA.jsp" target="_blank"><img src="http://www.bca.co.id/include/images/user/bca-blog-competition.jpg" /> </a>


Barangkali kehidupan di desa lah yang membuat saya cukup terlambat mengenal dunia perbankan. Waktu itu sekitar tahun 80-an, saya masih duduk di sekolah dasar, dimana kegiatan menabung mulai diperkenalkan oleh Guru. Seminggu sekali setiap anak menabung ke Ibu Guru, dengan pencatatan pada sebuah buku kecil. Tabungan itu akan dibagikan kembali pada akhir tahun ajaran. Sungguh senang rasanya di akhir tahun ajaran, anak-anak menerima uang tabungannya kembali. Uang itu pada akhirnya dapat dibelikan buku untuk tahun ajaran berikut atau dapat dipakai sebagai uang saku dalam kegiatan darmawisata.
Pada masa itu, filosofi menabung masih beragam, dan belum banyak melibatkan bank. Bagi para pebisnis lebih suka memutarkan uangnya untuk memperbesar bisnis daripada ditaruh di bank. Kalaupun toh sudah mau menabung, orang tua jaman dulu lebih suka menyimpannya dalam celengan, lemari rahasia, atau sudah melakukan investasi dengan menanamkan uang di properti, tanah atau emas. Mengapa tidak ke Bank ? Barangkali pada saat itu masih ada keraguan untuk mempercayakan uang di bank.

Saya sendiri mulai punya buku tabungan bank pertama kali atas saran guru. Suatu ketika guru kelas saya menawarkan pembukaan rekening di bank. Mengapa harus ke bank ? Ibu Guru mengatakan kalau kita menabung ke bank, selain uang kita aman dari pencurian, juga akan mendapatkan keuntungan, yaitu mendapatkan bunga. Itulah kali pertama saya memiliki tabungan di Bank.  Dunia bisnis perbankan di masa lalu tidak jauh dari kegiatan pokok simpanan berupa tabungan atau deposito, dan pinjaman. Pemahamannya adalah kita menabung ke bank, lalu bank memutarkan uang kita dengan meminjamkannya ke orang lain untuk modal usaha. Selisih bunga pinjaman dan bunga tabungan itulah yang menjadi keuntungan bank, untuk hidup dan menjalankan operasionalnya.

Menurut hemat saya salah satu inovasi perbankan yang membuat orang mulai melek dan berkenalan dengan bank adalah saat bank swasta bermunculan dan mulai membuka kantor cabang hingga kabupaten. Fenomena pertama yang menarik adalah adanya Undian Tahapan BCA. Program inilah yang tampaknya mulai merubah peta bisnis perbankan. Orang pada waktu itu terbelalak, bagaimana mungkin dengan menabung di bank,  bisa meraih kesempatan mendapatkan hadiah uang jutaan rupiah ? Program seperti ini menciptakan trend baru, semangat menabung double untung, dapat bunga, sekaligus untung-untung dapat hadiah. Program ini tampaknya berhasil mendorong BCA menjadi besar, dan sampai hari ini program ini masih berjalan, dan sudah menjadi program wajib di hampir semua produk tabungan.

Hari ini, saya menyaksikan pergeseran persaingan di dunia perbankan dalam mengejar uang nasabah. Bunga dan hadiah, meraih trust konsumen dengan kemegahan dan kemudahan menemukan kantor cabang, teller cantik dan ramah, bahkan kemudahan mengakses ATM, baik itu ATM sendiri maupun bersama, itu semua sudah menjadi layanan generik. Semua bank sudah begitu. Persaingan sudah bergeser pada menjadikan bank bukan lagi sebagai arena bisnis simpan pinjam, namun  juga one stop financial service. Kemudahan transaksi, tampaknya inilah yang menjadi kunci persaingan bank untuk menarik nasabah tabungan. Bank harus berani berinovasi untuk memuaskan pelanggannya, yaitu para nasabahnya.
Sebagai nasabah BCA, dulunya saya punya image bahwa BCA itu memang bank besar, namun akibatnya membuat pelanggan tidak nyaman. BCA identik dengan Bank Cape Antri. Namun hari ini BCA telah berhasil mengubah image-nya sehingga membuat nasabah dapat menjadikan tabungannya sebagai pusat layanan service finansial. Bagaimana tidak, kartu ATM dapat digunakan untuk menarik dana, melakukan transfer baik antar rekening BCA maupun bank lain, membayar tagihan dari tagihan listrik, pay TV, beli pulsa prabayar, hingga pembayaran kartu kredit. Kalaupun tidak punya waktu untuk mencari ATM, kini nasabah dimanjakan dengan SMS atau internet banking, yang menjadikan transaksi-transaksi perbankan semudah membalik telapak tangan. Dengan demikian, interaksi konsumen dapat berjalan semakin efisien, mudah, nyaman.

Jadi, hari ini kalau kita menabung di bank sekedar mengharapkan uang aman, dapat bunga dan iseng-iseng berhadiah, tampaknya masih belum dapat mengoptimalkan bank kita sebagai pusat layanan keuangan kita. Masih banyak hal yang bisa kita manfaatkan tabungan kita untuk kemudahan hidup kita. Sebagai contohnya, sebagai nasabah BCA, saya pun tidak menyangka inovasi produk perbankan ternyatan sudah demikian luasnya. Melalui www.bca.co.id, saya dapat memperoleh banyak informasi produk perbankan yang bisa dimanfaatkan, baik itu untuk kemudahan transaksi, juga produk-produk kredit konsumsi maupun produktif, investasi, bahkan asuransi.